Sebagian besar spesies yang mengalami resiko terbesar akibat perubahan iklim ternyata jutsru tidak masuk dalam prioritas konservasi di dunia, hal ini terungkap dalam studi yang dilakukan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) yang memperkenalkan sebuah metode untuk menilai kerentanan spesies terhadap perubahan iklim.
Artikel ilmiah ini telah diterbitkan dalam sebuah jurnal PLOS ONE, menilai semua spesies burung dunia, amfibi dan terumbu. Penelitian ini melibatkan sekitar 100 pakar ilmiah dari seluruh dunia selama lima tahun, termasuk si pemimpin penelitian ini Wendy Foden seorang kandidat PhD dari Wits.
Dari hasil penelitian ini, sekitar 83% spesies burung, 66% spesies amfibi dan 70% terumbu teridentifikasi mengalami kerentanan tinggi terhadap perubahan iklim, dan mereka semua tidak masuk dalam kategori terancam di dalam Daftar Merah IUCN. Terkait hal ini, semua spesies tersebut harus mulai difokuskan dan mendapat perhatian yang lebih untuk melestarikannya, ungkap studi ini.
“Temuan ini membuka tabir yang mengejutkan,” ungkap Foden, yang memulai penelitian ini saat bekerja di IUCN Global Species’ Programme’s Climate Change Unit, yang didirikannya sejak enam tahun silam. “Kami tidak menyangka sebanyak itu spesies dan wilayah yang muncul dalam kategori sangat rentan terhadap perubahan iklim. Secara umum, jika kita hanya melakukan aksi konservasi seperti biasa, tanpa mempertimbangkan unsur perubahan iklim, kita akan gagal melindungi banyak spesies dan wilayah yang sebenarnya paling membutuhkan perhatian.”
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini mendalami keunikan karakteristik biologis dan ekologis yang membuat setiap spesies lebih atau kurang sensitif atau tingkat adaptasi mereka terhadap perubahan iklim. Metode konvensional lebih menekankan pengukuran perubahan terbesar yang dialami oleh spesies.
Pendekatan baru ini sudah diaplikasikan di kawasan Albertine Rift di Afrika Tengah dan Timur yang kaya spesies, dengan mengidentifikasi vegetasi dan satwa yang penting bagi manusia dan memiliki kemungkinan terbesar akibat perubahan iklim. Termasuk di dalamnya adalah 33 jenis vegetasi yang digunakan sebagai bahan bakar, material konstruksi, pangan dan obat-obatan.Lalu juga 19 spesies ikan air tawar yang menjadi sumber pangan dan penghasilan dan 24 mamalia yang digunakan sebagai sumber pangan utama.
“Dari hasil studi ini menunjukkan bahwa manusia di kawasan tersebut sangat bergantung pada spesies liar untuk kehidupan mereka, dan hal ini sudah pasti akan terganggu akibat perubahan iklim,” ungkap Jamie Carr dari IUCN Global Species Programme dan penulis utama di kawasan Albertine Rift. “Hal ini menjadi penting bagi orang-orang yang miskin dan termarjinalisasi yang menggantungkan pada spesies liar untuk memenuhi kebutuhan mereka.”
CITATION: Wendy B. Foden, Stuart H. M. Butchart, Simon N. Stuart, Jean-Christophe Vié, H. Resit Akçakaya, Ariadne Angulo, Lyndon M. DeVantier, Alexander Gutsche, Emre Turak, Long Cao, Simon D. Donner, Vineet Katariya, Rodolphe Bernard, Robert A. Holland, Adrian F. Hughes, Susannah E. O’Hanlon, Stephen T. Garnett, Çagan H. Şekercioğlu, Georgina M. Mace. Identifying the World’s Most Climate Change Vulnerable Species: A Systematic Trait-Based Assessment of all Birds, Amphibians and Corals. PLoS ONE, 2013; 8 (6): e65427 DOI: 10.1371/journal.pone.0065427