- Satu orang pelaku perdagangan bagian-bagian tubuh satwa dilindungi berupa sisik trenggiling (Manis javanica) berhasil dibekuk oleh Tim Gabungan BKSDA Sumatera Barat, Balai Gakkum LHK Wilayah Sumatera dan Ditreskrimsus Polda Sumbar di pinggir jalan lintas Sumatera Bukittinggi-Medan, di Kabupaten Pasaman, akhir Maret lalu.
- Pelaku berinisial B (41 tahun) warga Kabupaten Pasaman ditangkap saat akan melakukan transaksi jual beli sisik trenggiling seberat 11 kilogram yang kemudian diamankan sebagai barang bukti beserta satu unit mobil sebagai pengangkut sisik trenggiling tersebut.
- Pelaku disangka melanggar UU No.5/1990 tentang KSDAE dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun dan denda maksimal seratus juta rupiah.
- Data Yayasan SCENTS menunjukkan ada 354 pelaku dengan 299 operasi penangkapan di seluruh Indonesia pada 2022. Pada 2023, ada 267 operasi penangkapan dengan 217 pelaku ditangkap. Dan 3 bulan 2024 baru 35 operasi penangkapan. Trenggiling menempati peringkat pertama dari barang bukti yang disita oleh aparat sejak 2003
Satu orang pelaku perdagangan bagian-bagian tubuh satwa dilindungi berupa sisik trenggiling (Manis javanica) berhasil dibekuk oleh Tm Gabungan BKSDA Sumatera Barat, Balai Gakkum LHK Wilayah Sumatera dan Ditreskrimsus Polda Sumbar di pinggir jalan lintas Sumatera Bukittinggi-Medan, Jorong Petok, Nagari Panti Selatan, Kecamatan Panti, Kabupaten Pasaman, akhir Maret lalu.
Pelaku berinisial B (41 tahun) warga Lubuk Aro Nagari Padang Mentinggi, Kecamatan Rao, Kabupaten Pasaman ditangkap saat akan melakukan transaksi jual beli sisik trenggiling seberat 11 kilogram yang kemudian diamankan sebagai barang bukti beserta satu unit mobil sebagai pengangkut sisik trenggiling tersebut.
Kepala BKSDA Sumbar, Lugi Hartanto mengatakan penangkapan ini berawal adanya informasi dari masyarakat bahwa ada seseorang yang memiliki sisik trenggiling dan akan melakukan kegiatan jual beli di daerah Panti, Pasaman.
“Dalam aksinya, pelaku menawarkan sisik trenggiling kepada pembeli dengan harga satu juta rupiah per kilogramnya. Pelaku tak berkutik ketika dibekuk oleh tim gabungan,” sebut Lugi Hartanto dalam keterangan persnya, Kamis (28/3/2024).
Pelaku disangka melanggar pasal 21 ayat (2) huruf d dan pasal 40 ayat 2 Undang-Undang No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun dan denda maksimal seratus juta rupiah. Untuk pendalaman kasus ini, tim gabungan sedang menelusuri adanya keterlibatan pihak lain dalam jaringan perdagangan satwa liar dilindungi.
Baca : Kala Ratusan Kg Sisik Trenggiling Diamankan di Medan, Nilai Capai Rp50,6 Miliar
Senior Technical Advisor di Yayasan SCENTS (Science for Endangered and Trafficked Species), Dwi Adhiasto mengapresiasi kerja aparat penegak hukum dalam menangkap pelaku perdagangan satwa, meski barang bukti yang ditemukan tidak terlalu besar.
“Kalau kita kalkulasi dalam individu, satu trenggiling itu berat kering dari sisiknya sekitar 0,36 kilogram. Jadi jika berat sisik kering Trenggiling sebanyak 11 kilogram, berarti ada sekitar 39 ekor individu trenggiling. Untuk level penampung di provinsi atau kabupaten memang segitu, masih dibilang itu level bawah. Sedangkan ke penampungan besar terkait eksportir memang sudah ratusan kilogram. Seperti yang terjadi di Kalimantan Barat beberapa bulan lalu ada yang sampai 300 kilogram, sebelumnya yang terakhir sampai 110 kilogram, itu sudah penampung besar yang terhubung ke eksportir,” ungkapnya, Jumat (29/3/2024).
Berdasarkan data Yayasan SCENTS ada 354 pelaku dengan 299 operasi penangkapan di seluruh Indonesia pada 2022. Dari data tersebut, katanya, tidak semua pelaku diproses karena ada beberapa pelaku yang tidak terlibat langsung kejahatan, misal sopir, orang yang hanya dimanfaatkan untuk mengantarkan barang dan sebagainya. Kemudian pada 2023, ada 267 operasi penangkapan dengan 217 pelaku ditangkap.
