- Dalam satu dekade terakhir, Pulau Flores di Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT], telah menjadi wilayah perluasan pembangunan dan investasi. Semua ini meningkatkan risiko lingkungan Pulau Flores yang secara ekologis sudah cukup rentan.
- Kondisi ini, berdampak pula pada kian meluasnya konflik agraria di atas persoalan yang sudah terjadi sebelumnya.
- Untuk menyelesaikan masalah agraria dan krisis sosial-ekologis, diperlukan perubahan paradigma pembangunan “dari atas” menjadi “dari bawah” yang lebih menitikberatkan pada mitigasi konflik. Juga, memastikan kemandirian dan keselamatan hidup rakyat sejak dari hulu proses pembangunan.
- Reforma agraria merupakan program pemerintah yang bukan hanya ditujukan untuk mengurangi ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, namun juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam satu dekade terakhir, Pulau Flores di Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT], telah menjadi wilayah perluasan pembangunan dan investasi.
Secara simultan proyek-proyek infrastruktur, industri ekstraktif energi, dan ekowisata digencarkan ke seluruh penjuru pulau ini. Termasuk, ke wilayah-wilayah frontier yang sebelumnya masih alami.
“Semua ini meningkatkan risiko lingkungan Pulau Flores yang secara ekologis sudah cukup rentan,” kata John Balla, aktivis PBH Nusra, saat membuka seminar nasional “Integrasi Kebijakan Pembaruan Tenurial di Wilayah Adat untuk Penyelesaian Krisis Sosial Ekologi dan Konflik Agraria di Pulau Flores, NTT”, pada Sabtu [11/11/2023].
Kondisi ini, berdampak pula pada kian meluasnya konflik agraria di atas persoalan yang sudah terjadi sebelumnya.
“Untuk menyelesaikan masalah agraria dan krisis sosial-ekologis, diperlukan perubahan paradigma pembangunan “dari atas” menjadi “dari bawah” yang lebih menitikberatkan pada mitigasi konflik. Juga, memastikan kemandirian dan keselamatan hidup rakyat sejak dari hulu proses pembangunan,” jelasnya.
Baca: Meningkatnya Konflik Agraria di NTT, WALHI Minta Gubernur dan DPRD Cepat Bertindak
Penguasaan tanah
Roni S. Maulana, Kepala Departemen Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria [KPA], memaparkan sejak 2015 hingga 2022 terjadi 2.701 konflik agraria di Indonesia.
Sedikitnya 63 petani, nelayan, masyarakat adat dan perempuan meninggal, 38 ditembak, 842 dianiaya, dan 1.615 dikriminalisasi [Laporan Tahunan Konflik Agraria, KPA]
“Terjadi perampasan tanah 1,1 juta hektar hanya dalam tahun 2022 saja,” ungkapnya.
Khusus NTT, papar Roni, ada 61 konflik agraria seluas 67.196 hektar dengan 14.916 kepala keluarga [KK] menjadi korban perampasan tanah.
Lokasi konflik terjadi di 12 daerah yakni Kupang [19 kasus], Manggarai Barat [9 kasus], Flores Timur dan Timor Tengah Selatan masing-masing 7, Sikka [5 kasus], Nagekeo [4 kasus], Sumba Barat [3 kasus], Manggarai dan Manggarai Timur [2 kasus], serta Belu, Lembata dan Malaka masing-masing 1 kasus.
“Konsentrasi penguasaan tanah sangat timpang oleh pengusaha dan pemerintah di NTT seluas 755.287 hektare, klaim hutan 524.840 hektare, dan HGU 20.668 hektare,” jelasnya.
Dampaknya, terjadi kemiskinan. Di NTT, terdapat 775.110 keluarga petani gurem yang menguasai tanah kurang dari 0,5 ha. Selain itu, terjadi migrasi masyarakat ke luar negeri, dengan gambaran 657 TKI yang meninggal dan dipulangkan dalam 5 tahun terakhir.
“Konflik agraria di NTT saat ini umumnya terkait pembangunan infrastruktur, bentunya pembangunan jalan, bendungan, lokasi PLTU, PLTPB, dan lainnya,” ungkap Roni.
Baca juga: Konferensi Tenurial 2023: Jaga Ruang Hidup, Masyarakat Sipil Harus Perkuat Gerakan
Reforma agraria
Kasubdit Penetapan Potensi Redistribusi Kementerian ATR/BPN, Slamet Teguh menegaskan, pihaknya berkomitmen menyelesaikan ketimpangan dan penguasaan tanah.
Tahun 2020, indeks gini rasio mencapai 0,54 – 0,67 yaitu sebanyak 1% penduduk menguasai 54% – 67% sumber daya agraria.
“Artinya, masih ada ketimpangan sangat besar. Tanah hanya dikuasai segelintir orang,” ungkapnya.
Tahun 2022, indeks gini rasio mencapai 0,48, yang menandakan terjadinya penurunan ketimpangan pemilikan tanah. Hal ini diimbangi dengan nilai peningkatan pendapatan per kapita penerima reforma agrarian sebesar 15,79 %.
“Solusinya dengan melakukan reforma agraria, melalui redistribusi tanah dan legalisasi aset. Reforma agraria merupakan program pemerintah yang bukan hanya ditujukan untuk mengurangi ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, namun juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ungkapnya.