- Transparency International (TI) Indonesia mengungkapkan bahwa Kabupaten Konawe Utara (Konut) Sulawesi Tenggara (Sultra) memiliki potensi ekonomi kelapa sawit yang besar, namun tidak maksimal karena tidak transparan dalam aspek pengelolaannya.
- Berbagai hambatan dihadapi petani swadaya sawit di Kecamatan Wiwirano dan Langgikima, seperti ketidakadilan pembagian keuntungan hingga ketidakpastian status tanah.
- TI Indonesia menekankan bahwa aspek transparansi dalam hal tata kelola industri kelapa sawit sangat krusial karena menentukan akses petani terhadap informasi, bantuan, dan fasilitas yang dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas produksi sawit.
- Dinas Perkebunan Pemerintah Sultra mengidentifikasi akar permasalahan tata kelola sawit di Konut adalah ketidakpastian status tanah. Sedangkan Prof. Usman Rianse Sutawijaya, Guru Besar Pertanian Universitas Halu Oleo (UHO) menolak penggunaan kata ‘plasma’ dalam upaya penyelesaian masalah antara petani sawit dan Perusahaan Kelapa Sawit.
Transparency International (TI) Indonesia mengungkapkan bahwa Kabupaten Konawe Utara (Konut) memiliki potensi ekonomi yang besar yang bersumber dari komoditas sawit di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Namun potensi tersebut tidak terkelola secara maksimal karena tidak transparan dalam aspek pengelolaannya.
Kesimpulan itu diungkapkan TI Indonesia di Hotel Claro, Kendari, Sultra, 26/3/2024, ketika mempresentasikan kajian anyarnya yang bertajuk Transparansi Kebijakan Sawit dan Janji Kesejahteraan Petani Swadaya, dengan lokasi penelitian di Kabupaten Konut, Sultra.
Penelitian itu diklaim berbeda dengan riset-riset sebelumnya yang kental dengan pendekatan statistik. Riset terbaru TI Indonesia ini dilakukan dengan metode etnografi cepat (rapid ethnography) untuk memotret secara akurat kompleksitas masalah tata kelola perkebunan sawit di Konut yang tidak transparan antara petani sawit swadaya dengan perusahaan perkebunan sawit.
Dalam kajiannya TI Indonesia menekankan bahwa aspek transparansi dalam hal tata kelola industri kelapa sawit sangat krusial karena menentukan akses petani terhadap informasi, bantuan, dan fasilitas yang dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas produksi sawit.
Namun faktanya di Konut, kebijakan maupun perjanjian kerjasama usaha perkebunan sawit antara petani dan perusahaan, tidak sepenuhnya tersampaikan kepada petani atau bahkan ketika tersampaikan, terdapat hambatan dalam pemahaman dan implementasinya di lapangan.
Janji kesejahteraan yang kerap ditawarkan pada awal penanaman sawit seringkali terdengar manis, dan dalam perjalanannya, petani swadaya di Konut seringkali menghadapi berbagai kendala, mulai dari fluktuasi harga, akses terhadap pasar, hingga kendala biaya produksi dan operasional yang tinggi.
Baca : Cerita Petani Plasma Sawit di Langgikima, Berharap Untung Malah Buntung
Riset etnografi kilat ini dilakukan di Kecamatan Wiwirano dan Langgikima. Perkebunan kelapa sawit di dua kecamatan tersebut telah menjadi subjek kritik karena kurangnya transparansi kebijakan dan implementasinya di lapangan. Di tengah potensi ekonomi yang signifikan, petani swadaya di dua kecamatan ini seringkali berhadapan dengan serangkaian hambatan yang merugikan, dari ketidakadilan pembagian keuntungan hingga ketidakpastian status tanah.
“Pembangunan industri kelapa sawit di Konawe Utara seharusnya mampu menawarkan prospek peningkatan kesejahteraan petani sawit swadaya melalui mekanisme kerja sama yang berbasis transparansi dan kebijakan yang inklusif,” kata Hendri Bagus, Peneliti TI Indonesia.
Kenyataan ini sejalan dengan temuan Mongabay Indonesia di awal tahun 2023, dimana petani sawit rakyat di Kecamatan Langgikima, Konut, yang mayoritas dilakoni oleh para transmigran punya cerita pahit soal bermitra atau jadi plasma dari perusahaan sawit skala besar. Perusahaan sawit menggunakan perjanjian dengan petani sebagai alat mengklaim status lahan plasma tetapi pengelolaan hanya sepihak oleh perusahaan.
Tolak ‘Plasma’
“Kami tidak setuju dengan istilah plasma!” lantang suara Prof. Usman Rianse Sutawijaya, Guru Besar di bidang pertanian Universitas Halu Oleo (UHO), yang menjadi penanggap dalam diskusi publik TI Indonesia itu.
Rianse mengungkapkan banyak petani swadaya di Konut tidak memperoleh transparansi terkait hak dalam kerjasama pengelolaan perkebunan plasma, terutama dalam pembagian keuntungan dari Perusahaan Kelapa Sawit (PKS).
