- Dalam kebudayaan Mentawai lelaki punya hak penuh atas kepemilikan properti seprerti tanah, perempuan tidak ada sama sekali. Perempuan pun hampir tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan soal tanah ulayat baik pengelolaan atau pelepasannya.
- Posisi perempuan yang tidak memiliki apa-apa ini kemudian termanifestasi dengan bagaimana stigma dan kekerasan seksual yang dialami perempuan dalam masyarakat adatnya. Terlebih mereka yang berada dalam kondisi disabilitas dan usia lanjut.
- Tarida Hernawati, antropolog dari Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) mengatakan, alasan perempuan tak mendapat hak atas tanah bisa ditarik ke sejarahnya. Kalau dilihat dari sejarahnya di Mentawai, perempuan adalah sosok yang dianggap perlu dilindungi. Hutan adalah dunia gelap dan penuh roh-roh mistis dan kekuatan gaib itu sesuatu yang tidak ramah buat perempuan.
- Kini, zaman berubah. Hutan sudah tak dianggap sekelam dulu. Perubahan ini tidak mengiringi peran perempuan dalam hak kepemilikan. Kini, pengelolaan hutan bersama-sama. Lelaki yang menebang dan perempuan yang merawat dan menanam.
Awal Juli itu saya mampir ke Desa Malancan, Mentawai. Dari dermaga kami gunakan beberapa motor melewati jalan batu. Berhenti di rumah warga dan berjalan kaki ke rumah Pelangi. Ini rumah panggung berbahan kayu dengan beranda terbuka punya tiga kamar tidur dan dapur besar di bagian belakang. Pelangi, bukan nama sebenarnya, bersama ibunya menyambut kami hangat.
Dia awalnya lebih banyak diam. Gadis lincah ini mengalami kesulitan bicara dan tak dapat mendengar sejak lahir. Dia sering ikut kegiatan-kegiatan gereja dan senang menari. Ketika bapak ibunya pergi ke ladang Pelangi tinggal saja di rumah atau bermain dengan temannya. Namun dia sering diejek karena keterbatasan fisik yang dia miliki.
Hari-hari Pelangi berubah setelah itu. Stigma buruk terhadap kondisinya bertambah dengan stigma lain. Hari-hari buruk itu bermula dari seorang sepupunya yang datang ke rumah dan menodai Pelangi. Berkali-kali. Teriakan Pelangi tak berguna karena hanya sunyi yang keluar dari kerongkongannya. Tak ada yang tahu sampai perut perempuan yang sering membersihkan rumah dan membantu orangtuanya itu membesar. Orangtuanya bertanya-tanya.
Ibu Pelangi menangis dan bertanya siapa yang melakukannya. Akhirnya Pelangi buka suara. Kesunyian yang selama ini menekan akhirnya lepas. Pemerkosa dipanggil dan menjalani sidang adat. Pelaku kena tulo atau denda adat. Denda-denda besar dibebankan pada keluarganya, apalagi mereka masih satu keluarga.
Denda seperti satu chainsaw untuk memotong pohon, 15 papan, beberapa babi dan semua kalau dijumlah sampai puluhan juta.
Tubuh gadis belasan tahun itu masih gemetar karena pelaku tetap berkeliaran. Setiap ada pertemuan keluarga, pelaku hadir.
“Kalau sekarang katanya sudah agak tenang karena pelaku sudah menikah,” kata ibu Pelangi, menerjemahkan maksud anaknya.
Suara ibunya hampir tertutup deras hujan salah satu desa di Mentawai itu. Listrik dan sinyal adalah barang istimewa di situ. Setidaknya dapat mewarnai kesunyian Pelangi.
Pelangi kini berusia 25 tahun. Setiap pagi hingga sore dia bekerja di ladang dengan jarak sekitar dua kilometer dari rumah. Dia ikut menanam dan memanen kacang panjang, jagung, cabai, keladi serta pisang. Tanaman itu untuk makan sehari-hari dan sebagian dijual buat beli kebutuhan sekolah anaknya.
