- Timah bagi masyarakat adat di Kepulauan Bangka Belitung adalah “barang panas”. Sebab, timah dapat membuat seseorang menjadi tamak, sehingga berani berbohong, mencuri, serta tega merusak alam dan membuat banyak orang hidup susah.
- Selain timah, sejumlah satwa juga dinilai sebagai barang panas, sehingga dilarang diburu dan dikonsumsi. Misalnya trengiling, beruk, mentilin, kukang, binturong, mengkubung, dan lainnya.
- Belajar dari terbongkarnya dugaan kasus korupsi penambangan timah, seharusnya pemerintah merespon dengan melakukan pemulihan hutan, sungai, hinggga laut yang sudah rusak akibat dampak penambangan timah.
- Saat ini, Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung justru meminta adanya percepatan persetujuan izin pertambangan rakyat [IPR] dari blok tambang timah yang telah ditetapkan sebagai wilayah pertambangan rakyat [WPR].
Timah bagi masyarakat adat di Kepulauan Bangka Belitung adalah “barang panas”. Sebab timah dapat membuat seseorang menjadi tamak, sehingga berani berbohong, mencuri, serta tega merusak alam dan membuat banyak orang hidup susah. Akibatnya, tidak sedikit yang mendapatkan “bala” dari memanfaatkan timah.
“Tertangkapnya sejumlah orang yang diduga melakukan korupsi dari aktivitas penambangan timah membuktikan barang itu memang panas,” kata Sukardi, tokoh adat Suku Mapur di Dusun Tuing, Kabupaten Bangka, kepada Mongabay Indonesia, Kamis [4//4/2024].
“Yang dimaksud barang panas itu yakni benda atau makhluk hidup yang mendorong seseorang menjadi tamak, tega mencuri atau berbohong, serta membuat kerusakan atau merugikan banyak orang dan alam. Jadi, setiap barang panas itu pasti berdampak hal-hal buruk bagi si pelakunya.”
Dijelaskan Sukardi, tidak banyak masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung yang hidupnya sukses dari menambang timah. Bahkan tidak sedikit yang keluarganya berantakan, termasuk terserang penyakit mematikan. “Awalnya enak, banyak duit, tapi ujungnya bernasib malang.”
“Ketika sudah menambang dan merasakan hasil timah, meskipun hasilnya lebih dari cukup, orang tidak akan pernah merasa puas. Akan terus menambang dan menambang, menggunakan segala cara, meskipun harus merusak lingkungan dan merugikan orang lain. Karenanya, orangtua dulu menyebutnya sebagai barang panas,” lanjut Sukardi.
Nurdin, tokoh adat yang menjaga Bukit Peramun, di Pulau Belitung mengatakan, sejak awal penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung, tidak banyak dampak positif yang diperoleh masyarakat.
“Semua hasil dari timah akan cepat diperoleh, namun juga akan cepat hilang. Karenanya, timah disebut barang panas, karena banyak menghasilkan konflik, kerusakan lingkungan, dan hanya memicu sifat serakah, orang jadi lupa bersyukur,” ujarnya..
Dari pemahaman tersebut membuat sedikit sekali masyarakat adat yang terlibat dalam penambangan timah.
“Dapat dikatakan para penambang timah itu umumnya para pendatang atau keturunan dari mereka yang sebelumnya bekerja di perusahaan penambangan timah,” lanjut Sukardi.
Dijelaskan dia, “barang panas” itu bukan hanya timah, juga berbagai makhluk hidup di Kepulauan Bangka Belitung, yang jika dimanfaatkan mendatangkan bala [penyakit dan bencana], atau mendorong seseorang menjadi serakah dan memicu konflik di masyarakat.
Contoh lainnya, seperti trengiling, beruk, mentilin, kukang, binturong, mengkubung, dan lainnya. “Maka, binatang itu bagi kami dilarang untuk diburu atau dikonsumsi. Sebab, jika diburu atau dikonsumsi menimbulkan kerusakan di alam dan menyebabkan penyakit atau kesialan bagi yang mengonsumsinya.”
