- Dalam rantai bisnis perdagangan hiu di Indonesia diduga banyak terjadi praktik ilegal. Bisnis ini banyak pihak terlibat. Para pedagang sirip hiu pun gunakan berbagai cara untuk menghindari peraturan, para petugas kesulitan mengontrol atau bahkan menghitung apa yang dijual. Dalam tulisan sebelumnya, membahas soal pelabuhan-pelabuhan di Pulau Jawa, banyak jadi tempat pendaratan hiu dan pari dan diduga banyak praktik ilegal.
- Data antar pemerintah pun simpang siur. Contoh, dokumen Ekspor Produk Perikanan 2017-2021 terbitan Kementerian Kelautan dan Perikanan 2022 menyatakan, 492,3 ton sirip hiu yang dikeringkan dan diawetkan ekspor pada 2021. Berbeda dengan data Balai Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu (BKIPM), total volume ekspor tercatat 40% lebih tinggi, sebanyak 689,7 ton. Begitu juga dokumen kementerian melaporkan ekspor hiu beku 4.032,3 ton, dalam data BKIPM 4.785 ton.
- Okta Tejo Darmono, peneliti di Fisheries Resource Center Indonesia (FRCI), meyakini, tangkapan hiu dan pari yang tak dilaporkan lebih besar dari yang dilaporkan. Peningkatan pengawasan, katanya, akan mengurangi hal ini. Petugas harus mengecek keakuratan jumlah tangkapan yang dilaporkan di e-logbook.
- Laporan Traffic 2022, organisasi nirlaba berbasis di Jerman, mengatakan, Indonesia memberikan contoh jelas mengenai potensi perdagangan tangkapan hiu yang tidak terdeteksi. Terutama terjadi ketika sirip hiu yang dipotong dari spesies dilindungi, seperti hiu lanjaman (Carcharhinus falciformis) terdaftar dalam CITES, berada di laut dan bercampur sirip spesies tak dilindungi.
Para pedagang berkumpul setiap hari untuk beli hiu dan pari di Pelabuhan Tasikagung, Rembang, Jawa Tengah. Cici, salah satu yang mengaku bisa mengumpulkan setidaknya satu pikap setiap hari.
Hasil tangkapan termasuk spesies terancam punah yang terdaftar dalam Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Fauna dan Flora Liar Terancam Punah (CITES) hingga seharusnya tunduk pada pengawasan perdagangan Indonesia.
Dari gudang di ujung pelabuhan, Cici menjual ikan-ikan ini ke berbagai tempat. Semua ini terjadi tanpa pengawasan dari petugas.
Perdagangan hiu dan pari di Indonesia jadi bisnis menggiurkan dengan perkiraan bernilai triliunan rupiah setiap tahun.
Perdagangan ini sangat kompleks, dengan banyak pelaku. Mulai dari nelayan yang menjual tangkapan kepada pengepul skala kecil seperti Cici. Mereka lalu jual ikan segar atau beku, atau bagian-bagiannya seperti sirip hiu, ke pedagang skala besar yang menjual ke eksportir.
Dengan banyak pihak terlibat, para pedagang sirip hiu gunakan berbagai cara untuk menghindari peraturan, para petugas kesulitan mengontrol atau bahkan menghitung apa yang dijual.
Baca juga: Mengungkap Perdagangan Hiu Diduga Ilegal Lewat Pelabuhan di Pulau Jawa [1]
Hasil tangkapan tak dilaporkan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 61/2018 mewajibkan pelaku usaha memiliki surat izin pemanfaatan jenis ikan (SAPJI) dan surat angkutan jenis ikan (SAJI) untuk menjual dan mengangkut hiu dan pari guna memastikan ketertelusuran spesies yang diperdagangkan.
Untuk itu, pemohon izin harus menyertakan daftar kapal penangkap ikan, kata Anhar Rusdi, Kepala Loka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (LPSPL) Serang.
Mengingat besarnya armada penangkapan ikan di Indonesia, banyak kapal tak terdaftar menangkap hiu atau pari. Dalam kasus-kasus seperti ini, kata Anhar, dapat dipastikan spesies yang ditangkap tak dilaporkan hingga masuk ke pasar ilegal, karena tak memiliki izin seharusnya.
Kadromi, pemilik kapal nelayan membenarkan praktik ini. Delapan kapalnya rutin menangkap 1-2 ton hiu atau pari setiap kali melaut. “Tapi tidak semua dilaporkan dalam e-logbook,” katanya.
