- Tren baru pertambangan laut dalam memicu masalah baru.
- Migrasi ikan tuna diprediksi akan berubah dan mengancam keberlanjutan pangan.
- Laporan jurnal ilmiah Nature Ocean Sustainability, pertambangan laut dalam diproyeksikan akan menelan kerugian USD 51,25 miliar di sektor perikanan.
- Banyak pihak khawatir penambangan laut dalam bakal merusak lingkungan laut, memusnahkan ekosistem biota laut dan kian rentan terhadap perubahan iklim.
Berbagai negara mulai mengincar kekayaan bawah laut, terutama tambang di laut dalam. Operasi penambangan itu untuk mengekstraksi mineral seperti nikel, kobalt, mangan dan tembaga sebagai ‘deposito’ bagi mereka.
Seiring kemajuan teknologi, berbagai perusahaan di seluruh dunia telah mulai mengeksplorasi bagian terdalam dari dasar laut. Setelah sebelumnya mereka mampu menurunkan kapal pengumpul bintil-bintil logam.
Berdasarkan laporan jurnal ilmiah Nature Ocean Sustainability, agaknya eksplorasi itu justru akan menuai masalah baru. Penambangan laut dalam kemungkinan besar akan mengancam populasi tuna mata besar, cakalang, dan tuna sirip kuning di Samudra Pasifik Timur.
Apalagi penambangan itu dilakukan di area di mana banyak ditemukan ikan tuna sekaligus telah menyebabkan kerusakan lingkungan laut. Efek samping itu perlahan merusak habitat, merubah jalur migrasi dan mengancam populasi tuna.
“Penelitian ini menunjukkan perlunya mempertimbangkan dampak pertambangan terhadap perikanan dan mempertimbangkan peraturan pertambangan tidak hanya untuk kondisi lingkungan saat ini, tetapi juga untuk proyeksi iklim di masa depan,” kata Peneliti South Atlantic Environmental Research Institute Jesse van der Grient, salah satu penulis studi tersebut, belum lama ini.
Penelitian berfokus pada wilayah perairan Clarion-Clipperton Zone (CCZ) di Samudra Pasifik. Wilayah maritim di sebelah tenggara Hawaii yang memiliki 1,1 juta kilometer persegi (424.712 mil persegi) sebagaimana kontrak eksplorasi pertambangan laut dalam.
Zona tersebut memang diidentifikasi kaya kandungan mineral. Namun, perputaran ekonomi dari lestarinya ekosistem laut memberi sumbangsih yang tidak bisa disepelekan.
baca : Lebih dari 5.000 Spesies Baru Laut Dalam Ditemukan di Lokasi Tambang Samudera Pasifik
Berdasarkan laporan Fortune Business Insights, sektor ikan tuna global memiliki pangsa pasar yang diperkirakan mencapai USD 41,06 miliar (Rp613,51 triliun). Laporan tersebut juga memproyeksikan pangsa pasar sektor ini akan tumbuh menjadi USD 42,08 miliar (Rp628,75 triliun) di tahun 2023 dan akan mencapai USD 51,25 miliar (Rp765,77) di tahun 2030.
Masih di zona itu, setidaknya hasil tangkapan spesies ini rata-rata 35.000 hingga 78.000 ton per tahun. Ini adalah salah satu perikanan yang paling menguntungkan di dunia, dengan harga pasar yaitu harga di dermaga berfluktuasi antara $1.000 USD per ton untuk cakalang hingga lebih dari $5.000 USD untuk tuna mata besar, dengan nilai akhir lebih dari $10.000 USD per ton.
Para peneliti merangkum secara keseluruhan nilai ekonomi dari ketiga spesies ini berfluktuasi sekitar $5,5 miliar USD per tahun. Sedianya dipertimbangkan, dunia akan kehilangan potensi ikan terbesarnya.
Para peneliti juga menguji data dengan menjalankan skenario yang melibatkan dua proyeksi berbeda. Pertama, tentang proyeksi perubahan iklim akan berdampak pada jangkauan migrasi tuna pada tahun 2050. Kedua, menemukan perkembangan populasi tuna di area yang bersentuhan dengan tambang.
