- Sampah makanan (food waste) merupakan masalah serius di Indonesia yang berdampak negatif pada lingkungan, ekonomi, dan sosial. Unggahan Benedict Wermter di Instagram tentang aplikasi Surplus merupakan kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang masalah limbah makanan di negeri ini.
- Kajian Bappenas pada 2021, setiap tahun 23-48 juta ton makanan terbuang sia-sia. Sebagian besar berasal dari hotel, restoran, katering, supermarket, dan masyarakat. Kerugian ekonomi akibat makanan terbuang mencapai Rp213-Rp551 triliun per tahun.
- Aplikasi Surplus merupakan solusi mengatasi masalah food waste. Aplikasi ini memungkinkan konsumen membeli makanan berlebih dari restoran dan hotel dengan harga lebih murah. Hal ini menguntungkan bagi konsumen, karena bisa makan enak dengan harga lebih terjangkau. Aplikasi Surplus juga menguntungkan restoran dan hotel, karena bisa mengurangi limbah makanan dan meningkatkan pendapatan.
- Yayasan Pelestari Bumi Berkelanjutan(YPBB) juga lakukan aksi agar kurangi sampah makanan. Yayasan ini mengembangkan, dan membuat model percontohan untuk pengumpulan makanan dan terpilah. Masyarakat didampingi untuk memilah sisa makanan, sampah organik dan non organik.
Sampah makanan (food waste) merupakan masalah serius di Indonesia yang berdampak negatif pada lingkungan, ekonomi, dan sosial. Unggahan Benedict Wermter di Instagram tentang aplikasi Surplus merupakan kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang masalah limbah makanan di negeri ini.
“Bayangin guys kalau kalian bisa dapat makanan berlebih (food surplus) dengan harga bagus sekaligus berkontribusi menyelamatkan lingkungan? Aplikasi Surplus @surplusindonesia adalah win-win solusi untuk kalian semua dan alam juga,” kata Benedict Wermter, content creator, dalam akun Istagram-nya, @bule-sampah.
Dengan aplikasi surplus, katanya, bisa mencari restoran dan hotel terdekat yang bisa memberikan diskon hingga 50%. Dengan begitu, katanya, makan mewah harga hemat sekaligus menyelamatkan bumi.
“Kita senang, restoran senang, dan lingkungan hidup juga senang.”
Kalau tidak, katanya, makanan ini akan berakhir ke tempat pembuangan sampah.”
Indonesia, katanya, membuang sampah makanan sampai 48 juta ton per tahun. “Itu triliunan rupiah lho.”
Beni, merupakan warga Jerman yang tertambat hatinya dengan keindahan alam Indonesia sejak menjejakkan kaki di Sumatera Utara enam tahun lalu. Namun, dia prihatin sampah jadi masalah hingga terketuk kampanye melalui akun media sosial sejak 12 bulan lalu.
Dia tergerak membuat berbagai konten video yang mengajak audiens peduli dan menyelamatkan lingkungan. Pengalamannya sebagai peneliti, jurnalis dan akademikus menggerakkan diri untuk bikin konten dalam akun media sosial dengan tagline #Buat Indonesia Bersih Kembali.
Cegah sampah makanan
Muhammad Agung Saputra, pendiri dan CEO Surplus Indonesia kepada Mongabay menjelaskan, Surplus lahir dari keresahan atas sampah makanan belum teratasi dari hulu atau pencegahan.
Selama ini, katanya, penanganan di hilir setelah jadi sampah makanan. Sebagian sampah organik, sudah terkelola seperti jadi pakan ternak, atau larva BSF (black soldier fly/ maggot) dan komposting tetapi sebagian besar lagi jadi sampah.
Agung yang berlatar belakang konsultan lingkungan yang berhubungan dengan amdal dan kebijakan lingkungan khusus waste management & circular economy ini tergerak mencegah makanan sisa.
Dia membuat bisnis model dengan menggandeng pelaku usaha makanan yang kerap membuang makanan layak berlebih. Sedangkan masyarakat tertarik menyelamatkan dan mengonsumsi makanan berlebih layak dan higienis.
Surplus mengawali dengan edukasi sejak 2020 melalui komunitas. Setahun kemudian, Surplus melalui PT Ekonomi Sirkular membuat aplikasi. Saat awal aplikasi Surplus berdiri, makanan berlebih dilabeli atau mendapat stigma negatif lantaran dianggap sebagai makanan sisa.
“Padahal makanan berlebih merupakan makanan aman dan layak. Belum tersentuh. Sedangkan makanan sisa sudah tersentuh,” katanya.
Lantas, Suprlus mengedukasi melalui aplikasi, media sosial dan program brand ambasador. Sekaligus mendekati mahasiswa untuk memberikan pendidikan di kampus. Awalnya, kata Agung, pelaku usaha bisa dihitung jari, banyak yang selama ini makanan berlebih dibuang demi citra.
