- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah menerbitkan nama-nama lokasi pembersihan sedimentasi di laut yang tersebar di perairan pulau Jawa, Selat Makassar, Laut Natuna dan Laut Natuna Utara, serta perairan Kepulauan Riau
- Lokasi-lokasi tersebut akan dimanfaatkan oleh pelaku usaha dengan mengajukan perizinan kepada KKP dan memenuhi segala persyaratan yang sudah ditentukan. Syarat-syarat tersebut harus dipenuhi oleh pelaku usaha yang memenuhi kriteria tertentu
- Kegiatan pembersihan sedimentasi di laut tersebut mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, bersama dua aturan turunan berupa Peraturan Menteri Kelautan dan Keputusan Menteri Kelautan
- Namun, penolakan bertubi-tubi datang dari banyak pihak karena kegiatan pembersihan sedimentasi di laut sama saja dengan kegiatan pertambangan pasir laut yang mengancam ruang hidup dan penghidupan nelayan kecil dan tradisional
Pemerintah Indonesia sudah menetapkan lokasi-lokasi perairan yang akan dilakukan pembersihan sedimentasi di laut. Lokasi-lokasi tersebut sudah diumumkan secara resmi oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono.
Berdasarkan pengumuman tersebut, lokasi-lokasi pembersihan
tersebar di Laut Jawa yang meliputi Kabupaten Demak (Jawa Tengah); Kota Surabaya (Jawa Timur); Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Karawang (Jawa Barat).
Kemudian, di perairan Selat Makassar dengan lokasi di sekitar perairan sekitar Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur. Serta, di Laut Natuna dan Laut Natuna Utara yang berlokasi di sekitar perairan pulau Karimun, pulau Lingga, dan pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.
“Dengan kedalaman hasil sedimentasi di laut sampai dengan tiga meter,” ucap Trenggono saat memberi keterangan resmi pada Jumat, (15/03/2024).
Dia mengatakan, penentuan lokasi untuk pembersihan sedimentasi di laut dilakukan melalui koordinasi dengan semua pihak dan melalui kajian ilmiah pada titik-titik tersebut. Kegiatan tersebut menjadi amanat dari Peraturan Pemerintah (PP) No.26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Selanjutnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membuat aturan turunan berupa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.33/2023 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No.26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Serta, aturan turunan berupa Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.16/2024 tentang Dokumen Perencanaan Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Setelah ada lokasi-lokasi pengambilan sedimentasi di laut, pelaku usaha dipersilakan untuk bisa memanfaatkannya. Namun, pelaku usaha yang ingin memanfaatkan harus punya kriteria bergerak pada bidang pembersihan hasil sedimentasi di laut, dan atau pemanfaatan hasil sedimentasi di laut, serta memiliki peralatan dengan teknologi khusus.
Jika tertarik, Menteri KP mempersilakan para pelaku usaha untuk mengajukan proposal pemanfaatan kepada KKP dengan memuat tujuan pembersihan, lokasi, volume, metode, dan sarana pembersihan.
Kemudian, dilampirkan juga keterangan riwayat pengalaman dalam melakukan usaha pembersihan hasil sedimentasi di laut dan pemanfaatannya secara bertanggung jawab, dokumen permohonan persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL), serta pernyataan tidak memiliki riwayat pelanggaran Perizinan Berusaha di sektor kelautan dan perikanan.
“Pelaku usaha juga harus memenuhi ketentuan-ketentuan, salah satunya harus memenuhi kebutuhan dalam negeri,” pungkasnya.
Baca : Jokowi Buka Keran Ekspor Tambang Pasir Laut Setelah 20 Tahun Dilarang
Kebijakan Melanggar UU
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Parid Ridwanuddin menanggapi penetapan lokasi pengambilan sedimentasi di laut sebagai sebuah kebijakan penambangan pasir laut yang menegaskan bahwa Pemerintah sudah gagal melindungi wilayah tangkap nelayan.
Sekaligus, Pemerintah gagal untuk melindungi nelayan sebagaimana dimandatkan oleh Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Tidak itu saja, dia menilai kalau kebijakan tersebut sudah bertentangan dengan UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), khususnya pasal 35 huruf i yang menyebut melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.