Dia mengatakan lahan itu milik bapaknya. Kalau ingin membuka lahan dia harus meminta izin pada ayahnya. Semua perkara soal tanah itu otoritas laki-laki. Melalui ibunya, Pelangi bilang hanya menumpang berladang dan ikut kemana orangtuanya berladang.
Miris, terkadang hasil ladang dicuri atau dirusak anak-anak tetangga. Pelangi mengadu ke orang tua anak-anak itu. Dia malah diolok-olok dan dibilang gila. Tak jarang mendapat ancaman.
Anaknya sudah lahir beberapa tahun lalu. Kini, Pelangi harus menyekolahkan dia namun belum punya uang, misal, hanya untuk membelikan sepatu anak kesayangannya itu. Dia tak tahu bagaimana bayangan masa depan sang anak, karena kehidupan di desa saja. Meskipun begitu dia ingin menyekolahkan anaknya.
Stigma buruk kini juga menimpa anaknya. Tetangganya merundung si anak dan mengatakan ibunya gila atau kadang diusir. Sama seperti Pelangi yang distigma sebagai orang gila dan perempuan nakal.
Pelangi hanya ingin membesarkan anaknya dengan baik dan berusaha tak mendengarkan omongan buruk tetangga. Dia sehari-hari ikut orangtuanya ke ladang. Kadang dia mengajak anaknya agar terhindar dari kejadian yang juga menimpanya.
Pelangi tidak sekolah dan tidak ingin sekolah. Dia takut lebih banyak dapat stigma buruk.
Selain Pelangi ada pula Elma Saloga. Kakinya tidak utuh sejak lahir. Dia berjalan pakai tangan. Meskipun begitu dia punya kemampuan dalam memangkas rambut. Sehari-hari dia menanam tanaman pangan di lingkungan sekitar rumah. Karena perempuan Elma juga tak mendapatkan tanah ulayat.
Elma sempat mendapat bantuan dari anggota dewan Kepulauan Mentawai berupa alat pangkas elektrik. Alat itu tak berguna karena listrik rumah Elma tak sanggup menampung alat cukur elektrik itu.
Selain itu warga sekitar juga banyak tak mau bayar buat potong rambut. Lantas beberapa warga meminjam alat Elma. Dia tetap meminjamkan.
“Terkadang makan pisang yang ditanam pada halaman rumahn atau sagu pemberian keluarga,” katanya yang saat Mongabay bersama jurnalis lain berbincang dengannya.
Karena Elma perempuan, dia juga tak mendapatkan hak atas tanah ulayatnya. Entah tanah ulayat itu tetap dimiliki suku atau sudah dijual, tak ada pengaruh bagi Elma. Dia tak akan dapat bagian.
***
Nanda Saleleubaja, tersenyum menyambut kami di pondoknya. Rambut sudah memutih. Dia tak tahu berapa usia karena sulit bertanya hitungan angka pada orang-orang lama di Mentawai. Suaminya sudah lama meninggal.
“Sudah lebih dari 10 kali Natal,” katanya dalam bahasa Mentawai.
Anak-anaknya sudah ada yang menikah dan punya anak. Meskipun begitu dia memutuskan tinggal sendiri di pondok tempat dia dan suaminya dahulu mengurusi ladang.
Sesuai aturan adat, sebenarnya pondok itu jadi milik keluarga laki-laki atau turun ke anak laki-laki dari Nanda. Karena dia punya anak lelaki, masih bisa tinggal di situ dengan izinnya pada keluarga laki-laki. Namun tak seluruh ladang dapat dia gunakan. Hanya pondok, beberapa meter ke belakang, kiri, kanan dan halaman depan yang cukup luas.
Sehari-hari perempuan yang mengenakan kalung berwarna warni ini memelihara ayam, menanam talas, pinang, kelapa dan tanaman lain. Sesekali penjual sayur datang ke tempatnya, terkadang Nanda tidak punya uang dan bertukar dengan tukang sayur. Misal, dia perlu bumbu atau beras, akan menukar dengan talas atau bahan lain.
