- Indonesia segera luncurkan jaringan satelit secara bertahap mulai bulan Juli 2024 untuk memantau sumber daya kelautan dan perikanan secara lebih efektif.
- Konstelasi 20 satelit nano ini bertujuan untuk secara aktif mengelola upaya konservasi dan memastikan manfaat ekonomi dari sumber daya kelautan. Jaringan satelit memungkinkan pemerintah memantau kondisi di Indonesia dari satu [data] pusat.
- Jaringan satelit akan dilengkapi dengan peralatan frekuensi radio, perangkat pencitraan, dan pelacakan kapal.
- Penggunaan teknologi canggih menjadi solusi dari pemotongan anggaran patroli dan memantau kepatuhan diantara perusahaan perikanan yang beroperasi.
Untuk tujuan pemantauan sumberdaya perikanan, Indonesia akan meluncurkan satelit nano pertama pada bulan Juli 2024, dari total 20 satelit nano yang akan diluncurkan secara bertahap pada tahun-tahun mendatang.
Konstelasi satelit ini, -yang masing-masing tidak lebih berat dari 10 kg ini; duabelas akan dilengkapi peralatan frekuensi radio; lima akan memiliki peralatan pencitraan, dan sisanya akan dilengkapi dengan sensor sistem identifikasi otomatis (AIS) untuk melacak kapal di laut.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Indonesia menyatakan akan melengkapi konstelasi nanosat dengan drone laut untuk mencakup wilayah maritim negara kepulauan terbesar di dunia tersebut.
“[Dengan satelit] kawasan yang dulu pengelolaannya bersifat pasif kini dikelola secara aktif,” tutur Aulia Riza Farhan, Direktur Data KKP, kepada Mongabay di sela-sela sebuah acara di Jakarta.
“Kita akan tahu pasti situasi dan kondisi [sumber daya kelautan dan perikanan] terkini, untuk berbagai tujuan, seperti pariwisata, perikanan skala kecil, dan budidaya perairan.”
Luas wilayah laut Indonesia adalah 5,8 juta kilometer persegi dan merupakan rumah bagi keanekaragaman ikan terumbu karang tertinggi di dunia. Pemantauan, pengawasan dan penegakan hukum tingkat tinggi diperlukan untuk secara efektif mencegah penangkapan ikan yang merusak dan melindungi sumber daya laut, kata para ahli.
“Dengan konstelasi 20 satelit nano tersebut, dalam 24 menit kita bisa mengetahui setiap kondisi di Indonesia dari satu pusat. Ini akan memungkinkan kita untuk memantau pergerakan kapal, dan memantau stok ikan nasional dengan lebih akurat,” lanjutnya.
Teknologi terkini bidang pemantauan perikanan dan maritim telah mulai digunakan oleh pemerintah termasuk penggunaan kecerdasan buatan. Inisiatif ini termasuk peluncuran Pusat Informasi Maritim Indonesia (IMIC) pada bulan Juli 2020 oleh Badan Keamanan Laut, dan Pusat Komando KKP pada bulan September 2022.
Pusat data KKP juga sedang mengembangkan dua alat, yaitu akuntasi kelautan dan data besar (big data) kelautan, untuk memberi informasi kepada pembuatan zonasi kebijakan terkait perikanan, kawasan konservasi, dan ekosistem penting kelautan seperti padang lamun, mangrove, dan terumbu karang.
Pusat data ini merupakan pusat intelijen pertama di bidangnya, dan diharapkan akan membantu menekan kegiatan illegal, unreported and unregulated fishing (IUUF) serta kerawanan keamanan laut lainnya.
Untuk mengoptimalkan jaringan pemantauan satelit, KKP berencana meluncurkan program untuk memasang alat pelacak gratis kepada kapal penangkap ikan skala kecil dan tradisional.
Sebelumnya, kapal yang memiliki berat lebih dari 30 GT, -yang jumlahnya sekitar 10% dari armada nasional telah diwajibkan untuk menggunakan sistem pemantauan kapal (VMS), guna melacak lokasi dan aktivitas kapal penangkap ikan komersial itu di samudera.
Teknologi Eropa
Untuk pengembangan satelit nano ini, KKP bermitra dengan perusahaan Denmark yang berbasis di Aalborg, GomSpace. Rencananya, satelit ini nanti akan diluncurkan oleh perusahaan di India.
“Di GomSpace, kami merasa mendapat kehormatan untuk berperan dalam meningkatkan lingkungan laut dan memantau lalu lintas kapal di Indonesia,” kata Carsten Drachmann, CEO GomSpace, seperti dikutip dari pernyataanya.
Pihak GomSpace menerima kontrak langsung sebesar 59 juta Euro dari total nilai kontrak sebesar 150 juta Euro. Nilai kontrak sisa akan diberikan kepada Ellipse Projects dan sejumlah pemasok, termasuk pemasok lokal Indonesia. Seluruh proyek ini direncanakan akan selesai pada tahun 2027.
Sebelumnya, pada bulan Januari lalu, Menteri KP, Sakti Wahyu Trenggono, telah bertemu dengan perwakilan dari Layanan Satelit Kongsberg Norwegia untuk membahas potensi kemitraan dalam pengembangan perangkat keras dan perangkat lunak pemantauan maritim dan deteksi aktivitas ilegal di laut.
“Satelit mereka mampu mengamati perkembangan alga dan budidaya perairan. Jika teknologi mereka dan teknologi di KKP bisa dipadukan, hasilnya akan lebih baik. Ini yang sedang kami jajaki,” sebut Sakti dalam keterangannya.
Keterbatasan Anggaran Patroli Laut
Pemantauan melalui satelit akan membantu pengamanan sumberdaya ikan dan maritim di Indonesia, alih-alih hanya mengandalkan kepada tindakan patroli laut.
Patroli laut rutin memerlukan biaya yang besar dan amat terbatas karena kurangnya infrastruktur dan sumber daya manusia, untuk menjaga wilayah kepulauan luas seperti Indonesia yang memiliki ribuan pulau.
Idealnya dibutuhkan setidaknya 78 kapal, -atau sekitar dua kali lipat jumlah yang dioperasikan saat ini, untuk memantau penangkapan ikan ilegal dan destruktif, yang dilakukan kapal asing maupun dalam negeri.
Pemotongan anggaran KKP dalam beberapa tahun terakhir juga menyebabkan berkurangnya total waktu patroli yang dilakukan. Mengutip Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), patroli yang dilakukan KKP telah menurun jumlahnya, dari 270 hari pada tahun 2015 menjadi hanya 84 hari pada tahun 2019.
KKP juga mencatat bahwa kepatuhan diantara perusahaan perikanan di Indonesia masih rendah. Saat ini ada sekitar 6.000 izin penangkapan ikan, dengan sekitar 23.000 kapal yang diizinkan.
Tulisan asli: Indonesia unveils plan to launch a satellite network for maritime monitoring Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita
Konflik Laut Natuna Utara, Bintang Utama di Laut Cina Selatan