Semua itu, membuat nelayan kecil dan tradisional yang mendominasi industri perikanan tangkap nasional, hampir pasti akan menghadapi tantangan besar karena harus bersaing dengan pelaku usaha dengan modal besar dan peralatan canggih terkini.
“Nelayan kecil harus menjaga wilayah tangkapnya dari ekspansi pertambangan pasir laut. Seluruh nelayan di Indonesia harus mendatangi KKP di Jakarta, maupun dinas KP di daerah masing-masing untuk melakukan protes mendesak pencabutan kebijakan tambang pasir laut,” ungkapnya kepada Mongabay Indonesia.
Selain mengajukan tuntutan pencabutan kebijakan tersebut, Parid mengatakan kalau nelayan kecil dan tradisional juga bisa menempuh jalur hukum untuk menggugat PP No.26/2023 dan turunannya Permen KP No.33/2023 ke Mahkamah Agung (MA).
Cara lainnya, adalah dengan mendesak Presiden RI untuk mencabut PP No.26/2023, karena bertentangan dengan UU Dasar 1945, khususnya pasal 33 ayat 3 dan ayat 4. Lalu, mendesak kepada DPR RI untuk memanggil Presiden dan memintanya untuk mencabut PP ini dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Kemudian, seluruh elemen masyarakat pesisir di Indonesia harus kompak bersatu untuk mendesak pencabutan regulasi kebijakan pengelolaan sedimentasi di laut kepada Pemerintah. Jika Pemerintah tidak mau mempertimbangkan kepentingan masyarakat, maka masyarakat harus memastikan kebijakan penambangan pasir laut ini tidak berjalan di lapangan.
Baca juga : KKP Targetkan PP Sedimentasi Laut Berjalan Tahun ini, Bagaimana Nasib Nelayan dan Dampak Lingkungan?
Krisis Ekologi
Tentang lokasi-lokasi yang sudah ditunjuk oleh KKP untuk kegiatan pengambilan sedimentasi di laut, dia menyebut kalau semua wilayah tersebut adalah kawasan tangkapan nelayan kecil dan tradisional yang sudah dikelola selama bertahun-tahun dan turun temurun.
“Jika penambangan ini tidak dihentikan, akan melanggengkan krisis ekologi dalam jangka panjang, khususnya krisis sumber daya ikan,” jelasnya.
Ia mencontohkan, sumber daya ikan (SDI) yang ada di perairan pulau Jawa saat ini sudah berada pada situasi yang mengkhawatirkan.
Berdasarkan Kepmen KP No.19/2022 tentang Estimasi Potensi Sumber daya Ikan, Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan SDI di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, SDI telah mengalami fully exploited sebesar 67 persen, dan over exploited sebesar 22 persen.
Kemudian, penunjukkan perairan sekitar Kepulauan Riau juga berpotensi akan memunculkan masalah baru, terutama ancaman abrasi di pulau-pulau kecil yang sangat rentan seperti di pulau Rupat. Sementara, penunjukan lokasi di Kalimantan Timur juga harus diwaspadai karena potensial untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Nusantara.
“Penambangan pasir laut di Selat Makasar ini akan menggenapi kerusakan yang selama ini telah terjadi di Teluk Balikpapan, akibat pembangunan IKN yang telah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir,” tegasnya.
Perlu Dibaca : Pemerintah Indonesia Wajib Revisi PP tentang Pengelolaan Sedimentasi Laut
Desakan Pembatalan
Pada September 2023, dalam dokumen Rekomendasi Agenda Prioritas Percepatan Reformasi Hukum yang dibuat Tim percepatan reformasi hukum, menyebutkan salah satu langkah mendesak yang harus dilakukan Pemerintah adalah membatalkan PP No.26/2023.
Desakan itu dipublikasikan, karena aturan itu membuka kembali pintu ekspor pasir laut. Sementara, penambangan dan ekspor pasir laut telah terbukti menyebabkan konflik dan memberikan dampak buruk terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Namun, rekomendasi tersebut ternyata tidak diperhatikan oleh KKP dan justru pada waktu bersamaan menerbitkan aturan turunan dari PP 26/2023 dan kemudian mengumumkan lokasi pembersihan sedimentasi di laut.