Menurutnya, mengadopsi istilah plasma sama halnya dengan melegalkan tindakan untuk menyelamatkan ‘perundang-undangan’ perkebunan sawit. Tanggapannya itu berdasar pada hasil penelitiannya dkk mengenai sawit selama beberapa tahun yang berjudul Inovasi Model Kemitraan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Berbasis Budaya Lokal di Konawe Utara yang diterbitkan pada Mei 2023.
Salah satu tujuan dalam penelitian itu untuk mengidentifikasi pola kemitraan antara petani pemilik lahan dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Konawe Utara, dengan mewawancarai petani dan manajer perusahaan perkebunan sawit serta diskusi kelompok terarah (FGD). Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dan pendekatan sistem.
Baca juga : Orang Pahou Hidup Sulit Kala Ada Perusahaan Sawit
Dikutip dari isi penelitian Rianse dkk, penelitian itu menyimpulkan terdapat dua pola kemitraan perkebunan antara petani dengan perusahaan kelapa sawit di Konawe Utara, yaitu pola kemitraan inti-plasma antara petani kelapa sawit dengan perusahaan perkebunan negara (PTPN-14) dan pola kemitraan satu atap dengan bagi hasil 40:60 antara petani dengan perusahaan swasta (PT SPLi dan PT DJL).
Pola ini menunjukkan banyak kelemahan, antara lain tidak mempertimbangkan produktivitas lahan, lahan petani tidak diperhitungkan sebagai modal, informasi harga dan produksi tidak diketahui petani secara cepat dan terbuka, tidak ada peningkatan kapasitas petani baik dalam pengelolaan kebun maupun penguatan sosial dan kelembagaan.
Dalam kemitraan PKS, petani diberikan akses kepemilikan saham (maksimal 49%) untuk mendapatkan manfaat tambahan dari peningkatan nilai tambah pengolahan kelapa sawit. Model kemitraan yang ditawarkan untuk meningkatkan efektivitas kelembagaan pengelolaan usaha perkebunan kelapa sawit di Konawe Utara adalah corporate farming dengan memanfaatkan budaya dan kearifan lokal masyarakat, khususnya suku Tolaki.
“Jadi tidak benar dikatakan plasma,” tegas Rianse.
Pada kesempatan yang sama, Akbar Efendi, Kabid Perkebunan, Dinas Perkebunan Pemprov Sultra mengapresiasi hasil riset TI Indonesia, dan akan direkomendasikan kepada Pemkab Konut.
“Memang sudah lama tata kelola sawit di Konawe Utara bermasalah, akarnya salah satunya adalah ketidakpastian status tanah. Seharusnya permasalah pengelolaan sawit di Konawe Utara itu harus diselesaikan dulu di level pemerintah kabupaten,” jelasnya.
Perlu dibaca : Lahan Transmigran di Konawe Selatan Bersengketa dengan Perusahaan Sawit dan Warga Lokal
Imran Tumora, aktivis LSM Teras, yang juga hadir sebagai narasumber pembanding, mengungkapkan hasil kajian mereka selama bertahun-tahun mengamati aktivitas PKS di Konut sejak tahun 2008.
Tumora mengungkapkan pemerintah telah mensertifikatkan kawasan hutan melalui program transmigrasi pada era tahun 1990-an akhir. Pemerintah memberi kuasa sertifikat tersebut kepada para transmigran, di mana sebagian dari tanah bersertifikat itu berada di dalam kawasan hutan. “Itu sebenarnya (yang) tidak bisa (dilakukan),” tudingnya.
Tumora menekankan solusi kepada pemerintah untuk memperjelas status kawasan yang sebelumnya ditempati transmigran. Status kawasan yang dinilai tumpang tindih menjadi akar permasalahan. “Mengapa tidak pernah dikerjakan (solusi) ini,” katanya.
Gender Termarginalkan
Riset TI Indonesia juga menggarisbawahi fenomena sering terjadi pemarginalan peran dan kontribuasi gender, khususnya kepada perempuan dalam konteks pengembangan industri perkebunan kelapa sawit.
Di desa-desa Konut fenomena tersebut juga terpotret, perempuan memainkan peran vital tidak hanya dalam ranah domestik tetapi juga dalam produksi dan kegiatan sosial – namun seringkali kontribusi tersebut tidak tercatat dalam catatan ekonomi resmi. Salah satu tantangan utama bagi perempuan dalam industri kelapa sawit di Konut adalah akses yang terbatas ke sumber daya seperti tanah dan modal.
Hastin, Ketua Kelompok Wanita Tani Samaturu, di Konut, yang hadir sebagai salah satu pembicara menanggapi penelitian TI Indonesia, menjelaskan bahwa perempuan memainkan peran krusial dalam kelangsungan hidup ekonomi keluarga di Konut, baik melalui peran tradisional mereka di dalam rumah tangga maupun kontribusi mereka terhadap industri perkebunan kelapa sawit.
Akan tetapi, “Untuk memaksimalkan potensi perempuan dalam industri ini, diperlukan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender, seperti pengakuan terhadap hak kepemilikan tanah untuk perempuan, akses yang lebih luas terhadap sumber daya dan pelatihan,” ucap Hastin. (***)