- Penerapan program hilirisasi nasional pada sektor kelautan dan perikanan menjadi sebuah langkah baru yang signifikan dan diharapkan bisa mendorong peningkatan ekonomi di semua subsektor yang dikembangkan
- Upaya yang dikembangkan, salah satunya dengan menerapkan Indikasi Geografis (IG) pada semua kegiatan hilirisasi perikanan. Strategi tersebut sengaja disiapkan, karena untuk melaksanakan akselerasi penguatan daya saing produk kelautan dan perikanan
- Adapun, hasil kelautan dan perikanan yang sudah memiliki Tanda IG jumlahnya ada enam. Di antaranya, Bandeng asap Sidoarjo dan uceng Temanggung (Jawa Timur), Sidat marmorata Poso (Sulawesi Tengah), Garam amed Bali, Garam kusamba Bali, dan Mutiara Lombok (NTB)
- Akan tetapi, pelaksanaan hilirisasi disebut menghadapi tantangan yang besar, terutama berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM) yang didominasi oleh nelayan kecil di Indonesia. Kondisi tersebut harus dikuatkan, agar hilirisasi bisa mendorong nelayan kecil meningkatkan ekonomi
Upaya menggerakkan sektor kelautan dan perikanan (KP) melalui kegiatan pengolahan produk perikanan dari tingkat hulu yaitu di nelayan terus dijalankan Pemerintah Indonesia. Kegiatan yang populer disebut hilirisasi itu, dipimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang saat ini fokus dilakukan melalui berbagai cara.
Berbagai komoditas perikanan terus disiapkan untuk menjalani produksi melalui hilirisasi. Salah satunya, adalah rumput laut yang dinilai sangat potensial untuk menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi. Kegiatan hilirisasi, dijalankan dengan fokus menghasilkan produk setengah jadi.
Akan tetapi, agar hilirisasi bisa berjalan lebih maksimal, KKP menyiapkan strategi khusus untuk melaksanakan akselerasi penguatan daya saing produk kelautan dan perikanan (PDSPKP). Caranya, dengan menerapkan Indikasi Geografis (IG) pada semua kegiatan hilirisasi perikanan.
Direktur Jenderal PDSPKP KKP Budi Sulistiyo mengatakan, IG bermanfaat untuk memperjelas identifikasi produk dan menetapkan standar produksi. Kemudian, IG bisa menghindari praktik persaingan curang, dan memberikan perlindungan konsumen dari penyalahgunaan reputasi merek (brand).
Penerapan IG pada hilirisasi perikanan, juga bagus karena bisa menjadi tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang atau produk karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi keduanya.
“IG memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan,” terangnya belum lama ini di Jakarta.
Baca : Kisah Rumput Laut dan Hilirisasi
Dia yakin, IG yang akan menjadi identitas dari komoditas atau produk KP bisa memberikan jaminan sebagai produk asli. Dengan demikian, konsumen yang akan mengonsumsi nantinya bisa mendapatkan kepercayaan.
Melansir laman resmi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), IG adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.
Tanda yang digunakan sebagai IG dapat berupa etiket atau label yang dilekatkan pada barang yang dihasilkan. Tanda tersebut dapat berupa nama tempat, daerah, atau wilayah, kata, gambar, huruf, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut.
Manfaat lain penerapan IG pada hilirisasi perikanan komoditas atau produk perikanan, menurut Budi Sulistiyo adalah menjadi ruang pembinaan terhadap produsen lokal dalam rangka menciptakan, menyediakan, dan memperkuat citra, nama dan reputasi komoditas atau produk.
Kemampuan IG untuk bisa merinci produk dengan karakter yang khas dan unik tersebut, bisa mendorong hilirisasi perikanan untuk melaksanakan peningkatan produksi. Itu selaras dengan target peningkatan produksi komoditas kelautan dan perikanan yang dikawal KKP pada 2024.
Selain itu, IG sangat bermanfaat untuk melindungi keaslian ikan asal Indonesia, seperti arwana, cupang jenis tertentu, botia, dalam perdagangan internasional. Tak lupa, reputasi suatu kawasan IG juga akan ikut terangkat sekaligus melestarikan keindahan alam, pengetahuan tradisional, kearifan lokal, sumberdaya hayati, dan pengembangan kuliner/pariwisata.
“IG berbasis komoditas atau produk kelautan perikanan dapat menjadi penanda daya saing produk di suatu wilayah,” tuturnya.
