- Bencana alam tanah longsor di dua desa di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, telah menelan korban jiwa sebanyak 20 orang.
- Pencarian korban oleh Tim SAR gabungan sebanyak 121 orang sempat terkendala karena kondisi medan yang sulit, bahkan dua korban di Lembang Palangka baru ditemukan 12 jam kemudian setelah terjadinya bencana.
- Aktivis meminta pemerintah harus segera melakukan evaluasi menyeluruh terkait rencana tata ruang wilayah (RTRW), tata kelola sumber daya alam, dan manajemen kebencanaan di Tana Toraja.
- Masyarakat harus ditingkatkan kapasitasnya dengan memasifkan informasi terkait peta-peta risiko dan kerawanan bencana di setiap tempat. Pemerintah punya peta kebencanaan yang harus tersosialisasikan sampai ke level tapak.
Tanah longsor akibat curah hujan tinggi di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Sabtu (13/04/2024), menelan korban jiwa sebanyak 20 orang. Kejadian naas ini terjadi di dua lokasi, yaitu di Lembang (Desa) Palangka (Pango-Pango), Kecamatan Makale yang menelan 16 korban jiwa dan Lembang Rindang Batu, Makale Selatan yang menelan empat korban jiwa.
Pencarian korban oleh Tim SAR gabungan sebanyak 121 orang sempat terkendala karena kondisi medan yang sulit, bahkan dua korban di Lembang Palangka baru ditemukan 12 jam kemudian setelah terjadinya bencana.
“Lokasi kejadian ada di dua titik longsoran dengan medan yang sulit akibat akses jalan yang tertimbun sehingga tim dari Basarnas yang ada di Tana Toraja kesulitan untuk tembus ke titik longsoran. Selain itu, kondisi cuaca dan tanah yang masih labil perlu diwaspadai, apalagi seluruh korban tidak langsung ditemukan,” ungkap Mexianus Bekabel, Kepala Kantor Basarnas Makassar, Minggu (14/4/2024).
Seluruh korban yang sudah ditemukan langsung diserahkan ke pihak keluarga untuk disemayamkan dan korban luka dievakuasi ke rumah sakit daerah untuk mendapatkan perawatan.
Proses pencarian memang tidak langsung menemukan seluruh korban dengan situasi dan akses yang sulit. Seluruh anggota tim harus berjibaku menemukan dua korban lainnya. Terputusnya jalan di wilayah Makale Selatan, Tana Toraja, akibat terjadinya longsor membuat tim SAR gabungan berjalan kaki untuk melakukan pencarian terhadap dua orang yang masih tertimbun longsor.
Baca : Curah Hujan dan Kerusakan Lingkungan adalah Paket Pemicu Bencana Banjir dan Longsor
Dan alat berat pun terkendala saat memasuki wilayah yang terkena longsor. Tim kemudian menggunakan drone untuk pengamatan jarak jauh.
“Drone diterbangkan untuk melakukan pengamatan mengenai wilayah terjadinya longsor, sehingga tim SAR yang melaksanakan tugas pencarian dapat memantau kondisi tanah longsor,” tambahnya.
Pencarian yang intens ini kemudian berbuah hasil. Dua korban lainnya, seorang ibu dan anak balita berusia 3 tahun, akhirnya berhasil ditemukan di sekitar wilayah bencana. Kedua korban berada di lokasi yang tidak berjauhan, hanya setengah meter.
“Penemuan korban pertama atas nama Gea, usia 3 tahun ditemukan pada pukul 17.40, dan kemudian ibunya bernama Sopia usia 43 tahun yang ditemukan pukul 18.48, jaraknya berdekatan dikarenakan mereka adalah ibu dan anak,” ujarnya.
Sebagai bentuk dukungan percepatan penanganan dampak bencana tanah longsor di Tana Toraja, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga turut mengirim personel ke lokasi terdampak dipimpin oleh Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB Fajar Setyawan, yang mewakili Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto.
