- Kawasan hutan lindung yang merupakan area penting di Kabupaten Trenggalek, terancam tambang emas. Berbagai elemen masyarakat bersama pemerintah daerah kuat menolak tetapi seakan belum menyurutkan langkah PT Sumber Mineral Nusantara (SMN). Perusahaan yang terafiliasi dengan Far East Gold (FEG) ini seakan ngotot eksplorasi emas lanjutan di bumi Trenggalek secara ‘diam-diam.’
- Hasil tumpang susun Pemerintah Trenggalek izin usaha produksi (IUP) SMN, sebanyak 6.951 hektar pada kawasan hutan produksi, 2.779 hektar hutan lindung dan kawasan lindung karst 1.032 hektar.
- Peluang pencabutan izin SMN oleh pemerintah cukup terbuka. Selain tak sesuai tata ruang, juga sejalan dengan Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 164/2021 bahwa izin SMN terindikasi tumpang tindih dengan kawasan hutan.
- Bupati Trenggalek, M. Nur Arifin katakan, ruang hidup layak jelas lebih dibutuhkan masyarakat ketimbang pembangunan merusak. Sebaliknya, pembangunan tidak berguna kalau masyarakat kehilangan ruang hidup. Hampir semua konsesi masuk dalam peta rawan bencana. Dengan begitu, tambang emas pasti meningkatkan risiko kebencanaan.
Kawasan hutan dan karst lindung yang merupakan area penting di Kabupaten Trenggalek, terancam tambang emas. Berbagai elemen masyarakat bersama pemerintah daerah kuat menolak, tetapi belum menyurutkan langkah PT Sumber Mineral Nusantara (SMN). Perusahaan yang terafiliasi dengan Far East Gold (FEG) ini seakan ngotot eksplorasi emas lanjutan di bumi Trenggalek secara ‘diam-diam.’
Aliansi Rakyat Trenggalek (ART) mengecam aksi SMN itu. Apalagi, eksplorasi dilakukan sebelum perusahaan ini mengantongi izin pemanfaatan kawasan hutan (IPPKH).
“Kami punya bukti mereka survei di kawasan hutan di Buluroto,” kata Trigus Susilo, juru bicara ART, kepada Mongabay belum lama ini.
Buluroto merupakan satu blok dalam konsesi SMN melalui izin operasi produksi yang diterbitkan Pemerintah Jawa Timur pada 2019. Blok ini berada di Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kampak.
Total konsesi dari pemerintah provinsi 12.813 hektar lebih, meliputi sembilan dari 14 kecamatan di Kabupaten Trenggalek. Ia meliputi Kecamatan Kampak, Watulimo, Dongko, Suruh, Gandusari, Karangan, Tugu, Pule dan Munjungan.
Hasil tumpang susun Pemerintah Trenggalek izin usaha produksi (IUP) SMN, sebanyak 6.951 hektar pada kawasan hutan produksi, 2.779 hektar hutan lindung dan kawasan lindung karst 1.032 hektar.
Seluas 804 hektar pemukiman pedesaan, tegalan dan ladang 380 hektar, perkebunan 280 hektar. Kemudian, 209 hektar rawan longsor dan hutan rakyat 170 hektar.
Lalu, sempadan mata air 190 hektar, permukiman perkotaan 43 hektar, sempadan sungai 33,4 hektar, sawah tadah hujan 27,27 hektar, sempadan embung 24 hektar, sungai 18,78 hektar.
Trigus mengatakan, tim ART yang melakukan penelusuran pada 12 Juli lalu itu sempat menemui beberapa pekerja SMN di lapangan. Dari keterangannya, mereka mengakui survei lanjutan.
“Mereka datang dari hutan dengan mengenakan atribut lengkap,” kata Trigus.
Tim ART sempat menanyakan kelengkapan dokumen masuk ke kawasan hutan tetapi mereka tidak bisa menunjukkan. Mereka pun diminta menghentikan kegiatan itu.
Baca juga: Hidup dari Kebun dan Tani, Warga Watulimo Tolak Tambang Emas Trenggalek
Tumpang tindih
Peluang pencabutan izin SMN oleh pemerintah cukup terbuka. Selain tak sesuai tata ruang, juga sejalan dengan Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 164/2021 bahwa izin SMN terindikasi tumpang tindih dengan kawasan hutan.