“Nah kenapa pelaku lebih sedikit dibandingkan operasi penangkapan artinya memang diantara penangkapan-penangkapan itu adalah penyelundupan yang tidak ada pelakunya, maksudnya pengiriman satwa dan bagian-bagian tubuhnya tanpa diketahui siapa pelakunya. Sementara pada 2024 memang masih beberapa bulan, masih kecil baru 35 operasi penangkapan sampai dengan 3 bulan ini,” ungkapnya.
Dwi menilai penegakan hukum kasus kejahatan terhadap satwa liar sangat tergantung pada upaya para penegak hukum.
“Saya prediksi diluar sana kejahatan terhadap satwa masih banyak sekali dan yang dilakukan oleh aparat ini hanya sepersekian dari apa yang ada. Contohnya perdagangan online itu ada ribuan akun yang diungkap, yang modus itu masih sekitar 290 pada tahun kemarin. Artinya masih ada ratusan atau ribuan belum tertangani. Jadi memang penurunan yang tidak terlalu banyak ini tidak bisa mencerminkan apakah wildlife crime ini mengalami penurunan atau tidak,” sebutnya.
Baca juga : Bukit Larangan, Habitat Tersisa Trenggiling di Pulau Bangka
Dwi mengatakan trenggiling menempati peringkat pertama dari barang bukti yang disita oleh aparat sejak 2003. “Mayoritas yang disita itu sisiknya. sisik-sisik itu sebenarnya adalah stockpile, sisik yang disimpan dan dijual ketika dirasa situasi sudah aman atau ada pembeli,” imbuhnya.
Untuk distribusi perdagangan sisik trenggiling itu sendiri, sebut Dwi pada saat dan setelah pandemi Covid-19 sempat mengalami hambatan sehingga para pelaku kebanyakan menjual barangnya ke pengepul lokal. dengan skala barang kecil.
Memutus Rantai Perdagangan
Untuk memutus rantai perdagangan Trenggiling, menurut Dwi, memang tidak mudah karena lintas Negara, sehingga perlu kerjasama internasional. Meski ada beberapa inisiasi kasus melibatkan jaringan internasional ke Cina yang berhasil dibongkar.
Menurutnya ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, meningkatkan perlindungan di area sumber. Saat ini Trenggiling sudah dilindungi di Indonesia dengan status critically endangered oleh IUCN tapi permasalahannya belum ada yang menghitung jumlah populasinya di Indonesia. Sehingga perlu dilakukan perlindungan, proteksi patroli, penyadartahuan, atau memonitor area-area pintu keluar.
“Biasanya Trenggiling itu ditampung ke pelaku yang juga berjualan satwa-satwa lain, seperti tulang harimau, bagian dari tubuh beruang. Orang-orang tersebut perlu dimonitor, jadi memastikan mereka memang membeli yang legal tidak ilegal dan juga termasuk toko-toko obat di Jakarta karena ada temuan juga mereka menjual sisik trenggiling,” katanya.
Kedua, penjagaan di pintu keluar seperti di bandar udara, pelabuhan dan pelabuhan tradisional yang sulit dipantau petugas dibanding pelabuhan besar.
Ketiga, penegak hukum harus menargetkan pelaku yang penting, yang punya dampak signifikan terhadap pembongkaran jaringan dan suplai satwa dilindungi.
Baca juga : Setahun Penjara bagi Penjual Ratusan Kg Sisik Trenggiling, Tak Bikin Efek Jera?
Sedangkan terkait vonis terhadap pelaku perdagangan satwa bisa didasarkan pada level pelaku, jumlah barang bukti dan nilai penting barang bukti, misalnya harimau, gajah, badak, vonisnya lebih tinggi dibandingkan pelaku perdagangan burung-burung kicau ilegal.
Sedangkan vonis pelaku perdagangan trenggiling ini, meskipun tidak setinggi pelaku perdagangan, badak, cula gading, tapi masih lebih tinggi dibandingkan pelaku perdagangan burung atau reptil.
“Ini karena didorong juga trenggiling sudah menjadi perhatian internasional. Jadi itu turut membantu aparat penegak hukum meyakini bahwa dengan memberikan vonis yang tinggi itu turut berkontribusi untuk penyelamatan trenggiling,” pungkasnya. (***)
Riset Sebut Jualan Online Produk Turunan Trenggiling Marak dan Sebaran Meluas