- Pulau-pulau kecil di sepanjang jalur pelayaran kapal feri penumpang Telaga Punggur Tanjung Pinang mengalami abrasi. Terutama abrasi nampak jelas di pulau-pulau kecil Kelurahan Ngenang Kota Batam.
- Abrasi bukan semata-mata karena dampak perubahan iklim. Tetapi, menurut warga pulau-pulau kecil tersebut, abrasi disebabkan oleh ombak besar yang tercipta dari lalu-lalang kapal feri pengangkut penumpang dari Batam-Tanjung Pinang.
- Pihak kapal membantah aktivitas kapal mereka menyebabkan abrasi, karena ketika melintas di daerah pulau-pulau kecil laju kapal diperlambat.
- Menurut Peneliti BRIN Widodo Setiyo Pranowo gelombang divergen atau gelombang yang disebabkan oleh lalu lintas kapal bisa menyebab abrasi dan erosi di pesisir pulau-pulau kecil.
Pulau-pulau kecil di Kelurahan Ngenang, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Kepulauan Riau, mengalami bencana abrasi. Beberapa bagian tanah pulau sudah terkikis dan turun ke laut.
Setidaknya ada tujuh pulau yang mengalami bencana abrasi, yaitu Pulau Kubung, Pulau Kasam, Pulau Lepang, Pulau Gundul, Pulau Raja, Pulau Todak dan Pulau Malang.
Semua pulau ini berada di Teluk Kelurahan Ngenang, tempat perlintasan kapal komersial feri penumpang dari Pulau Batam menuju Kota Tanjungpinang.
Salah seorang nelayan Pulau Tondak, Abidin (45 tahun) mengajak Mongabay melihat abrasi yang terjadi di pulau-pulau kecil Kelurahan Ngenang, Minggu (07/01/2024). Pulau pertama yang kami kunjungi adalah Pulau Kubung
Dari atas kapal, terlihat abrasi terjadi di Pulau tersebut. Tanah merah di pesisi pulau sudah tergerus hingga tiga meter. Terlihat juga pohon kelapa tumbang ke laut akibat akarnya sudah tak tertanam di tanah lagi.
Begitu juga yang terjadi di pulau-pulau di depannya. Tanah-tanah di pesisir pulau terkikis dan masuk ke laut. Bahkan tanah yang turun diperkirakan mencapai 10 meter.
Abidin mengatakan, abrasi yang terjadi tidak hanya karena dampak perubahan iklim. Tetapi disebabkan gelombang atau ombak yang diciptakan oleh kapal penumpang yang melintas di selat Kelurahan Ngenang, tepat di depan Pulau Todak.
Dari atas kapal Abidin, kami menyaksikan langsung beberapa kapal penumpang melintas diantara pulau-pulau kecil itu. Salah satunya kapal yang kami lihat MV Oceana Dragon 06. Kapal melaju dengan cukup kencang. “Itu lihat, kapalnya kencang, padahal kesepakatan kita kalau melintas di selat ini harus pelan,” katanya.
Setelah kapal melintas gelombang ombak besar terbentuk. Awalnya menggoyangkan kapal kami yang bersandar di pesisir, sebelum akhirnya menghantam pesisir Pulau Kubung. “Bayangkan kalau satu gelombang menjatuhkan satu kerikil, kalau sepuluh kapal saja sehari sudah berapa kerikil yang jatuh, gelombang yang terjadi setiap kali kapal melintas tidak mungkin satu,” katanya.
baca : Belajar Dari Pulau Putri, Abrasi Mengancam Pulau-pulau Terluar Indonesia
Tidak sampai 15 menit, kapal feri lainnya kembali melintas di tempat yang sama. Bahkan beberapa kali, dua kapal bertemu sekaligus dari arah yang berbeda. “Kalau berpapasan seperti ini ombaknya semakin besar,” jelasnya.
Setelah itu, Abidin mengajak kami ke Pulau Todak, pulau ini juga terdampak abrasi akibat gelombang kapal. Ia memperlihatkan beberapa abrasi yang terjadi di belakang kampung warga.
Bahkan batu pemecah ombak hancur akibat tidak bisa menahan gelombang ombak yang kuat. “Kami terus berjibaku untuk membangun batu pemecah ombak ini,” kata Abidin yang juga Ketua RW 03 Pulau Todak.
Gelombang semakin kuat dan besar ketika lalu-lalang kapal bersamaan dengan air laut yang sedang pasang.
Nelayan Takut Melaut
Tidak hanya menyebabkan abrasi, gelombang laut yang diciptakan oleh kapal juga momok menakutkan bagi nelayan. Pasalnya, pernah kejadian dua orang nelayan tenggelam saat melaut, warga menduga salah satu penyebab gelombang kapal yang melintas.
Seperti yang diceritakan Baktiawang warga yang menyaksikan kejadian itu. Ia mengatakan, bahwa kapal terbalik itu sebenarnya tentu murni musibah, tetapi ada dugaan salah satu penyebab sampan nelayan tenggelam adalah akibat gelombang kapal besar yang melintas.
Sejak kejadian itu kata Baki, warga mulai resah, tidak hanya menyebabkan abrasi dan membahayakan nelayan, gelompang lalu lalang kapal ini juga membahayakan anak-anak kampung yang pulang pergi sekolah dengan kapal. “Kita takut juga, nanti ada apa-apa dengan anak-anak sekolah ini, ini memang masalah kecil, tetapi perlu diperhatikan,” katanya.
Warga terdampak terutama masyarakat Pulau Todak, sudah beberapa kali melakukan protes. Bidin mengatakan, sebenarnya selat yang berada di depan pulau-pulau kecil ini bukanlah jalur utama kapal feri tersebut.