Wahyu Eka Setiawan, Direktur Walhi Jawa Timur, mengatakan, merujuk SK ini, dapat diyakini izin SMN bermasalah.
“Dengan tumpang tindih itu jelas menunjukkan tidak professionalnya pemberi izin dan tidak punya perspektif pembangunan berkelanjutan.”
Menurut Wahyu, keberadaan SK ini seharusnya jadi dasar bagi pemerintah mencabut izin SMN. Sikap pemerintah tak kunjung mencabut izin itu, dia nilai sebagai bentuk inkonsistensi.
Dia bilang, persoalan ini tak hanya terjadi Trenggalek. Berdasar salinan SK itu, total ada 3,6 juta hektar lebih terindikasi tumpang tindih.
Sejak awal, katanya, izin operasi produksi tidak melihat kesesuaian ruang. Izin itu, katanya, dipaksakan masuk kawasan hutan, terebih kawasan lindung yang ada mata air dan karst.
Izin SMN, katanya, melanggar kesesuaian pola ruang yang sudah ada dan wajib dicabut.
“Faktanya, konsesi tumpang tindih dan izin tetap diberikan. Kalau ini diteruskan dan izin tidak dicabut, artinya pemerintah tidak konsisten menjalankan penataan ruang yang dibuatnya sendiri.”
Baca juga: Was-was Tambang Emas Rusak Trenggalek [1]
Perkuat jaringan
Belum lama ini di Trenggalek diselenggarakan diskusi bertajuk Menjaga Alam Trenggalek dari Ancaman Tambang Emas Terbesar di Pulau Jawa. Fatia Maulidiyanti, pegiat HAM mendukung sikap warga Trenggalek yang kukuh menolak tambang emas di sana.
Menurut dia, setiap warga negara memiliki hak mempertahankan ruang hidup mereka. Karena itu, kegiatan apapun yang berpotensi merusak ruang hidup, warga berhak menolak.
Dia juga mengapresiasi sikap Bupati Trenggalek, M. Nur Arifin yang konsisten menolak rencana tambang emas SMN. Dia menilai, sikap ini bentuk kepedulian kepala daerah terhadap nasib warganya. “Tidak banyak kepala daerah bisa seperti ini,” katanya.
Dia menilai, yang terjadi di Trenggalek tidak jauh berbeda dengan Sangihe, pulau kecil di Maluku Utara yang “dikavling” sebagai wilayah tambang. Kendati akhirnya izin tambang di Sangihe dicabut, setidaknya itu menunjukkan kecenderungan pemerintah lebih pro industri ekstraktif ketimbang melindungi rakyatnya.
“Ini bukti agenda-agenda pembangunan yang dibuat pemerintah tidak sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.”
Padahal, katanya, setiap pembangunan, seharusnya tetap menitikberatkan pada keselamatan manusianya, bukan sebaliknya.
“Kalau manusia di dalamnya tidak setuju, pemerintah seharusnya mundur. Tidak boleh memaksakan kehendak dengan mengusir masyarakat di dalamnya.”
Konflik di Pulau Rempang, Batam, juga satu contoh. Berkedok proyek strategis nasional (PSN), katanya, pemerintah begitu mudah membuka jalan mengusir penduduk yang sudah bertahun-tahun mendiami pulau itu.
“Situasi ini bisa terjadi karena pemerintah banyak dikuasai para oligarki. Mereka, para pebisnis menguasai pemerintahan hingga banyak konflik kepentingan. Ini seperti lingkaran setan. Tidak jelas antara kepentingan negara dan bisnis.”
Dia meminta, masyarakat di Trenggalek tak berkecil hati. Situasi sama juga terjadi di banyak tempat di Indonesia, seperti Wadas, Jawa Tengah, Pakel di Banyuwangi dan lain-lain.
Dia pun meminta warga Trenggalek terus berjuang menyuarakan pendapatan untuk mengingatkan pemerintah yang dinilai hilang arah. Menurut dia, mengutarakan pendapat adalah hak paling esensial dari sistem demokrasi.
Namun, katanya, tak kalah penting memberi pemahaman kepada khalayak daya rusak kalau ada tambang emas di Trenggalek. Sebagai satu bentang alam, dampak tambang emas itu tak hanya dirasakan warga di tapak tetapi lebih luas.