BNPB juga membawa sejumlah dukungan logistik dan peralatan yang meliputi tenda pengungsi, tenda keluarga, sembako, makanan siap saji, hygiene kit, selimut, matras, kasur lipat, velbed, light tower, genset, pompa alkon, penjernih air dan chain saw. Selain itu, BNPB juga akan menyerahkan dukungan berupa Dana Siap Pakai (DSP) senilai 250 juta untuk operasional penanganan darurat hingga pemulihan termasuk untuk pemenuhan kebutuhan dasar bagi warga yang terdampak bencana.
Baca juga : Tiga Orang Tewas dalam Bencana Hidrometeorologi di Sulawesi Tenggara.
Evaluasi RTRW dan Manajemen Kebencanaan
Riski Saputra, aktivis dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Sulawesi Selatan, menyatakan bahwa setelah terjadinya bencana longsor dengan korban jiwa yang cukup banyak ini, setelah tanggap darurat, pemerintah harus segera melakukan evaluasi menyeluruh terkait rencana tata ruang wilayah (RTRW), tata kelola sumber daya alam, dan manajemen kebencanaan di Tana Toraja.
“Apalagi kejadian bencana di wilayah Toraja berdasarkan informasi yang terdata di situs resmi BNPB dan informasi yang dikumpulkan dari media, sejak Januari 2019 sampai hari ini, sedikitnya telah terjadi 72 kejadian tanah longsor di daerah ini,” katanya.
Ia berharap pemerintah provinsi Sulawesi Selatan agar lebih serius dalam penanganan bencana ekologis khususnya dalam mengurangi risiko bencana terjadi di masa depan.
“Tidak hanya di Tana Toraja, namun juga di berbagai daerah lainnya di Sulsel yang setiap tahunnya terjadi bencana ekologis berupa tanah longsor dan sebagainya. Harus ada langkah serius dari pemerintah untuk mengantisipasi hal ini,” katanya.
Menurutnya, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemerintah dan para pihak dalam pengurangan bencana. Pertama, risiko bencana alam saat ini didorong oleh beberapa faktor, pertama kondisi bentang alam yang terkait dengan aspek-aspek fisik seperti tata guna lahan, jenis tanah, kelerengan, dan keadaan geologis.
“Dalam konteks ini, dinamika bentang lahan dipengaruhi oleh kebijakan pembangunan pemerintah dan praktik masyarakat dalam mengelola lahan.”
Baca juga : Banjir dan Longsor di Sulsel, Pemda Dinilai Abai pada Hasil Kajian
Kedua, ada situasi krisis iklim yang membuat cuaca ekstrem sering terjadi, distribusi hujan tidak merata baik secara ruang maupun waktunya. Krisis iklim merupakan masalah global, pemerintah juga harus serius untuk memastikan berbagai rencana, program, dan kebijakan yang disusun tidak memperburuk keadaan bentang alam dan atau berkontribusi pada krisis iklim. Misalnya saja dengan memberikan konsesi pertambangan pada wilayah ekosistem hutan.
Ketiga, berkaitan dengan kapasitas masyarakat, di mana masyarakat harus ditingkatkan kapasitasnya dengan memasifkan informasi terkait peta-peta risiko dan kerawanan bencana di setiap tempat. Pemerintah punya peta kebencanaan, dan peta-peta ini harus tersosialisasikan sampai ke level tapak.
“Masyarakat di wilayah yang memiliki risiko dan kerentanan bencana tinggi harus mendapatkan perhatian khusus, misalnya dengan mengadakan pelatihan-pelatihan kebencanaan. Bila kondisi lingkungan lokal tak kuat menghadapi cuaca ekstrem akibat krisis iklim dan kapasitas masyarakat rendah, maka risiko bencana akan meningkat.”
Pemerintah juga diharapkan melakukan review rencana tata ruang wilayah (RTRW) di seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dengan memperkuat review dan revisi berbasis risiko bencana dan krisis iklim, di mana RTRW harus benar-benar mempertimbangkan aspek kebencanaan.
