- Kepiting kenari (Birgus latro) merupakan arthropoda darat terbesar di dunia yang berstatus dilindungi oleh pemerintah Indonesia.
- Meski berstatus hewan dilindungi, tetapi kepiting kenari kerap diburu dan dijual untuk dikonsumsi sehingga populasinya mulai menurun. Bahkan harganya bisa mencapai Rp800.000 per ekornya
- Dari penelusuran Mongabay, kepiting kenari ini bisa ditemukan dengan mudah dihidangkan di sejumlah restoran di Kota Ternate, Maluku Utara (Malut). Mohdar Hasanat, satu-satunya pembudidaya kepiting kenari di Malut, menjelaskan beberapa restoran membeli ribuan ekor kepiting kenari setiap tahunnya.
- Perlu adanya penerapan aturan yang ketat untuk penangkapan dan penjualan kepiting kenari di Malut agar populasinya tetap terjaga
Kepiting kenari (Birgus latro) merupakan arthropoda darat terbesar di dunia. Tetapi kepiting kenari atau kepiting kelapa dikenal kemampuannya mengupas buah kelapa dengan capitnya yang keras itu nasibnya sungguh memprihatinkan.
Kepiting kenari merupakan satwa dilindungi berdasarkan SK MenHut No.12/Kpts/II/1987 dan Peraturan Pemerintah No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dan masuk dalam Daftar Merah Spesies IUCN dengan status rentan (vulnerable/vu).
Meski berstatus hewan dilindungi, tetapi kepiting kenari kerap diburu dan dijual untuk dikonsumsi. Bahkan harganya sangat mahal, bisa mencapai Rp800.000 per ekornya. Sehingga menu kepiting kenari hanya disajikan untuk orang kaya saja.
Dari penelusuran Mongabay, kepiting kenari ini bisa ditemukan dengan mudah dihidangkan di sejumlah restoran di Kota Ternate, Maluku Utara (Malut). Informasi yang dihimpun menyebutkan puluhan hingga ratusan ekor kepiting kenari setiap bulannya disuplai ke berbagai restoran di Kota Ternate.
Mohdar Hasanat, seorang pembudidaya kepiting kenari di Pulau Gamumu Obi, Halmahera Selatan, Malut, menjelaskan beberapa restoran membeli ribuan ekor kepiting kenari setiap tahunnya.
“Di Ternate kalau tidak salah ada empat restoran menyediakan menu ini. Ada satu restoran setahun itu membeli ribuan ekor dari warga yang menangkap. Sementara ada juga hanya 750 hingga 900 ekor kepiting kenari per tahun,” katanya saat diwawancarai akhir Januari 2024.
Dia mengaku penangkap dan pedagang pengumpul ini ada di sejumlah pulau di Malut, yang dikirimkan tidak hanya di Malut, tetapi juga sampai ke Jakarta.
baca : Begini Penampakan Ketam Kenari, Kepiting Terbesar di Dunia
Satu-satunya Pembudidaya
Mohdar mengaku telah mengantongi izin dari Kementerian LHK melalui Keputusan Dirjen Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem (KSDAE) No.130.KSDAE/KKH/KSA.2/3/2018 tentang penangkaran Jenis Kepiting Kenari (Birgus latro) untuk indukan penangkaran atas nama CV. Gamumu Sejahtera di Maluku Utara.
Berdasarkan izin itu, Mohdar memiliki jatah indukan yang diambil dari beberapa pulau di Maluku Utara sebanyak 2.220 ekor. “Ada beberapa wilayah yang diambil indukan tersebut yakni di pulau Gebe Halmahera Tengah sebanyak 1568 ekor, Pulau Wor Halmahera Timur 115 ekor dan Pulau Gamumu Halmahera Selatan 537 ekor.
Ukuran indukan yang diambil itu juga sesuai ukuran kerapas 8,0 cm atau beratnya 1,0 kilogram. Dari indukan yang diambil, sebanyak 10% keturunannya dikembalikan ke alam.
Saat ini sudah puluhan ribu ekor kepiting kenari yang menyebar di lokasi penangkaran seluas tujuh hektar. “Di dalam area pembesaran saat ini sudah ada kurang lebih 16 ribu ekor,” jelasnya.
Saat ini Mohdar juga sudah mendapatkan sertifikat untuk memperjualbelikan kepiting kenari ini. Meskipun belum diperdagangkan atau diekspor karena menunggu dilakukan pencatatan stok untuk mendapatkan izin kuota perdagangan dari Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati (KKH) KLHK.
Mohdar adalah satu-satunya orang yang melakukan penangkaran kepiting kenari di Malut bahkan diklaim hanya dia yang membudidayakannya di Indonesia. Sebelumnya, katanya, ada pembudidaya kepiting kenari di Bali. Tetapi setelah ada proyek reklamasi Teluk Benoa, penangkaran ini ditutup.
baca juga : Malut Belum Ada Penangkaran Kepiting Kenari, Jual Beli Masih Ambil dari Alam
Soal penangkapan dan penjualan kepiting kenari dari alam, menurut Mohdar, masih dilakukan secara bebas karena belum bisa diawasi oleh instansi terkait, terutama oleh BKSDA. BKSDA, katanya, sulit mengidentifikasi sumber atau siapa yang menjadi penangkap dan penjual satwa dilindungi ini.
Dia mengusulkan agar Pemprov Maluku Utara menjadikan hewan dilindungi ini sebagai ikon daerah berupa kuliner yang hanya bisa dinikmati di Malut. Namun kepiting kenari yang dihidangkan itu melalui hasil pembudidayaan, bukan diambil secara massif dari alam.