Sedangkan ayam untuk makan bersama. Ayam tidak boleh dimakan sendiri-sendiri karena diyakini bisa terkena sakit kalau itu dilakukan.
Penglihatan Nanda masih bagus saat siang hari. Dia memiliki headlamp kalau harus beraktivitas malam hari. Dia gunakan lampu minyak kecil untuk penerangan dalam rumah. Kalau penglihatan mulai kabur atau terlalu letih dia akan istirahat.
Bila malam sudah tiba, Nanda akan menghidupkan lampu minyaknya dan masuk ke dalam kelambu. Sesekali dia mengunjungi anak dan cucunya. Meskipun begitu dia lebih betah tinggal di pondok sendirian. Dia juga senang di depan pekarangannya kini sudah ada jalan antar desa. Wilayahnya semakin ramai, tidak sesunyi beberapa tahun lalu.
“Sebenarnya tidak adil,” kata Kemeria Tasiripoula, anggota Badan Permusyawaratan Desa di Desa Muntei saat ditanya soal kondisi ini. Perlahan-lahan perkara ini dia bicarakan ke pengurus desanya. Salah satunya dalam musrenbang atau musyawarah perencanaan pembangunan desa atau dusun.
“Karena sudah berlaku dari dulu jadi harus diikuti. Tapi untuk Dusun Salapak ini sudah mulai ada perubahan,” katanya.
Ada musyawarah keluarga yang dalam bahasa setempat disebut paruruk keluarga. Dalam paruruk ini dibicarakan bagaimana status harta atau posisi istri yang ditinggalkan suami. Kemeria mengatakan sudah mulai ada toleransi di desanya, semisal kalau ada anak, ibu mereka unya alasan untuk merawat anak-anaknya.
Selain itu, dalam ruang publik perempuan tidak diberi kesempatan bicara dalam musrenbang. Menurut dia, ruang itu tidak dibuka khusus untuk membahas persoalan perempuan. “Padahal, kalau diberi kesempatan bisa aktif ngomong dan tahu apa yang dikhawatirkan ibu-ibu ini,” kata Kemeria.
Karena belum terbiasa bicara di depan umum, Theondorus, Sekretaris Desa mengatakan, akan membuatkan forum khusus perempuan. Harapannya, mereka lebih leluasa menyampaikan aspirasi ke dalam musrenbang.
Relasi kuasa dalam pengelolaan hutan Mentawai
Tarida Hernawati, antropolog dari Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) mengatakan, alasan perempuan tak mendapat hak atas tanah bisa ditarik ke sejarahnya. “Kalau dilihat dari sejarahnya di Mentawai, perempuan adalah sosok yang dianggap perlu dilindungi. Hutan adalah dunia gelap dan penuh roh-roh mistis dan kekuatan gaib. Perempuan dianggap tidak berdaya,” katanya.
Orang Mentawai, katanya, punya kepercayaan semua pohon-pohon punya roh dan kekuatan. “Itu konsep hutan zaman dulu dengan habitat ekosistem zaman dulu, mereka melihat itu memang sesuatu yang tidak ramah buat perempuan. Kalau kita lihat pondasinya di situ.”
Karena itu, kata Tarida, lelaki yang lebih banyak beraktivitas di hutan dan menguasai serta memiliki hak atas pengalihan tanah. Sedang perempuan punya sifat melindungi lelaki secara spiritual. “Ketika laki-laki ke hutan dia memiliki pantangan yang sifatnya untuk menjaga keselamatan laki-laki dalam hutan. Misal, tidak boleh membelah bambu sebab suaminya di hutan dapat tertimpa pohon dan semacamnya,” katanya.
Jadi konsepnya, lelaki bekerja dan perempuan menjalin komunikasi dengan roh-roh untuk menjaga keseimbangan. “Sebenarnya perannya luar biasa. Tapi zaman berubah, pengelolaan sumber daya alam berubah sudah tidak seperti dulu. Orang Mentawai juga sudah diajak pemerintah pindah ke daerah yang lebih terbuka. Seharusnya kan sudah berubah di situ,” katanya.