Okta Tejo Darmono, peneliti di Fisheries Resource Center Indonesia (FRCI), meyakini, tangkapan hiu dan pari yang tak dilaporkan lebih besar dari yang dilaporkan. Peningkatan pengawasan, katanya, akan mengurangi hal ini.
“Petugas harus mengecek keakuratan jumlah tangkapan yang dilaporkan di e-logbook, apakah sesuai data yang sebenarnya atau tidak,” kata Tejo.
Namun, di semua pelabuhan yang dikunjungi Mongabay, tidak ada satu pun petugas pengawas yang mengawasi atau pendataan pendaratan ikan. Tak ada yang mengecek silang antara hasil tangkapan dengan data yang dilaporkan. Sebaliknya, hiu dan pari langsung diambil pembeli.
Tejo mengatakan, sulit memastikan volume hiu, pari, dan turunannya di pasar domestik dan internasional karena banyak produk ilegal dan tak tercatat beredar. Sementara itu, data pemerintah juga penuh kejanggalan hingga memperkuat kekhawatiran ada ekspor ilegal hiu pari dan pari.
Baca juga: Perdagangan Hiu: Pasar Picu Kepunahan [3]
Beda data, tantangan regulasi
Data antar pemerintah pun simpang siur. Contoh, dokumen Ekspor Produk Perikanan 2017-2021 terbitan Kementerian Kelautan dan Perikanan 2022 menyatakan, 492,3 ton sirip hiu yang dikeringkan dan diawetkan ekspor pada 2021.
Berbeda dengan data Balai Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu (BKIPM), total volume ekspor tercatat 40% lebih tinggi, sebanyak 689,7 ton. Begitu juga dokumen kementerian melaporkan ekspor hiu beku 4.032,3 ton, dalam data BKIPM 4.785 ton.
Selain ketidakpastian mengenai jumlah hiu dan pari yang diperdagangkan, ada juga kekhawatiran spesies yang seharusnya diatur justru diperdagangkan ilegal.
Dalam laporan 2022, organisasi nirlaba berbasis di Jerman, Traffic, mengatakan: Komite Teknis CITES menyuarakan keprihatinan bahwa data perdagangan yang dilaporkan para pihak tidak sesuai ekspektasi para ahli. Bahwa, perdagangan internasional hiu terdaftar dalam CITES mungkin tidak terdeteksi dan tidak dilaporkan.
Laporan itu mengatakan, Indonesia memberikan contoh jelas mengenai potensi perdagangan tangkapan hiu yang tidak terdeteksi.
Menurut Traffic, ini terutama terjadi ketika sirip hiu yang dipotong dari spesies dilindungi, seperti hiu lanjaman (Carcharhinus falciformis) terdaftar dalam CITES, berada di laut dan bercampur sirip spesies tak dilindungi.
Sarminto Hadi, Koordinator Pemanfaatan Kawasan dan Spesies Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan, mengakui, meskipun Indonesia memiliki Undang-undang untuk menekan perdagangan ilegal, perdagangan hiu masih merajalela.
“Ya, kita masih punya banyak pekerjaan rumah,” katanya.
Dia percaya, pengalihan wewenang pengelolaan spesies ikan dilindungi ke KKP dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2020 akan memperbaiki situasi.
Sarminto mengatakan, salah satu masalahnya tidak semua pemegang SIPJI punya kapal hingga mereka harus menjalin kemitraan dengan nelayan atau pemilik kapal. Namun, sebagian kapal penangkap hiu atau nelayan belum terdaftar, karena ketentuan registrasi kapal penangkap hiu baru diterapkan pada 2022.
Tantangan lain, kata Tejo, adalah sedikitnya pelaku dalam rantai pasok yang memiliki izin relevan. Selain itu, ada sistem kuota tangkapan nasional dibagi di setiap provinsi di Indonesia sebelum dibagi lagi di antara para pelaku usaha di sana.
“Jumlah kuota di setiap provinsi dan yang diperoleh pelaku usaha tidak sama,” katanya.
Masalahnya, tak semua pengepul atau pelaku usaha pemegang kuota memiliki barang untuk dijual. Saat sama, ada pelaku usaha yang memiliki barang, tetapi tak memiliki izin atau kuota.
Hindari deteksi
Menurut Sarminto, para pelanggar hukum yang menggunakan berbagai cara untuk menghindari peraturan seringkali main kucing-kucingan dengan pihak berwenang di Indonesia.