Baca juga : Hilirisasi Rumput Laut untuk Kemakmuran Banyak Pihak
Potensi besar IG sektor KP di antaranya adalah komoditas ikan Mas Punten di Malang (Jawa Timur), Siluk Merah di Pontianak (Kalimantan Barat), Kerapu Cantang Gerokgak di Bali, atau mutiara di Lombok (NTB). Sementara untuk IG berbasis produk olahan, ada Bandeng Presto Juwana dan Pindang Bandeng Kudus, keduanya ada di Jawa Tengah.
Semua potensi itu diakui Budi menjadi bagian dari penjenamaan (branding) sebuah daerah yang memiliki produk dan komoditas yang khas dan unik. Contoh tersebut sudah diterapkan pada Kampung Nelayan Modern (Kalamo) pulau Pasaran di Lampung yang ditetapkan menjadi sentra hilirisasi ikan teri.
Saat ini, pihaknya tengah menyiapkan usulan pembuatan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Indikasi Geografis Produk Kelautan dan Perikanan. Regulasi tersebut ditujukan untuk meningkatkan daya saing produk KP, melindungi keanekaragaman hayati, serta meningkatkan perekonomian lokal.
“Kita harapkan setiap daerah memiliki ciri khas produknya masing-masing, dan ini sedang kita siapkan rancangan regulasinya,” jelasnya.
Diketahui, hasil kelautan dan perikanan yang sudah ditetapkan memiliki Tanda IG oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemen Hukum dan HAM jumlahnya ada enam. Di antaranya, bandeng asap Sidoarjo dan uceng Temanggung (Jawa Timur), sidat marmorata Poso (Sulawesi Tengah), garam amed Bali, garam kusamba Bali, dan mutiara Lombok (NTB).
Baca juga : Indikasi Geografis Belum Berdampak pada Petani Kopi. Benarkah?
Bandeng Gresik
Salah satu komoditas yang didorong melaksanakan akselerasi melalui hilirisasi, adalah bandeng yang diproduksi di Kabupaten Gresik, Jatim. Komoditas unggulan dari daerah tersebut, didorong untuk terus berkembang dan bisa meningkatkan produksinya.
Salah satu upaya yang dilakukan, adalah dengan menambah Unit Pengolahan Ikan (UPI) untuk nilai tambah yang fokus pada produk bandeng cabut duri dan presto. UPI tambahan itu diharapkan bisa mendorong produksi terus meningkat dan tetap bertahan sebagai komoditas unggulan Gresik dengan produksi mencapai 80.000 ton per tahun dari luasan lahan sekitar 26.000 hektare.
Budi Sulistyo menjelaskan kalau bandeng menjadi komoditas potensial bernilai ekonomi tinggi, karena hampir seluruh bagian tubuh ikan bisa diolah. Selain itu, daging bandeng juga kaya akan protein dan omega 3, olahan tulang bisa menjadi kolagen, dan sisiknya bisa dimanfaatkan menjadi chitosan.
“Kedua produk tersebut memiliki nilai yang tinggi karena sebagai bahan baku pembuatan kosmetik dan kesehatan,” terangnya.
Di luar itu semua, bandeng tetap menjadi komoditas potensial bernilai ekonomi tinggi, karena diversifikasi produk yang sudah ada bisa diterima dengan baik di masyarakat. Sebut saja, olahan menjadi bakso, abon, kerupuk, mie, bandeng cabut duri, bandeng asap, bandeng presto, dan lain sebagainya.
“Inilah kehebatan ikan bandeng, hampir seluruh bagian tubuhnya dapat dimanfaatkan,” tambahnya.
Baca juga : Sejauh Mana Keberlanjutan Perikanan Bandeng di Gresik? [1]
Selain rasa yang gurih dengan daging bertekstur lembut dan gampang dikunyah, bandeng juga menjadi salah satu sumber protein yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan stunting dan asupan gizi masyarakat.
Budi menerangkan, penambahan UPI tersebut diharapkan bisa mendorong para pelaku usaha di Gresik bisa meningkatkan produksi dan meluaskan jangkauan pasar ke kalangan usia muda. Mereka adalah target yang cocok dan tepat, karena cenderung terbiasa mengonsumsi makanan siap saji.
“Jadi tantangan bagi UPI untuk membuat produk-produk inovasi dan bernilai tambah yang ready to cook dan ready to eat,” sebutnya.
Adapun, UPI tambahan dari KKP tersebut sanggup melaksanakan produksi hingga 500 kilogram (kg) bahan baku dalam sehari. Agar bisa menjamin mutu dan keamanan pangan, UPI menerapkan sertifikat kelayakan pengolahan (SKP) atau good manufacturing practices (GMP) saat melaksanakan produksi.
