Dalam satu bulan terakhir setidaknya terjadi dua aksi demontrasi warga di kawasan Samarinda terkait dengan aktivitas tambang. Aksi pertama yakni dari warga Lubuk Sawah dan aksi kedua berasal dari warga Makroman. Aksi protes tersebut dikarenakan aktivitas tambang yang mengganggu, dan tidak adanya tanggung jawab perusahaan terhadap warga sekitar.
Aksi demo pertama terjadi pada awal bulan, dimana puluhan warga desa Lubuk Sawa beberapa waktu lalu melancarkan aksi protes terhadap Aktivitas penambangan batubara yang dilakukan oleh PT CMS Kaltim Utama sebagai kontraktor dari PT Cahaya Energi Mandiri yang dinilai merugikan warga baik dari sisi moril maupun material.
Warga melakukan aksi di depan gedung balaikota Samarinda sambil membawa spanduk berisi tuntutan. Para pengunjuk rasa ini juga melakukan orasi meminta perhatian dari Pemkot Samarinda untuk segera melakukan tindakan terhadap aktivitas tambang di wilayah tersebut. Aksi ini wujud dari kekesalan mereka karena telah mengadu kebeberapa pihak namun tak juga mendapat tanggapan berarti.
Kordinator aksi, Koi Chen Tek atau yang biasa disapa Atek mengatakan ada beberapa tuntutan yang ingin disampaikan kepada pemangku kebijakan di Samarinda terkait dengan aktivitas penambangan yang kian meresahkan di wilayah mereka
Pertama adalah menutup aliran air tambang batubara yang mengalir ke sungai dilokasi samping jalur pipa gas, kemudian mereka juga meminta supaya pembuangan air limbah tambang batubara yang dialirkan menggunakan unit pompa air ke sungai dihentikan. Tuntutan lainnya adalah pembuatan tanggul di kolam penampungan air limbah bekas tambang dilokasi tersebut.
“Tuntutannya penyetopan air limbah tambang yang tanpa melalui proses terus mengembalikan fungsi lahan yang rusak akibat limbah tambang tersebut kemudian minta dibuatkan sumur bor untuk bertani,” kata Atek.
Atek mengatakan akibat pembuangan air yang dianggap menyalahi prosedur tersebut, akhirnya warga di beberapa RT terpaksa harus merasakan dampak buruknya. Yang paling utama tentu saja warga kehilangan mata pencahariannya sebagai petani akibat tanah garapannya tertutup genangan air bercampur lumpur dan tak bisa ditanami.
Kondisi ini menurutnya sudah terjadi sejak tahun 2008 silam dan pihaknya telah mengajukan surat secara resmi kebebrapa instansi bahkan hingga Kementrian Lingkungan Hidup, namun tetap saja tak ada perubahan terhadap kondisi wilayah mereka.
“Kami sudah minta bantuan BLH kota, Distamben, Kementrian Lingkungan Hidup regional Kalimantan, DPRD kota Samarinda dari komisi III dan kami sudah meminta bertemu Walikota sampai hari ini tidak ada tindak lanjut,” katanya.
Setelah melakukan aksi beberapa lama Selama, akhirnya beberapa perwakilan pengunjuk rasa diterima langsung oleh Wakil Walikota Samarinda, Nusyirwan Ismail yang mengajak mereka untuk berdialog. Usai mendengar keluh kesah dari para petani tersebut, Nusyirwan berujar bahwa pihaknya akan segera menindaklanjuti laporan warga ini dan melakukan peninjauan secara langsung ke lokasi.
Kemudian apabila kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas penambangan ini dinilai cukup parah maka Pemerintah Kota segera menyurati perusahaan bersangkutan dan diberikan waktu 1 bulan melakukan perbaikan. Namun jika dalam jangka waktu tersebut tetap tak ada perubahan, pencabutan izin untuk seluruh aktivitas pertambangan bagi perusahaan tersebut rasanya layak dipertimbangkan.
Lemah Sanksi, Pemkot Dinilai Lakukan Pembiaran
Melihat kasus yang sudah berulang-ulang merugikan warga, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim menilai bahwa Pemkot Samarinda turut bertanggungjawab karena telah melakukan pembiaran. Dan yang paling penting kata Kahar Al Bahri, dari Jatam Kaltim, CV Arjuna harus mendapat peringatan keras dalam evaluasi yang dilakukan Pemkot Samarinda.
“Ke depan itu harus dihentikan sementara. Sampai didesak untuk melakukan pemulihan lingkungan,” kata Kahar.
Melihat kenyataan selama ini bahwa CV Arjuna selalu lolos dari penghentian sementara, Ocha menilai sudah ada kedekatan tersendiri antara tambang dan pihak pemerintah. “Bayangkan, jaminan pengadaan air bersih saja 2 tahun. Itu tidak ada proggres dan dia (CV Arjuna) selalu merasa melakukan sesuatu padahal dia tidak ada. Dia cuma menganggap miss komunikasi,” kata Kahar.
Protes yang kedua dilakukan oleh warga Makroman. Karena tidak memenuhi janji untuk menyediakan saran air bersih, puluhan warga RT 13 Kelurahan Makroman Samarinda, memblokir lintasan hauling batu bara CV Arjuna, beberapa waktu lalu. Aksi tersebut sebagai buntut kekesalan warga karena selama 2 tahun CV Arjuna yang tidak kunjung menepati janji – janjinya.
Salah satu janji yang dirasa sangat vital bagi warga adalah penyediaan sarana air bersih dari PDAM. Dimana sumber air yang ada sudah tidak layak digunakan akibat operasi tambang yang semakin dekat dengan permukiman warga. Warga sebenarnya tidak meminta CV Arjuna melakukan penyambungan sekaligus. Cukup dengan 2 – 3 sambungan setiap bulannya namun itupun tidak direalisasikan.