Dihentikan dan diperbaiki
Pembelajaran dari kasus korupsi timah yang mencapai ratusan triliun Rupiah, kata Sukardi, seharusnya pemerintah menjadikan aktivitas penambangan timah tidak lagi menjadi pilihan utama pemerintah ataupun masyarakat. Bahkan sudah saatnya dihentikan, karena dampak tambang sudah dirasakan seluruh masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung, termasuk mereka yang terlibat.
“Pemerintah harusnya fokus pada pemulihan hutan, sungai, hinggga laut yang sudah rusak akibat dampak penambangan timah, yang sudah berlangsung puluhan tahun,” ujar Sukardi.
Selanjutnya, masyarakat Bangka Belitung kembali melaksanakan pesan orangtua dulu. “Melakukan aktivitas, seperti melaut dan behume [berkebun] dengan menjunjung kearifan dan menegakkan pantang larang.”
Abok Gedoi, Ketua Adat Suku Mapur di Dusun Air Abik, Kabupaten Bangka, mengatakan dengan adanya dugaan kasus korupsi tambang timah, pemerintah seharusnya memperkuat dan mengakui wilayah adat serta berbagai kearifan yang dimiliki masyarakat adat.
“Sejauh ini, hutan larangan yang tersisa menjadi bukti kalau kearifan masyarakat adat berperan penting dalam menjaga lingkungan di Kepulauan Bangka Belitung. Wilayah adat yang dirusak dan tergerus harus dipulihkan, dan kembali dijaga dengan berbagai pantang larang yang ada di masyarakat adat,” katanya.
Nasidi, tokoh adat Tebat Rasau, Kabupaten Belitung Timur mengatakan, selain menata wilayah adat yang dirusak, pemerintah juga harus fokus pada daerah aliran sungai [DAS] yang telah rusak akibat penambangan timah.
“Sejauh ini, DAS kerap menjadi target penambangan. Dampaknya bisa panjang, mulai dari sumber air yang tercemar, keanekaragaman hayati yang hilang, dan bermuara pada kerusakan laut yang menampung aliran limbah penambangan,” ujarnya.
Hingga saat ini, penyelidikan kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan [IUP] PT Timah Tbk tahun 2015-2022 masih terus bergulir. Dikutip dari detik.com, sudah 16 tersangka yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung [Kejagung].
Tapi, terkait masalah tersebut, Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung justru meminta adanya percepatan persetujuan izin pertambangan rakyat [IPR] dari blok tambang timah yang telah ditetapkan sebagai wilayah pertambangan rakyat [WPR].
“Secara psikologi kami di pemerintah daerah inginnya cepat karena melihat penurunan ekspor yang luar biasa tajam, bahkan Januari 2024 itu nol ekspor,” kata Safrizal ZA, Penjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, saat rapat dengar pendapat [RDP] di Komisi VII DPR RI, Jakarta, Selasa [26/3/2024], dikutip dari ekonomibisnis.com.
Sikap pemerintah tersebut disayangkan pegiat lingkungan.
“Seharusnya pemerintah di Kepulauan Bangka Belitung memproyeksikan perbaikan dari kerusakan lingkungan sebagai dampak penambangan timah. Sebab, rusaknya lingkungan menyebabkan masyarakat kehilangan mata pencarian, baik dari hutan, kebun, hingga laut. Selain menimbulkan berbagai penyakit, dan persoalan sosial lainnya,” kata Jessix Amundian dari Tumbek for Earth, Kamis [4//4/2024].
Harus diakui, meskipun aktivitas timah sudah dilarang di kawasan ekosistem esensial dan penting bagi masyarakat, seperti sumber mata air, badan sungai, muara sungai, pesisir, hingga laut, tapi penambangan tersebut tetap berlangsung.
Hal ini dikarenakan, wilayah-wilayah tersebut merupakan sejumlah titik deposit timah yang berasal dari proses pengikisan batuan granit.
“Sekali lagi, yang harus dilakukan pemerintah yakni memperbaiki lingkungan, khususnya di wilayah sumber mata air, badan sungai, pesisir dan laut,” tandasnya.