“Malut ini dijuluki sebagai wilayah rempah karena itu Ternate sebagai kota utamanya diberi ikon kota rempah. Kenapa tidak misalnya menjadikan ikon Malut negeri kepiting kenari. Hanya di Malut bisa makan kepiting kenari dari hasil penangkaran,” katanya.
Populasi Menurun
Supyan SP M.Si, dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Khairun Ternate yang banyak melakukan riset kepiting kenari menjelaskan bahwa populasi kepiting kenari semakin menurun karena penangkapan berlebihan dan degradasi habitat aslinya. Padahal kepiting kenari bisa dijumpai di hampir seluruh pulau-pulau kecil di Maluku Utara.
“Perburuan tak terkendali disebabkan tingginya nilai jual. Hewan ini dapat ditemukan di beberapa restoran dengan harga jual Rp250.000-Rp350.000/ekor. Sementara di Jakarta, diperjualbelikan hingga Rp750.000/ekor. Kondisi ini diperparah dengan status sebagai icon kuliner Maluku Utara. Umumnya orang yang datang dari Jawa, Sulawesi dan daerah lain di Indonesia, selalu memesan hewan ini,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Selasa (06/02/2024).
Hal itu membuat pembatasan penangkapan sulit dilakukan. Satu-satunya cara tetap mempertahankan kepiting kenari, lanjutnya, adalah dengan melakukan penangkaran sehingga dapat diperoleh generasi F2 yang dapat dimanfaatkan, termasuk dikonsumsi.
baca juga : Melihat Pembudidayaan Kepiting Kenari dari Pulau Obi
Kepiting kenari, katanya, dilakukan kajian hampir setiap tahun terutama potensi induk dan crablet, biologi dan reproduksi, ekologi dan genetik.
Hasil pengamatan terkait penangkapan hewan ini menunjukkan di pulau tertentu, penangkapan dilakukan setiap waktu. Namun ada beberapa daerah sudah diberlakukan pelarangan penangkapan, misalnya di Pulau Sayafi – Liwo, Halmahera Tengah. Penangkapan diperbolehkan jika untuk konsumsi rumahan, tetapi dengan aturan ketat yaitu untuk ukuran tertentu.
Sementara di Pulau Sain, Uta dan Pulau Gebe Kabupaten Halmahera Tengah, penangkapan terus terjadi sampai saat ini.
“Penangkapan terjadi sepanjang waktu. Masyarakat di sana sudah memberlakukan ukuran layak tangkap. Beberapa penangkap yang berhasil dimintai informasi menyebutkan mereka hanya menangkap hewan ini berjenis kelamin jantan dan berukuran di atas 600 gram. Penentuan ukuran dan jenis kelamin didasarkan pada nilai jual di pasaran,” jelas Supyan.
Dari hasil wawancara dengan warga kepiting kenari yang berukuran kecil tidak laku dijual dan butuh waktu dan biaya pemeliharaan hingga bisa dijual. Mereka juga memilih ukuran tertentu untuk ditangkap.
Jumlah yang ditangkap juga bervariasi berdasarkan lokasi dan lamanya menangkap di alam. Sebagai contoh, sekali menangkap di Pulau Sain, para penangkap tinggal berhari-hari sampai mengumpulkan puluhan, bahkan ratusan ekor baru pulang.
“Desember 2023 lalu kami jumpai penangkap kepiting kenari di Pulau Sain. Mereka dari Kecamatan Pulau Gebe. Saat ditemui, telah mengumpulkan sekitar 30 ekor kepiting dalam kurun waktu seminggu. Pengakuan mereka masih akan tinggal lagi hingga hasil tangkapannya mencapai 100 ekor,” jelas Supyan. Target itu dikejar untuk menutupi modal dana yang dikeluarkan sampai ke Pulau Sain agar tidak rugi.
Meski pemerintah telah menetapkan kepiting kenari sebagai satwa dilindungi, Supyan melihat belum ada tindak lanjut usaha konservasinya. “Belum ada upaya menetapkan suatu pulau sebagai kawasan konservasi,” pungkasnya.
baca juga : Bukan Monster, Memang Begini Penampakan Kepiting Purba
Belum Diawasi
Kepala Seksi Konservasi Wilayah (SKW) 1 Ternate BKSDA Maluku Abas Hurasan saat dikonfirmasi Mongabay, Kamis (08/02/2024) mengakui belum melakukan pemantauan dan perlindungan kepiting kenari karena adanya kebijakan pemanfaatan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri LHK No.057/Menlhk/Sekjen/KSA.2/5/2017 tentang Penetapan Kepiting Kenari (Birgus latro) di Provinsi Maluku Utara sebagai Satwa Buru.
Berdasarkan SK Menteri LHK itu, meski telah ditetapkan sebagai satwa dilindungi, kepiting kenari bisa dimanfaatkan sebagai satwa buru yang bisa ditangkap khusus di wilayah Malut.
Penjelasan Kepala SKW 1 Ternate itu bertolak belakang dengan kenyataannya bahwa kepiting kenari masih ditangkap dan diperjualbelikan secara bebas. Seharusnya penangkapan dan penjualan diatur dengan ketat berdasarkan izin kuota dari pemerintah.
Di Malut sendiri ada dua lembaga usaha mendapatkan izin dari KLHK, yang juga diatur berdasarkan kuota tangkap. Informasi yang diperoleh Mongabay Indonesia, dari 2022 hingga kini, tidak terbit lagi kuota tangkap kepiting kenari secara nasional. (***)
Kepiting Kenari, Kepiting Terbesar di Dunia yang Suka Makan Kelapa