“Tidak lain itu adalah izin untuk melakukan penambangan pasir laut,” tegas Parid.
Dia menambahkan, dalam dokumen Rekomendasi Agenda Prioritas Percepatan Reformasi Hukum, disebutkan bahwa pemanfaatan sedimentasi hasil laut pernah dilarang pada 2003 dengan alasan mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas, seperti tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah.
Selain itu, kegiatan tersebut pada 2003 dilarang, karena belum ada penyelesaian batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura. Hal itu dikhawatirkan akan bisa memengaruhi batas wilayah di antara kedua negara.
Lebih tajam dan detail, Parid memaparkan bahwa pelaksanaan kebijakan pengelolaan sedimentasi di laut semakin memperjelas bahwa Pemerintah sudah tunduk kepada oligarki tambang pasir laut.
Kebijakan ini juga sudah membuka wajah asli Pemerintahan Joko Widodo yang eksploitatif, sekaligus tak memiliki visi keadilan dan keberlanjutan pengelolaan sumber daya laut. Itu berarti, masa depan laut dan nelayan akan dikorbankan untuk kepentingan jangka pendek ini.
“Penambangan pasir laut berkedok pembersihan sedimentasi laut hanya akan melanggengkan kerusakan di laut Indonesia dan menghancurkan kehidupan rumah tangga perikanan,” jelasnya.
Baca Juga : Benarkah Demi Kesehatan Laut, Pemanfaatan Sedimentasi Laut Dilakukan?
Dia menggarisbawahi bahwa lokasi penambangan pasir laut merupakan kawasan tangkap nelayan tradisional yang hidupnya tergantung pada sumber daya perikanan. Kebijakan ini akan menghancurkan ekonomi perikanan yang menjadi tumpuan utama nelayan di Indonesia.
WALHI mencatat, tambang pasir di pulau Rupattelah mengakibatkan abrasi di wilayah pesisirnya. Begitu pun di pulau Kodingareng, Sulawesi Selatan mengalami kondisi yang sama. Sementara, biaya pemulihan lingkungan akibat penambangan pasir laut dihitung jauh lebih besar dibandingkan dengan keuntungan ekonomi yang dihasilkan.
Berdasarkan kajian yang dilakukan WALHI bersama tim ahli, biaya pemulihan lingkungan hidup akibat penambangan pasir laut lima kali lipat lebih besar dari pendapatan yang dihasilkan. Jika harga per meter kubik (m3) pasir laut senilai SGD7,4, maka pasir laut sebanyak 344,8 juta m3 yang sudah diambil, akan memerlukan biaya pemulihan lingkungan sebesar SGD129,3 juta atau ekuivalen Rp1.507 triiliun per tahun.
Kemudian, Parid Ridwanuddin juga mengingatkan bahwa penambangan pasir laut juga berpotensi bisa memperparah dampak krisis iklim yang mengancam akan menenggelamkan wilayah pesisir dan pulau kecil, karena percepatan kenaikan muka air laut.
Kondisi seperti itu saat ini sudah mulai bermunculan di wilayah pulau Jawa bagian utara dan pulau Sumatera bagian barat, di mana daratan sepanjang satu kilometer yang menjorok ke laut diketahui sudah menghilang.
“Perpaduan antara dampak destruktif pertambangan pasir laut dan krisis iklim mengancam kehidupan masyarakat pesisir,” terangnya.
Perlu dibaca : Ekspor Pasir Laut Dibuka Jokowi, Mimpi Buruk Nelayan Kepri Terjadi Lagi
Paradoks Ekonomi Biru
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta Suhana menyebut kalau kebijakan tambang pasir laut adalah salah satu paradoks ekonomi biru. Menurutnya, untuk mengatasi persoalan sedimentasi bukan dengan cara kegiatan pertambangan.
Tetapi, dilakukan dengan memperbaiki wilayah yang mengalami abrasi, melakukan penanaman pohon dan pemasangan sedimentrap. Jika solusi dipilih melalui kegiatan pertambangan, maka itu sama saja dengna membiarkan abrasi akan bermunculan di lokasi yang baru.
