- Ketika kemarau panjang, masyarakat pesisir di Riau hadapi krisis air bersih. Masyarakat berupaya penuhi keperluan air bersih lewat menampung air hujan tetapi kalau memarau panjang tetap kesulitan. Seperti terjadi di Kuala Selat, Indragiri Hilir, persediaan air dominan berasal dari hujan hingga saat kemarau masyarakat harus berhemat dan mencari air bersih dari sumber lain untuk penuhi kebutuhan dasar. Untuk konsumsi, warga harus beli air hujan ke tetangga yang memiliki persediaan lebih.
- Kalau sudah kemarau panjang, untuk konsumsi masyarakat Kuala Selat beli air galon. Biasanya, penjual air galon dari kabupaten tetangga yang datang mengantar langsung setelah banyak permintaan dari warga Kuala Selat. Warga Kuala Selat biasa juga beli air galon di Sungai Guntung, Kelurahan Tagaraja, pusat Pemerintahan Kecamatan Kateman. Sekitar 39 kilometer atau satu jam perjalanan sungai.
- Krisis air di Kuala Selat juga berdampak pada lingkungan dan kesehatan. Kalau kemarau tiba, pemukiman jadi jorok karena sampah berserakan. Krisis air di Kuala Selat diduga penyebab diare yang terkadang menyerang warga.
- Muhammad Reza Sahib, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), berpendapat sebagai negara dengan potensi sumber air berlimpah, krisis air di Indonesia lebih merupakan problem politik, bukan masalah teknis.
Ketika kemarau panjang, masyarakat pesisir di Riau hadapi krisis air bersih. Masyarakat berupaya penuhi keperluan air bersih lewat menampung air hujan tetapi kalau memarau panjang tetap kesulitan. Seperti terjadi di Kuala Selat, Indragiri Hilir, persediaan air dominan berasal dari hujan hingga saat kemarau masyarakat harus berhemat dan mencari air bersih dari sumber lain untuk penuhi kebutuhan dasar. Untuk konsumsi, warga harus beli air hujan ke tetangga yang memiliki persediaan lebih.
Harga satu jeriken air hujan antara Rp15.000-Rp20.000, tergantung ukuran, satu drum mencapai Rp30.000 dan Rp40.000 bahkan sampai Rp80.000. Namun, beli air hujan tak selalu mudah.
Apalagi, kala kekeringan sudah berdampak pada seluruh warga, tak terkecuali rumah tangga yang semula memiliki banyak penampungan air dan menjualnya.
“Susah kalau tak ada air. Kalau beli susah juga. Kadang orang tak mau jual lagi kalau persediaan mereka sudah menipis. Mau tak mau, mohon-mohon ke mereka dari pada tak masak,” kata Dahniar yang membuka kedai harian di rumah. Dia jualan jajanan es dan perlu air bersih.
Lain hal Lizawati. Meski harus beli air hujan ke rumah-rumah warga yang memiliki setok cukup, dia sedikit beruntung karena orangtuanya kerap memiliki persediaan lebih ketika kemarau.
Abdul Rahman, orangtua Lizawati, punya 20 drum air di rumah. Air hujan dalam tampungan itu tak dijual ke orang lain, melainkan buat anak-anak ketika membutuhkan.
Lizawati, mulai berhemat air kalau persediaan sudah menipis dan hujan tak turun-turun. Tak jarang, ada warga berbaik hati berbagi air bersih gratis kalau orangtuanya sudah kehabisan persediaan.
Abdul, meski punya drum banyak, juga pernah kekeringan ketika dua bulan tak hujan.
Susanti juga hemat air kalau persediaan tinggal satu drum. Sisa air itu otomatis hanya untuk konsumi. Buat mandi, dia mulai ambil air dari sumur bor milik bersama depan rumah. Kalau benar-benar habis, dia minta ke rumah mertua juga banyak penampungan air hujan. Tak jarang, terkadang juga beli ke tetangga.
Serupa Dani Sartika. Dia biasa terpaksa beli air hujan ke warga sekitar pondok pesantren ketika kemarau dua bulan. Tangki-tangki air satu per satu mulai kering. Warga yang mengerti kebutuhan air di pesantren cukup banyak, terkadang berbagi gratis.
Dani Sartika, Kepala Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) An-Nur, Kuala Selat. Ini pesantren dengan peserta didik 70 santriawan dan santriwati.