Abidin membenarkan ada kesepakatan warga sekitar jalur dengan pemilik kapal, untuk kecepatan kapal diperlambat ketika melewati pulau. Namun perjanjian itu sering dilanggar.
baca juga : Abrasi Ancam Lahan Perkebunan di Pesisir Pulau Bengkalis
Abidin yakin abrasi ini disebabkan gelombang kapal, bukan akibat cuaca perubahan iklim “Saya pastikan abrasi bukan karena gelomang alami, tetapi gelombang buatan seperti ini, kalau gelombang alami dari kecil kita sudah bisa prediksi kapan terjadi, tetapi kalau buatan ini tidak bisa,” katanya.
Dia mengatakan, tidak hanya kapal feri penumpang. Beberapa kapal pemerintah juga melintas dengan kecepatan tinggi. Sehingga menghasilkan gelombang besar. “Seperti kapal perikanan, kapal AL, kapal Kepri 1 (Gubernur Kepri), mereka juga main hajar saja, itu kesal juga kita,” katanya.
Abidin berharap ada aturan khusus yang mengikat tentang kecepatan kapal di pulau-pulau kecil ini agar tidak menciptakan dampak abrasi dan lainnya. “Jangan sampai ada korban lagi, itu yang kita tidak harapkan,” katanya.
“Sekarang kalau dilihat abrasinya sudah sampai 10 meter, apalagi kalau pasang tinggi,” tambahnya.
Apa Kata Manajemen Kapal?
Mongabay mencoba mengkonfirmasi perihal keluhan masyarakat tersebut kepada manajemen kapal Oceana Dragon 06. Kapal ini merupakan kapal pengangkut penumpang dari Pelabuhan Telaga Punggur Batam menuju Pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang.
Menurut Manajemen Kapal Oceana Dragon Yos Marizal, laju kapalnya sudah pelan ketika melintas di selat antara pulau-pulau kecil yang disebutkan Abidin. “Kalau di Pulau Kubung dan Todak kita sudah slow habis,” kata Yos saat dihubungi Mongabay, Senin, (22/01/2024).
Yos tidak mengetahui berapa kecepatan lambat yang dimaksudnya, tetapi ia memastikan kapal Oceana Dragon sudah lambat di daerah pulau-pulau kecil tersebut. “Itu sudah slow, tidak tahu kecepatanya berapa, sudah lambat disitu. Kalau pergi ke Tanjungpinang pasti terasa disitu sudah lambat. Bahkan di jalur itu saja kapal berlayar bisa sampai 5-10 menitan,” katanya.
Keputusan untuk memperlambat laju kapal tersebut kata Yos, sudah menjadi kesepakatan karena di kawasan tersebut terdapat banyak kampung pesisir masyarakat.
Ia juga membantah, bahwa jalur yang dilintasinya merupakan jalur alternatif bukan jalur utama. Yos memastikan jalur tersebut jalur resmi dari pemerintah.
baca juga : Abrasi Ancam Keberadaan Pulau-pulau di Riau, Apa Penyebabnya? (Bagian 2)
Mongabay mencoba mengkonfirmasi terkait jalur kapal feri tersebut kepada Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Khusus Batam. Awalnya konfirmasi dilakukan di Pos KSOP di Pelabuhan Telaga Punggur, namun pihak KSOP meminta untuk konfirmasi ke Kantor Pusat KSOP Khusus Batam di kawasan Sekupang Batam.
Namun, di kantor KSOP Sekupang Batam wawancara tidak bisa dilakukan secara langsung. Tetapi harus melalui proses administrasi pengajuan. Sampai tulisan ini diturunkan surat pengajuan wawancara belum direspon KSOP. Begitu juga sebelumnya upaya konfirmasi melalui sambungan telepon tidak mendapatkan balasan.
Abrasi Pantai
Menurut Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Widodo Setiyo Pranowo, gelombang divergen atau gelombang yang disebabkan oleh lalu lintas kapal bisa menyebab abrasi dan erosi.
“Jadi, gelombang ini bukanlah gelombang laut yang dibangkitkan secara alami oleh hembusan angin terhadap permukaan laut,” katanya kepada Mongabay, Sabtu (20/01/2024).
Widodo mengatakan, ketika gelombang divergen yang dihasilkan oleh kapal ini terjadi di alur pelayaran yang dangkal dan sempit, seperti di Kelurahan Ngenang. Ditambah lagi dengan frekuensi yang rutin, maka berpotensi destruktif menyebabkan erosi atau abrasi pada pantai, erosi pada struktur dermaga di Pantai. Bahkan menyebabkan perahu yang lebih kecil dimensinya tergoyang atau terbalik salah satunya perahu nelayan.
Semakin besar volume dimensi kapal yang terendam di air ditambah dengan semakin tinggi kecepatan kapal dijalankan, maka energi, ketinggian dan periode gelombang juga semakin kuat dan signifikan. Ketika alur pelayaran yang dilalui semakin sempit, maka energi gelombang yang dibangkitkan kekuatannya masih besar ketika menghantam pantai-pantai di kanan dan kiri alur pelayaran.
Jika dilihat dari regulasi belum ada pembatasan kecepatan kapal yang aman di alur pelayaran yang dangkal dan sempit di Indonesia. “Disarankan otoritas perhubungan laut di pemerintah pusat maupun di daerah provinsi di Indonesia, bisa secara bersama-sama menyusun regulasi tertulis atau rambu-rambu tentang batas kecepatan maksimum dari kapal-kapal yang berlayar di alur pelayaran yang dangkal dan sempit,” pungkasnya. (***)