Dia menilai kalau kebijakan pengelolaan sedimentasi di laut akan mengulang kasus tambang pasir laut yang ada di Kepulauan Riau sepanjang 2001 hingga 2003. Saat itu, muncul konflik antara penambang pasir laut dengan nelayan kecil dan terus meruncing dari waktu ke waktu.
“Nelayan kecil akan semakin terdesak, karena wilayah tangkapnya dikuras pasirnya,” jelasnya kepada Mongabay.
Kondisi itu membuat ruang gerak nelayan kecil menjadi semakin terdesak dan itu memicu terjadinya perpindahan wilayah tangkap ke lokasi lebih jauh. Tapi, pilihan tersebut juga sulit dilakukan karena memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Tak hanya nelayan kecil yang akan menjadi korban, lanjutnya, lokasi-lokasi kegiatan budi daya perikanan juga akan terdampak secara langsung akibat berubahnya warna air laut menjadi lebih keruh karena kegiatan penambangan pasir laut.
“Oleh sebab itu kebijakan ini harus dibatalkan, karena jelas akan merugikan sektor kelautan lainnya, seperti nelayan kecil, budi daya laut, dan wisata bahari,” tegasnya.
Kebijakan pengelolaan sedimentasi di laut juga menunjukkan inkonsistensi dari Pemerintah yang selama ini sudah mendorong kegiatan pariwisata bahari. Jika terus berjalan, maka kegiatan pariwisata bahari akan terganggu karena pasir mengalami kerusakan akibat tambang.
“Di satu sisi mendorong pengembangan kampung nelayan modern (kalamo), tapi di sisi lain wilayah tangkap nelayan kecilnya akan dirusak oleh tambang pasir,” tambahnya.
Tentang penunjukkan lokasi-lokasi pengambilan sedimentasi di laut, Suhana menyebut kalau semuanya ada di wilayah tangkap nelayan kecil dan tradisional, dan bukan ada di alur pelayaran dan kolam Pelabuhan yang selama ini mengalami pendangkalan.
“Artinya akan mendorong konflik antara nelayan dengan penambang pasir,” pungkasnya.
Baca juga : Dampak Tambang Pasir Laut dan Perubahan Iklim yang Mengancam Nelayan Pulau Kodingareng
Terpisah, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mempublikasikan sejumlah kritikan atas kebijakan pengelolaan sedimentasi di laut oleh KKP. Pertama, karena Permen KP No.33/2023 dan Kepmen No.16/2024 bertentangan dengan UU No.27/2007 tentang PWP3K.
“UU PWP3K secara tegas menyebutkan bahwa setiap orang secara langsung dan tidak langsung dilarang melakukan penambangan pasir,” ucap Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati dalam siaran persnya.
Kedua, PP No.26/2034, Permen KP No.33/2023, dan Kepmen KP No.16/2024 tidak mempertimbangkan wilayah-wilayah pesisir, perairan laut dan pulau-pulau kecil di Indonesia yang merupakan wilayah yang termasuk dalam kategori rentan dan sangat rentan serta merupakan daerah rawan bencana karena dilintasi oleh lempeng/sesar aktif.
“Sehingga pengerukan pasir laut akan semakin meningkatkan bahaya dan kerentanan yang akan dialami oleh masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya nelayan kecil atau tradisional,” sebutnya.
Ketiga, tidak adanya transparansi, penelitian saintifik, dan kajian ilmiah dalam penentuan pemilihan tujuh lokasi pengerukan pasir laut tersebut beserta potensi dan dampak yang akan terjadi jika pengerukan tersebut dilakukan, sebagaimana yang terkandung dalam prinsip kehati-hatian (precautionary principle).
Keempat, tidak adanya transparansi tentang kajian ilmiah tentang jumlah kebutuhan pasir laut, peruntukan hasil pengerukan pasir laut, serta perusahaan-perusahaan yang telah mendapat konsesi serta riwayat perusahaan tersebut.
“Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil telah memiliki sejarah panjang tentang daya rusak yang dihasilkan dari pertambangan pasir laut di berbagai wilayah di Indonesia,” pungkasnya. (***)
Permen Sedimentasi Laut Rampung, Walhi: Bukti Bluewashing Pemerintah