“Jangan sampai generasi penerus hanya melihat lingkungan rusak, lubang-lubang tambang menganga. Jangan sampai Trenggalek seperti Jakarta yang polusi nggak selesai-selesai dan tidak ada lagi lingkungan bersih dan sehat.”
Baca juga: Kala Bupati Trenggalek Surati KESDM (Lagi) Minta Batalkan Izin Tambang Emas
Bupati Trenggalek, M. Nur Arifin hadir dalam diskusi itu kembali menegaskan penolakan atas kehadiran SMN. “Kami perlu pembangunan, tetapi kami juga butuh ruang hidup,” kata Gus Ipin, sapaan akrabnya.
Dia katakan, ruang hidup layak jelas lebih dibutuhkan masyarakat ketimbang pembangunan merusak. Sebaliknya, pembangunan tidak berguna kalau masyarakat kehilangan ruang hidup.
Gus Ipin bilang, hampir semua konsesi masuk dalam peta rawan bencana. Dengan begitu, katanya, tambang emas pasti meningkatkan risiko kebencanaan.
Sikap kukuhnya menolak tambang emas, katanya, juga untuk kebaikan perusahaan karena penolakan kekeuh warga akan berdampak pada kinerja perusahaan.
“Kalau pun mereka memaksa, pasti hancur karena sosial cost-nya juga besar. Berapa duit yang harus mereka keluarkan, sampai kapan?”
Sementara itu, dukungan atas gerakan penolakan tambang emas Trenggalek juga datang dari Direktur Lokataru, Haris Azhar. Dia menyarankan warga Trenggalek membangun jaringan dengan komunitas lain yang alami hal serupa.
Perjuangan masyarakat Sangihe adalah contoh baik bagaimana mereka berhasil mendesak pemerintah mencabut izin tambang. Kendati dengan pencabutan ini, katanya, tidak serta Sangihe bebas dari ancaman tambang.
“Banyak cerita warga di tempat lain yang berhasil mengusir tambang. Itu bisa jadi cerita baik yang bisa dipelajari, meskipun perusahaan akan tetap melakukan berbagai cara untuk bisa masuk,” kata Haris.
Kedatangannya ke Trenggalek untuk memberi semangat atas penolakan tambang emas oleh warga. Sikap itu, katanya, mencerminkan kesadaran penuh dampak pembangunan.
“Sudah menjadi tugas warga mencurigai negara apakah kebijakan yang dibuat berdampak atau tidak. Karena yang menanggung nanti warga sendiri,” katanya.
Haris juga mengkritik sikap pemerintah yang kerap berdalih konflik di lapangan hanya persoalan komunikasi an sich. Padahal, kalau ditilik lebih jauh, realitas itu terjadi lantaran pemerintah cenderung abai dengan suara dari bawah.
Pemerintah, katanya, tidak pernah menjadikan unsur manusia dan ekologis sebagai pertimbangan utama dalam membuat kebijakan. Padahal, dari situlah konflik itu bermula.
Masa depan ekologis, katanya, bagi pemerintah itu hanya masalah komunikasi. Padahal, lingkungan yang baik itu hak generasi masa depan (intergeneration rights). “Rusaknya lingkungan itu tidak pernah dianggap sebagai ancaman nyata oleh pemerintah.”
Sampai saat ini, katanya, perusahaan belum ada aktivitas produksi di Trenggalek tetapi bukan berarti perjuangan warga Trenggalek sudah selesai.
Sebaliknya, usaha itu harus terus didengungkan sampai pemerintah benar-benar mencabut izin yang mereka terbitkan. Meskipun, dalam waktu bersamaan, perusahaan dia yakini akan melakukan berbagai upaya agar tetap melanjutkan rencananya.
Yayuk Kumai, peneliti independen menyebut, pemerintah seharusnya bisa menangkap desakan penolakan tambang emas Trenggelak sebagai ekspresi kewarganegaraan. Konstitusi Indonesia mengatur itu.
“Kenapa? Hak ekologi itu juga sebagai hak warga negara. Ironisnya, hari ini negara lebih banyak menuntut haknya ketimbang memenuhi kewajibannya . Ini sebenarnya tengah diperjuangkan warga Trenggalek,” ujar perempuan yang juga kader hijau Muhammadiyah ini.
*******