Pihak tambang sendiri mengatakan sudah mengajukan permohonan ke PDAM. Sementara kenyataan di lapangan, beberapa warga lain di kawasan tersebut, yang mengajukan permohonan sambungan ke PDAM sudah dipasangkan selama kurun waktu 2 tahun tersebut.
Aksi tersebut berakhir setelah warga dan pihak CV Arjuna, disaksikan Camat Sambutan Siti Nurhasanah menyepakati 5 hal. Diantaranya, tidak ada lagi pembuangan air dari tambang CV Arjuna langsung ke persawahan warga. Limbah dari tambang harus ditampung dengan menggunakan settling pond. CV Arjuna juga harus menormalisasi semua drainase warga sepanjang sekitar 7 Km per 3 bulan sekali. Normalisasi ini dapat dilakukan sendiri oleh CV Arjuna ataupun melibatkan warga sekitar.
Kesepakatan lainnya untuk jangka panjang, warga meminta ada kunjungan dari instansi teknis terkait antara lain Badan Lingkungan Hidup (BLH), Dinas Pertambangan, Dinas Perikanan, Dinas Pertanian untuk melihat langsung kondisi persawahan Makroman. Dalam kesempatan tersebut juga diminta agar CV Arjuna memaparkan rencana reklamasi paska tambangnya. Untuk melihat perkembangan kesepakatan tadi, warga memberikan waktu 10 hari kepada CV Arjuna. “Kalau dalam 10 hari janji tidak ada, kita blokir lagi,” kata Sugiyanto, Ketua RT 13 Kelurahan Makroman.
Sementara itu, Camat Sambutan Nurhasanah mengatakan, untuk solusi jangka panjang terkait nasib Makroman setelah tambang selesai, pihaknya membutuhkan surat permohonan dari warga sebagai dasar untuk memanggil instansi teknis terkait.
“Kalau untuk jangka panjang, dari BLH, instansi teknis, pertambangan, perikanan, itu kita upayakan. Nanti kita duduk, sama atau kita buat surat secara tertulis. Untuk meninjaulah ke lokasi, sekalian ya kayak cuci matalah kita disini nanti,” kata Nurhasanah.
Kepada camat, Rames Wijen dari CV Arjuna mengatakan, bahwa masalah ganti rugi akibat dampak lingkungan kepada salah satu warga sudah disampaikan untuk secepatnya ditindak lanjuti. “Maaf bu, masalahnya saya sudah tanya Pak Bahar. Masalah ganti rugi segalanya, besok (hari ini) sebelum jam 3 sudah saya tuntaskan. Kalau bisa hari ini, hari ini. Kalau tidak besok sebelum jam 3,” kata Rames.
Perusahaan Tambang Dituntut Perhatikan Lingkungan
Sementara itu Seiring dengan berlakunya Undang‑undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) Nomor 4 tahun 2009 yang mengatur mengenai ekspor mineral mentah, perusahaan tambang batubara yang masih beraktivitas di Samarinda dituntut lebih profesional.
Dengan keluarnya kebijakan dari Pemerintah Pusat tersebut, maka Pemkot Samarinda saat ini mewaspadai aktivitas pertambangan yang terhenti akibat peraturan tadi. Dengan berhenti beroperasi, dikhawatirkan perusahaan begitu saja meninggalkan tanggung jawabnya terhadap lingkungan.
Wakil Wali Kota Samarinda Nusyirwan Ismail dalam inspeksi mendadak (sidak) tambang belum lama ini berharap, agar dampak kebijakan tadi yang berlaku secara nasional setidaknya bisa mengajak perusahaaan pertambangan yang profesional untuk bergerak. Untuk yang tidak profesional, sebaiknya tidak usah beroperasi.
“Artinya ada yang perlu saya tekankan bagi perusahaan yang tidak profesional seperti tidak memiliki pengalaman, ragu‑ragu serta tidak memiliki perhitungan yang baik dalam antisipasi pengelolaan lingkungan, sebaiknya saran saya jangan bekerja,” kata Nusyirwan.
Pemkot Samarinda kata Nusyirwan, akan terus mengejar kewajiban reklamasi, baik kepada perusahaan yang masih beraktivitas maupun yang terhenti saat ini. Kewajiban reklamasi ini tentunya bersesuaian dengan Undang‑Undang Minerba dan juga Undang – Undang lingkungan.
Dengan keluarnya aturan pusat tadi kata Nusyirwan, pasar ekspor semakin selektif. Sisi positifnya, kebijakan tersebut setidaknya bisa mengerem para pengusaha untuk tidak berlomba‑lomba menggali batubara tanpa bertanggung jawab terhadap lingkungan.
“Makanya di Samarinda sendiri saat sekarang sudah ada inventarisasi yang menunjukan 26 perusahaan batubara tidak aktif dan tidak membuat rencana pertambangan untuk tahun 2014,” kata Nusyirwan.
Nusyirwan juga mengancam akan mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) secara massal apabila dalam satu tahun tidak membuat rencana pertambangan maupun membayar jaminan reklamasi berdasar ketentuan Pertambangan.
“Karena kita khawatir, apabila izin ini masih dipegang mereka yang tidak profesional ditambah melempar kegiatan penambangannya ke subkontraktor lain pastinya sangat berbahaya. Karena bisa saja berpotensi mengarah kepada kerusakan apabila dikerjakan bukan pada ahlinya tentu ini harus diwaspadai,” katanya.