Dalam hal mengelola sumber daya tanah perempuan punya ruang kelola di sekitar rumah, rawa-rawa dan bekerja di pinggir-pinggir hutan. Selain itu, daerah ruang otonom perempuan adalah sungai. Pada anak-anak sungai itu mereka mencari ikan.
“Zaman berubah. Hutan sudah tak dianggap sekelam dulu. Apalagi sekarang sudah ada konsep-konsep agroforestri dan macam-macam,” katanya.
Perubahan ini tidak mengiringi peran perempuan dalam hak kepemilikan. Kini pengelolaan hutan bersama-sama. Lelaki yang menebang dan perempuan yang merawat dan menanam.
“Ini yang tidak direkonstruksi kembali. Bagaimana semua berubah, teknologi sudah ada, tapi tetap saja perempuan dianggap kelompok yang tidak mampu mengelola hutan lalu menguasai sumber daya di dalamnya.”
Hutan, katanya, masih dianggap dunia kelam buat perempuan, sementara itu perempuan sudah banyak bekerja di sana.
Konsep tentang perempuan sebagai penyeimbang dan harus dilindungi menjadi ironi ketika suaminya meninggal atau cerai. Perempuan tidak mendapat apa-apa dari apa yang dikerjakannya.
Menurut Tarida, zaman dahulu ketika menikah perempuan diberi mas kawin seperti pohon, tanah, ternak dan banyak lagi yang akan dikelola oleh lelaki. Artinya, ketika ada perceraian atau ditinggal mati maka mas kawin itu akan jadi jaminan buat perempuan. “Karena hutan dan lahan dianggap sangat maskulin, lagi-lagi laki-laki juga mengelola dan semua. Perempuan akan dikembalikan ke keluarga ayahnya.”
Untuk tanah, kalau yang meninggal tidak memiliki keturunan lelaki maka akan dicari orang dari garis keturunan ayahnya. “Jadi ada juga memang harus menikah lagi, karena tidak punya tempat untuk hidup,” katanya.
Dia bilang, 82% tanah di Mentawai merupakan hutan negara. Bagi masyarakat adat, semua tanah yang dulu di bawah Kabupaten Pariaman itu adalah ulayat mereka.
YCMM mendorong bagaimana perempuan bisa mandiri. “Paling tidak bisa menghidupi kebutuhan dia dan anak-anaknya.”
Meskipun begitu, dia katakana ada ruang-ruang yang masih bisa dinegosiasikan seperti hutan rawa. “Laki-laki nggak mau menanam talas, pisang dan lain-lain,” katanya.
Untuk itu, katanya, perlu didorong pengembangan perempuan.
Tarida mengatakan ada beberapa inisiasi yang YCMM lakukan untuk mengurangi kerentanan perempuan. Seperti perempuan Mentawai yang sudah mulai bisa membeli lahan sendiri dan bisa jadi warisan untuk anak mereka baik lelaki atau perempuan. Tidak seperti tanah leluhur, hanya turun ke garis keturunan lelaki.
Selanjutnya, juga mendorong perempuan hadir dalam ruang publik, seperti kerjasama YCMM dengan Kemitraan melalui Program Peduli yang mulai sejak 2015. Jadi, perempuan tak hanya punya kemampuan hidup dari lahan saja tapi juga punya kapasitas lain melalui pendidikan dan diskusi kritis.
Dua lembaga ini melalui program estungkara 2022 mendorong kesetaraan dan keadilan gender, inluksi sosial, peningkatan ekonomi dan membangun kapasitas organisasi masyarakat sipil. Dampak yang diharapkan pada perempuan yang punya kerentanan berlapis dapat bicara di ruang publik yang awalnya hanya ada laki-laki.
Tarida mendorong ada rancangan peraturan daerah tentang pemberdayaan perempuan dan anak. YCMM mempertemukan perempuan yang rentan ini dengan Pj bupati, Ketua DPRD, Dinas Sosial dan Kesehatan. Juga, membantu mengurusi administrasi kependudukan agar masuk dalam penerima bantuan seperti bantuan langsung tunai dana desa.
*****