Salah satu rumah tujuan pembelian air hujan adalah Suryati, walau terkadang berbagi air cuma-Cuma, terutama buat warga tak mampu, sekadar satu jeriken.
“Bagi (warga) tak mampu, kadang minta ke kita. Kalau kita tau ekonominya rendah, kita kasih gratis. Duitnya bisa untuk jajan anaknya,” katanya.
Suryati meski punya banyak penampungan air tetap harus berhemat.
Bila kemarau sudah hitungan bulan dan persediaan air mulai menipis, dia beli minuman kemasan untuk konsumsi harian.
Biasanya, penjual air galon dari kabupaten tetangga yang datang mengantar langsung setelah banyak permintaan dari warga Kuala Selat. Komunikasi via telepon terlebih dahulu atau ketika musim kemarau, penjual air galon sudah mengerti datang ke Kuala Selat menjajakan air galon sepanjang sungai belakang rumah warga.
Selain dari provinsi tetangga, warga Kuala Selat biasa juga beli air galon di Sungai Guntung, Kelurahan Tagaraja, pusat Pemerintahan Kecamatan Kateman. Sekitar 39 kilometer atau satu jam perjalanan sungai.
Meski mendapatkan pasokan air bersih untuk konsumsi, kala kemarau, warga Kuala Selat, harus kerja ekstra lagi mencari air bersih untuk mandi dan cuci pakaian. Mereka tak bisa harapkan air tanah karena berkarat dan membuat benda yang bersentuhan jadi kuning.
Saat ini, lokasi tujuan mencari air baku permukaan di sungai-sungai Penjuru, desa tetangga, masih Kecamatan Kateman. Merupakan daerah perkebunan kelapa, sekitar dua atau tiga jam naik pompong menyusuri sungai. Di sana air gambut dan tidak terkontaminasi oleh air asin.
Kalau sudah tiba musim kemarau panjang, pompong-pompong warga hampir tak berhenti lalu lalang di sepanjang sungai hanya untuk mengambil air tawar atau biasa mereka sebut air darat. Yang tak punya perahu, terkadang menitip drum, jeriken atau wadah apapun ke pemilik pompong yang berangkat demi mendapatkan air. Tidak gratis. Biaya jasa angkut ini bisa sampai Rp50.000 buat satu drum air.
Dampak bagi lingkungan dan kesehatan
Krisis air di Kuala Selat juga berdampak pada lingkungan dan kesehatan. Suryati bilang, kalau kemarau tiba, pemukiman jadi jorok karena sampah berserakan. Sebenarnya, persoalan sampah juga jadi masalah lingkungan di Kuala Selat.
Warga masih membuang sampah di sungai. Tak ada sistem sanitasi pengelolaan sampah.
Menurut Suryati, krisis air di Kuala Selat diduga penyebab diare yang terkadang menyerang warga. Tak jarang, warga mengungsi ke rumah keluarga atau kerabat di perkebunan, jauh dari laut.
Lizawati sependapat, kalau krisis air diduga penyebab malaria yang pernah merenggut 18 jiwa pada 2004. Saat itu, kemarau panjang melanda selama hampir delapan bulan. “Dampak susah air, akibatnya tak bisa bersih-bersih. Mau masak pun tak bisa.”
Kendala biaya
Air bersih dan sanitasi layak merupakan tujuan ke enam dari 17 tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals (SDGs). Targetnya, menjamin ketersediaan dan pengelolaan air bersih serta sanitasi berkelanjutan untuk semua orang. Upaya penyediaan air bersih Pemerintah Indragiri Hilir coba pemerintah lakukan tetapi mereka juga hadapi berbagai tantangan.
Rony Fahamsya, Sekretaris Bappeda Indragiri Hilir, mengatakan, ada dua kebijakan Pemerintah Indragiri Hilir dalam penyediaan dan pelayanan air bersih.
Pertama, penguatan perusahaan air minum (PAM) kelolaan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Indragiri. Hanya saja, terbatas melayani rumah tangga pelanggan di ibu kota kecamatan, itupun baru sebagian.
Kedua, program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) melalui sumur bor. Hampir tiap tahun Pemerintah Indragiri Hilir membangun sumur bor. Dua tahun terakhir, bahkan ditopang melalui Bappenas termasuk Kementerian Pekerjaan Umum dengan anggaran pemerintah pusat.