Mereka, katanya, gunakan berbagai cara untuk menghindari peraturan. Termasuklah, memotong sirip hiu di laut secara ilegal dan menyelundupkan ke darat, tak melaporkan hasil tangkapan, dan mencampur produk dari spesies dilindungi dan tidak dilindungi. Tujuannya, untuk mengambil keuntungan dari kelemahan petugas dalam mengidentifikasi spesies.
“Kalau sudah seperti ini, petugas juga repot. Tidak mungkin semua produk yang dikirim diperiksa satu persatu, karena sumber daya manusia kita sangat terbatas. Pasti akan memakan waktu,” katanya.
Karena itu, katanya, registrasi kapal dan nelayan sangat penting untuk memastikan legalitas produk.
Satu praktik umum dilakukan adalah pakai ‘nama samaran’ dan memalsukan sirip ikan sebagai milik perusahaan yang ada izin SIPJI dan SAJI. Para pelaku menyebut dengan istilah ‘pinjam bendera’.
Suwardi Purboyo, Kepala Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar untuk Wilayah Jawa Timur, mengatakan, praktik ini merupakan konsekuensi alami dari keterbatasan kapasitas. “Beberapa pelaku di tingkat bawah tidak terlalu menguasai teknologi.”
Praktik ini pula yang dilakukan PT Jaya Dina Buana, di Surabaya, Jawa Timur. Para pekerja mengatakan, perusahaan ini gunakan jaringan besar perusahaan-perusahaan dengan nama samaran untuk menjalankan bisnisnya.
Saat Mongabay datangi komplek pergudangan ikan ini, ada pekerja menawarkan untuk membantu pengiriman, termasuk mengurus dokumen dari Balai Karantina.
“Biayanya gampang, bisa diatur nanti,” jelas seorang pekerja.
Perusahaan ini mengaku memiliki ‘orang dalam’ yang sudah biasa ‘bermain’ dalam perdagangan sirip hiu. Bahkan, tidak perlu mencampur sirip yang dilindungi dan yang tak dilindungi untuk mengelabui petugas.
Cara lain untuk menghindari deteksi adalah dengan menggunakan jasa ‘forwarder’ yang disediakan perusahaan yang mengirimkan produk ke luar negeri.
Ardiyansah, membeli kulit pari untuk kerajinan tangan di Rembang, Jawa Tengah, mengirimkan 200-300 lembar kulit pari ke Tiongkok dengan jasa ekspedisi hampir sebulan sekali. Praktik ini makin mempersulit upaya pengawasan perdagangan.
***
Mukhlis Kamal, peneliti hiu dan pari dari Institut Pertanian Bogor, mengatakan, wilayah Indonesia sangat luas hingga memungkinkan perdagangan hiu ilegal. Situasi ini, katanya, diperparah personil pengawas tak memadai.
“Beberapa mungkin juga korup,” katanya.
Susanto, Staf Pengawas SDKP Lamongan, menepis tudingan pengawasan lemah. Menurut dia, empat personilnya melakukanmengawasi rutin dan insidentil. Pengawasan rutin, katanya, di gudang-gudang pemegang izin.
“Ini untuk mengecek kondisi setok dan ketelusuran barang,” katanya.
Inspeksi ini bukan tanpa peringatan. Sebelum dilakukan, yang bersangkutan menerima surat tentang rencana pemeriksaan. “Sedangkan pemeriksaan insidentil hanya ketika ada laporan dari masyarakat.”
Dalam praktiknya, seperti yang terpantau di beberapa pelabuhan yang dikunjungi Mongabay, hiu dan pari bebas diperjualbelikan, bahkan oleh pedagang yang tak memiliki izin SIPJI atau SAJI, atau surat rekomendasi jenis yang diperjualbelikan.
Mukhlis mendesak pemerintah, terutama Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) di bawah KKP, untuk meningkatkan pengawasan.
Dia juga mengatakan, pemerintah harus meningkatkan perlindungan terhadap hiu dan pari, karena hanya 10 dari 200 lebih spesies di Indonesia mendapat status dilindungi.
“Jangan sampai kita disesatkan dengan pemikiran masih banyak hiu pari. Ternyata ada beberapa yang sudah terancam punah.”
Hiu, katanya, bisnis besar. Dengan harga jutaan rupiah per kilogran, nilai diperkirakan mencapai triliunan rupiah per tahun.
“Jika kita tidak serius lama-kelamaan hiu akan punah juga.” {Selesai}
*********
*Tulisan ini atas dukungan Earth Journalism Network (EJN)