Kajian Bappenas pada 2021, setiap tahun 23-48 juta ton makanan terbuang sia-sia. Sebagian besar berasal dari hotel, restoran, katering, supermarket, dan masyarakat. Kerugian ekonomi akibat makanan terbuang mencapai Rp213-Rp551 triliun per tahun.
Selama tiga sampai empat tahun, Agung nyatakan bisa mengedukasi pasar. Sekarang, Surplus menggandeng 3.000 pelaku usaha, UMKM, restoran dan hotel. Sedangkan jumlah pengguna sekitar 300.000 orang di seluruh Indonesia. Surplus hadir di Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Yogya dan Bali.
“Pertumbuhan mitra mencapai 3-4 kali lipat setiap tahun. Sebanyak 250 ton makanan terselamatkan, setara 200.000 makanan, mencegah kerugian Rp3 miliar. Berpotensi menghasilkan 3.000 ton CO2 jika jadi food waste,” kata Agung.
Dalam aplikasi Surplus, mitra yang memiliki kelebihan setok makanan diunggah pada jam tertentu dengan setengah harga. Makanan berlebih, katanya, lantaran pelaku usaha berprinsip lebih baik berlebih daripada kekurangan. Hingga setok makanan melimpah. tanpa bisa memperkirakan semua terjual.
Pelaku usaha yang bergabung dengan Surplus, katanya, tidak membuang makanan lagi dan mendapat pemasukan tambahan serta meningkatkan citra go green.
Jadi, bagaimana cara makan mewah setengah harga dengan aplikasi Surplus?
- Download aplikasi Surplus di App Store atau Google Play.
- Buat akun di aplikasi Surplus.
- Pilih restoran atau hotel yang memiliki makanan berlebih.
- Pesan makanan berlebih yang ingin kamu beli.
- Bayar pesanan kamu dengan metode pembayaran yang tersedia.
Baca juga: Sisa Makanan Ternyata Memicu Perubahan Iklim, Kok Bisa?
Hadapi tantangan
Agung bilang, aktivitas Surplus menghadapi tantangan besar menggandeng brand terkemuka lantaran tak ada regulasi mengatur mengenai makanan berlebih.
Dia berharap, pemerintah segera membuat regulasi dari pusat sampai daerah untuk memprioritaskan mencegah sampah makanan.
Agung terus berkampanye dan mengajak pelaku usaha mengurangi produk makanan berlebih dan mencegah jadi sampah makanan.Yayasan Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) Bandung juga berupaya kurangi sampah makanan.
David Sutasurya, Direktur YPBB, mendukung upaya mengurangi atau mencegah sampah makanan. Model pengurangan sampah yang dikembangkan Surplus dan food bank, katanya, bekerjasama dengan hotel dan restoran.
Sejumlah retail, kata David, sudah memilah buah layak, dikupas, dipotong dan dikemas untuk langsung konsumsi atau dijual lebih murah dibandingkan harga normal.
Sementara YPBB, sejak beberapa tahun terakhir, mengintervensi sampah domestik rumah tangga di permukiman padat di Kota Bandung.
Yayasan ini mulai mengedukasi masyarakat dalam mengolah sampah sejak 2005. YPBB membuat model pemilahan dan pengolahan sampah rumah tangga. Program sudah menjangkau 200.000 populasi. Program serupa juga ada di Bali dan Jawa Timur.
“Sekitar 70% sampah organik di perkotaan berupa food waste,” kata David.
YPBB mengembangkan, dan membuat model percontohan untuk pengumpulan makanan dan terpilah. Masyarakat didampingi untuk memilah sisa makanan, sampah organik dan non organik.
Mereka juga mendorong pemerintah Kota Bandung membuat komposter khusus jenis takakura. Sebuah komposter untuk food waste yang menggunakan starter sumber karbon dari sekam, dan serutan kayu untuk membiakkan bakteri secara rutin. Saringan kedua, komposter kecil
Secara rutin, masyarakat bisa memanen kompos untuk pupuk tanaman. Sedangkan sampah makanan dan organik untuk skala besar dibuat dalam bio digester yang menghasilkan biogas.
Bio digester menampung 10 kilogram sampah per hari. Namun, biaya membangun bio digester tergolong mahal bisa Rp20 juta.
“Bisa dikembangkan di area komersial seperti hotel dan restoran.”
YPBB juga mendorong ekosistem pengolahan sampah makanan dengan larva BSF untuk memasok protein di industri peternakan dan perikanan. Terbesar larva BSF untuk pakan ayam, sapi dan perikanan.
“Ekosistem bisnisnya belum terhubung. Pemerintah perlu memfasiltasinya,” katanya.
Muharram Atha Rasyadi, Juru kampanye Urban Greenpeace Indonesia, mengatakan, sampah organik dan sisa makanan merupakan jenis sampah paling banyak di Indonesia. dan kabupaten.
“Pemerintah seharusnya dapat membuat sistem berbasis pemilahan. Membuat model pengolahan sampah sisa makanan dengan pemilahan.”
Baca juga : Sisa Makanan jadi Limbah Dominan, Ini Cara Mengolahnya
********