“Hampir merata semua desa sudah ada pelayanan pamsimas,” kata Rony, saat Mongabay hubungi.
Dalam dokumen Metadata Indikator SDGs Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, menyebut, pamsimas merupakan program pelayanan air minum di pedesaan.
Sejak 2008, platform ini telah menyediakan akses air minum layak buat 22,1 juta penduduk di 31.700 desa, termasuk sanitasi layak untuk 15 juta penduduk. Program ini berakhir pada 2021.
Di Sungai Guntung, Kelurahan Tagaraja, tepatnya, ada air baku permukaan berupa embung seluas 14 hektar. Namun, katanya, kapasitas makin tak memadai karena pendangkalan.
Jadi, tak bisa maksimal melayani kebutuhan air bersih masyarakat. Kalau disedot berlebihan jadi kekeringan hingga minumbulkan gulma dan menambah kedangkalan.
Kondisi itu menjadi dilema Pemerintah Indragiri Hilir. Pamsimas dari sumur bor tak bisa ditingkatkan kapasitasnya, hingga menghambat perluasan layanan penyaluran air bersih ke rumah-rumah.
Sisi lain, untuk membangun jaringan perpipaan dengan kondisi geografis seperti Kuala Selat juga perlu anggaran besar.
Pemerintah Indragiri Hilir sudah menghitung biaya normalisasi embung, mencapai puluhan miliar. Mereka pun lempar ke Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera III. Belum ada jawaban atas proposal itu.
Saat ini, Pemerintah Indragiri Hilir masih berkutat pada penyediaan air bersih, belum air minum. Walau upaya itu terus dilakukan. Setidaknya, satu sumur bor untuk menghasilkan air minum layak dan aman mengeluarkan biaya Rp150 juta-Rp250 juta karena harus menambah alat penyaring.
“Karena bagaimana pun kadar besi tinggi maka air kuning. Kebiasaan masyarakat juga masih konsumsi air hujan selain air galon,” kata Rony.
Rony juga menghitung biaya produksi dengan retribusi yang akan diterima pemerintah jika menerapkan teknologi pengolahan air bersih di wilayah yang sulit. Ongkos produksi dinilai lebih besar dan tidak sebanding dengan iuran dari masyarakat atas pemanfaatan air.
“Takutnya masyarakat tak mampu membeli air. Banyak Pamsimas pengelolaannya juga mangkrak karena biaya operasional tidak sebanding dengan biaya iuran air minum,” jelas Rony.
Kementerian PPN/Bappenas, dalam metadata indikator TPB/SDGs menggolongkan air bersih dan sanitasi layak dalam pilar pembangunan lingkungan. Satu dari enam targetnya, mencapai akses universal dan merata terhadap air minum aman dan terjangkau bagi semua pada 2030.
Metadata indikator TPB/SDGs acuan menyusun rencana aksi nasional dan daerah. Dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) TPB/SDGs 2021-2024, pemerintah berupaya mempercepat sambungan rumah (SR)—suplai air langsung ke rumah-rumah—guna pemenuhan air minum aman.
Antara 2012-2021, di perkotaan terpasang SR 210 ribu dengan target 1,2 juta unit pada akhir 2022. Adapun di pedesaan baru tersedia 60 ribu.
Gimik
Muhammad Reza Sahib, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), berpendapat sebagai negara dengan potensi sumber air berlimpah, krisis air di Indonesia lebih merupakan problem politik, bukan masalah teknis.
Dia bilang, ada negara mengindap disorientasi makro dengan menjauh dari amanat konstitusi dan jadi kapitalistik. Dalam orientasi kapitalistik yang makin menguat, problem mikro terabaikan bahkan dipelihara jadi krisis yang didesain (crisis by design).
Contoh, sumber-sumber air dirusak oleh ragam proyek ekstraktif dan belanja publik yang pelit (tidak pernah sampai 1% dari PDB).
Desain krisis, katanya, untuk membentuk situasi suplai air terbatas dan permintaan meningkat. Kondisi ini menciptakan pasar air dan harga tinggi. Tingginya harga dan biaya air akan menggoda investor untuk masuk.
“Indikasi paling nyata soal itu dapat dilihat dari berpindahnya sejumlah kementerian dan nomenklatur terkait air. Dari Kemenko Ekuin ke Kemenko Marves. Apa pun masalahnya investasi solusinya,” kritik Reza.
******