“Meskipun penyusunan RTRW secara aturan harus disinkronkan dengan kajian kebencanaan dan daya dukung-daya tampung lingkungan hidup, namun praktiknya masih belum terlihat. Ada wilayah-wilayah penyangga ekosistem yang justru dilegalkan untuk ditambang, seperti di Toraja, Seko, dan Rampi adalah bukti bahwa pemerintah kita belum memiliki keberpihakan pada lingkungan dan keselamatan masyarakat.”
Riski juga menuntut pemerintah memastikan hutan alam dan sekunder yang masih ada, sebisa mungkin tidak dikonversi menjadi kegiatan ekstraktif. Hutan yang baik akan mengurangi kemungkinan terjadi banjir, kekeringan, dan tanah longsor.
“Sehingga penting untuk melakukan moratorium izin ekstraktif, terutama pertambangan di hutan yang masih tersisa di Sulawesi Selatan. Selain itu, izin tambang yang berada di wilayah hulu DAS maupun yang berada di ekosistem hutan harus ditinjau ulang.”
Rahmat Kottir, Kepala Departemen Eksternal WALHI Sulawesi Selatan, menyatakan bahwa pemerintah daerah seharusnya mencabut izin pertambangan yang ada di Sulsel karena beberapa tahun terakhir ini Sulsel selalu dilanda banjir dan longsor yang mengakibatkan kerugian yang begitu besar dan merugikan masyarakat.
“Jika pemda melakukan moratorium maka harus dikawal dengan baik karena jangan sampai menjelang Pilkada izin-izin tambang baru mulai kembali bermunculan,” katanya.
Baca juga : Gakkum KLHK Sulawesi Ciduk Kades Perusak Hutan Lindung di Bone
Terancam Industri Ekstraktif
Menurut Mustam Arif, Direktur JURnal Celebes, bencana tanah longsor di Tana Toraja membuka mata terkait kondisi hutan di Sulsel yang semakin terdegradasi, yang salah satunya diakibatkan oleh industri ekstraktif.
“Ancaman degradasi hutan dan lahan dari sektor pertambangan ini bersumber dari kegiatan eksplorasi, operasi dan produksi, serta pencadangan,” katanya.
Hasil analisis spasial yang dilakukan JURnal Celebes bersama JPIK dengan menggunakan data tutupan lahan KLHK tahun 2022 dan perkembangan perizinan yang dipublikasikan oleh KESDM menunjukkan bahwa total luas ekosistem hutan Sulsel yang terancam oleh industri ekstraktif pertambangan mencapai 116.931,56 ha, terbagi atas 31.110,66 ha hutan primer dan 85.820,90 ha hutan sekunder.
“Kegiatan eksplorasi di 3 blok WIUPK mengaveling 6.056,32 ha ekosistem hutan, terdiri atas 202,47 hutan primer dan 5.853,85 ha hutan sekunder. Lalu 4 IUP eksplorasi mengavling 123,56 hutan sekunder. Jadi total luas kegiatan eksplorasi yang berada di ekosistem hutan adalah 6.179,88 ha; 202,47 ha hutan primer, dan 5.977.41 ha hutan sekunder. Ada pula 13 WIUP Pencadangan yang mengavling 794,09 ha hutan sekunder,” jelas Mustam.
Untuk kegiatan operasi produksi, terdapat 32 IUP yang berada di 43.619,30 ha ekosistem hutan, terdiri atas 6.526,93 ha hutan primer, dan 37.092, 37 hutan sekunder.
Selain itu, terdapat juga 3 kontrak karya yang mengavling 66.338,30 Ha ekosistem hutan, 24.381,26 ha di antaranya merupakan hutan primer dan 41.957,04 ha hutan sekunder. Sehingga total hutan Sulawesi Selatan yang terancam oleh kegiatan operasi produksi perusahaan mencapai 109.957,60 Ha, 30.908,19 hutan primer dan 79.049,41 ha hutan sekunder. (***)
Banjir dan Longsor Landa Sulsel Bukti Ketidakseriusan Pemerintah Kelola Kebencanaan