Dia berharap, UPI Nilai Tambah di Gresik tersebut bisa menjadi percontohan dalam menerapkan cara penanganan dan pengolahan ikan yang baik serta prosedur operasi standar sanitasi. Ditambah, penerapan Sertifikat GMP akan menambah nilai produksi menjadi lebih baik lagi.
“Sertifikat GMP adalah pondasi sistem manajemen keamanan pangan yang diakui secara internasional sehingga menjadi instrumen dasar untuk perlindungan kesehatan konsumen sekaligus meningkatkan daya saing produk perikanan,” ucapnya.
Baca juga : Alih Lahan Ancam Keberlanjutan Perikanan Bandeng di Gresik [2]
Bupati Gresik Fandi Ahmad Yani mengapresiasi upaya yang sudah dilakukan KKP dalam mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas produksi bandeng di wilayahnya. Dia optimis upaya tersebut bisa mengembangkan ekonomi masyarakat lokal.
Pengembangan bandeng sebagai komoditas andalan Gresik, juga didukung dengan penetapan Kampung Budi daya Bandeng yang dilakukan KKP melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.64/2021 tentang Kampung Perikanan Budi daya.
Diketahui, UPI Nilai Tambah berlokasi di Desa Purwodadi, Kecamatan Sidayu, Kabupaten Gresik. Saat ini terdapat 30 orang warga lokal yang bekerja pada UPI tersebut. Adapun, pengelolaan dilakukan oleh PT Gresik Migas Property yang ditunjuk langsung oleh Bupati.
“Saat ini perusahaan tersebut telah membuka kerja sama pemasaran dengan usaha catering dan rumah sakit di wilayah Gresik,” terangnya.
Fandi optimis, UPI akan berkembang lebih besar lagi di masa mendatang, sehingga tidak hanya memproduksi pengolahan ikan saja. Namun juga, bisa menjadi tempat studi vokasi melalui kerja sama dengan perguruan tinggi dan akademisi.
Peningkatan SDM Nelayan
Beberapa waktu lalu, Ketua Umum Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo) Riza Damanik mengatakan kalau kualitas sumber daya manusia (SDM), inovasi, dan teknologi di Indonesia masih belum bagus. Itu menjadi tantangan untuk penerapan hilirisasi perikanan.
Penyebab masih belum berkembang, adalah karena struktur ekonomi perikanan nasional sebagian besar masih bergantung kepada nelayan kecil. Itu berarti, jika hilirisasi ingin berhasil dilaksanakan, maka nelayan kecil harus menjadi perhatian utama.
Menurut dia, kunci dari penerapan hilirisasi perikanan adalah memperbaiki ekosistem tata kelola perikanan secara nasional. Salah satunya, adalah penguatan nelayan kecil yang ada di seluruh Indonesia melalui UU No.7/2016 tentang tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi daya Ikan, dan Petambak Garam.
“Pemerintah harus bisa memastikan ketersediaan pakan yang sehat, mudah didapat dan murah, agar produk-produk olahan atau turunan perikanan budidaya bisa lebih kompetitif,” terangnya.
Baca juga : Bandeng Gresik: Pulau Mengare, Pusat Bisnis Bandeng yang Terbengkalai [4]
Sementara, Ketua Asosiasi Perikanan Pole and Line dan Handline Indonesia (AP2HI) Janti Djuari menyebut kalau KKP harus memperhatikan sumber daya nelayan yang menjadi penangkap ikan agar bisa memenuhi ketentuan dan regulasi internasional.
Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan hilirisasi perikanan, adalah kualitas mutu dan ketertelusuran (traceability) komoditas atau produk perikanan. Itu menjadi penting, karena bisa meningkatkan daya saing dan daya tawar produk perikanan.
“SDM kita harus handal, berpengalaman dan secara konsisten mengikuti standar internasional. Juga perlu dukungan teknologi pengolahan sebagaimana diinginkan pasar,” pungkas dia.
Pada berbagai kesempatan, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mendorong peningkatan keterampilan masyarakat pesisir serta pembudi daya ikan, agar memiliki daya saing pada tingkat nasional dan internasional.
“Masyarakat yang kesehariannya bekerja di sektor perikanan ini, dapat menyajikan produk produk olahan perikanan, yang bisa bersaing ke pasar global,” harapnya.
Semangat Hilirisasi Perikanan Harus diiringi Penguatan di Sektor Hulu