Menurut Douglas McCauley, salah satu penulis studi dari University of California, penetapan lokasi penambangan rata-rata merupakan daerah penghasil pangan terbesar. Dari data yang dihimpun, populasi tuna mata besar tumbuh 10-11 persen, cakalang meningkat 30-31 persen, dan sirip kuning tumbuh 23 persen.
baca juga : Kecoak Raksasa Ini Ditemukan di Laut Dalam Indonesia
“Daerah penangkapan ikan ini mungkin jauh, tetapi makanan yang mereka hasilkan dikonsumsi oleh jutaan orang. Kita akan merasa gerah jika membuang limbah pertambangan di daerah penghasil makanan. Kita tidak boleh terburu-buru mengambil keputusan yang dapat secara signifikan merusak ekosistem laut yang penting bagi kesehatan planet dan ketahanan pangan global,” katanya.
Implikasi penambangan laut dalam terhadap kehidupan laut begitu besar. Oleh karena itu, berbagai pihak-pihak di seluruh dunia menyerukan agar penambangan laut dibatasi. Setidaknya, dilarang sama sekali, karena bahaya yang dapat ditimbulkan pada ekosistem belum dipelajari dengan baik.
Protes itu salah satunya dilayangkan oleh Daniel Suddaby, Direktur eksekutif di Global Tuna Alliance. Dia khawatir dunia memasuki “wilayah yang belum dipetakan” dari risiko pertambangan laut dalam.
“Dari ancaman kekurangan makanan pakan karena ekosistem tengah laut yang terganggu hingga potensi pergolakan pola migrasi yang disebabkan oleh gangguan pertambangan. Kita harus menavigasi lanskap yang tidak menentu ini dengan hati-hati. Dengan skenario perubahan iklim yang semakin memperumit keadaan, kita tidak bisa meremehkan risiko yang ada,” ujar Daniel.
Gelombang protes mulai dilakukan kelompok-kelompok penghasil makanan laut yang mewakili sepertiga dari perdagangan tuna dunia serta pemasok supermarket besar menyerukan penghentian sementara penambangan di laut dalam. Kecaman mereka massif dilakukan setelah beberapa riset ilmiah menunjukkan bahwa wilayah penangkapan tuna tropis di Pasifik akan tumpang tindih dengan rencana penambangan.
Mereka meminta pemahaman yang jelas mengenai potensi dampaknya, dan mendesak Otoritas Dasar Laut Internasional (ISA) untuk menyetujui peraturan yang kuat dan berlandaskan ilmu pengetahuan sebelum memberikan kontrak eksplorasi apa pun.
perlu dibaca : Mengulik Harvest Strategy Tuna di Indonesia
Dampak
Sejauh ini, para ahli dan aktivis berpendapat bahwa ilmu yang ada saat ini tidak cukup memahami dan mengejawantahkan kehidupan di laut dalam. Membuka wilayah laut dalam untuk pertambangan tanpa hitung-hitungan yang komprehensif, jelas berpotensi membuka risiko yang belum diketahui.
Dan penambangan laut dalam dilakukan dengan menggali bagian ventilasi hidrotermal dan menyedot endapan residu ke permukaan. Kegiatan itu dilakukan dengan alat raksasa untuk mendapatkan ragam mineral dan logam mulia yang berasal dari dari ekosistem yang terbentuk selama ribuan tahun.
Di sisi lain, menambang ventilasi hidrotermal sama dengan memusnahkan seluruh ekosistem di sana, termasuk, biota penghuni lereng ventilasi. Padahal, mereka punya peran menangkal hidrotermal beracun lepas ke laut dengan memakannya.
Hal tersebut berpotensi memberikan dampak seperti gumpalan sedimen yang diaduk oleh penambangan nodul laut, kebisingan yang terjadi, atau polusi cahaya yang dapat mempengaruhi tingkat reproduksi dan migrasi ikan.
Agaknya, pemanfaatan sumber daya alam memang selalu dihadapkan pada dilema semacam ini. Selanjutnya tinggal menghitung risiko; jangan sampai eksplorasi ‘deposito’ yang mereka tunai justru memperparah dampak perubahan iklim yang sedang dikhawatirkan miliaran manusia akhir-akhir ini.
Sumber : theguardian.com dan nature.com