,

Nelayan Jangan Sampai Dirugikan Paket Kebijakan Jokowi

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menilai paket kebijakan ekonomi yang dibuat Presiden Joko Widodo pada September ini sebagai sebuah langkah berani. Kebijakan tersebut dinilai cukup berpihak kepada sektor kelautan dan perikanan, khususnya nelayan.

Tetapi, KNTI memperingatkan Pemerintahan Jokowi untuk lebih berhati-hati dalam melaksanakan paket kebijakan tersebut. Karena, jika salah dalam mengambil keputusan, nelayan bisa menjadi korban dari kebijakan tersebut.

“Jika tidak hati-hati, pilihan strategi yang diambil juga belum akan terasa dalam waktu dekat ini,” ungkap Ketua KNTI Riza Damanik di Jakarta, Jumat (11/9/2015).

Lebih lanjut, Riza menyebutkan, ada 5 (lima) instrumen dari paket kebijakan ekonomi yang dirilis Presiden Jokowi dan dinilai bisa meningkatkan perekonomian nelayan di seluruh Indonesia. Kelima instrumen tersebut adalah:

  1. Pengendalian harga bahan bakar minyak (BBM) dan pangan;
  2. Pengendalian realisasi anggaran APBN;
  3. Penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) dengan bunga rendah 12%;
  4. Percepatan dan penyederhanaan pencairan dana desa; dan
  5. Program konversi BBM ke gas.

Kelima instrumen tersebut, menurut penilaian Riza, sangatlah bagus, tetap ada kelemahan dari instrumen-instrumen tersebut. Hal itu, bisa mengancam keberhasilan paket kebijakan ekonomi yang dirilis sekarang ini.

“KNTI menduga Presiden Jokowi tidak diberikan informasi yang utuh dalam proses operasionalisasinya. Itu terlihat, belum tuntasnya proses penyegaran struktur di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ini berdampak pada tersendatnya realisasi program kesejahteraan nelayan,” tutur Riza.

Selain itu, dia menilai, Pemerintah harus segera menyelesaikan persoalan yang ada dalam program konversi solar ke gas untuk nelayan. Termasuk, persoalan akurasi data yang dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Disebutkan, Kementerian ESDM akan mengonversi sebanyak 600 kapal dan ditargetkan selesai pada 2019.

“Padahal, jika konversi itu dimaksudkan untuk nelayan kecil, itu artinya kapal yang digunakan dibawah 5 GT (gross tonnage). Jika demikian, total jumlahnya hanya 154 ribu kapal saja,” jelas dia. Atau, sambung dia, jika memang yang dimaksud Pemerintah adalah untuk seluruh kapal bermotor, maka jumlahnya hanya 230 ribu kapal saja.

Persoalan lain yang juga harus diperbaiki, menurut Riza, adalah pendampingan dan sosialisasi program konversi solar ke gas untuk nelayan. Walau sosialisasi dan pendampingan sudah biasa dilakukan oleh Pemerintah, namun itu harus diperhatikan karena pada program-program Pemerintah sebelumnya, tidak semua nelayan bisa menerima setiap kebijakan baru.

“Dengan adanya konversi, juga memberi kesempatan pada kapal untuk melakukan jelajah lebih jauh lagi. Itu juga harus disosialisasikan kepada nelayan, sehingga mereka bisa menyiapkan sebaik mungkin mana wilayah baru yang bisa dijelajah,” papar dia.

Suasan di Kampung Nelayan Kelurahan Gunung Anyar Tambak, Surabaya. Foto : Petrus Riski
Suasan di Kampung Nelayan Kelurahan Gunung Anyar Tambak, Surabaya. Foto : Petrus Riski

Di luar masalah di atas, KNTI juga menilai ada persoalan yang harus segera diselesaikan oleh Pemerintah, yakni tentang importasi garam. Dalam paket kebijakan ekonomi yang ditawarkan sekarang, Pemerintah merencanakan importasi garam tidak memerlukan lagi rekomendasi dari Kementerian Perindustrian. Tetapi, langsung melalui Kementerian Perdagangan.

“Langkah ini dinilai gegabah karena bisa memperparah kesenjangan data produksi, konsumsi, importasi. Itu akan berujung pada kegagalan mewujudkan kesejahteraan nelayan,” tandas dia.

El Nino dan Bulog Ikan

Lain Riza Damanik lain pula Alan Koropitan. Lektor Kepala Bidang Oseanogradi Institut Pertanian Bogor yang juga Ketua DPP Bidang Riset dan IPTEK KNTI itu mengkritik kebijakan Pemerintah yang terkesan lambat dalam menyikapi El Nino.

Menurut dia, El Nino sebenarnya membawa dampak yang baik bagi nelayan karena akan terjadi kenaikan produksi ikan di wilayah perairan Indonesia. Namun, dampak baik tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik oleh Pemerintah.

“Antisipasi Pemerintah hanya sekedar menyiapkan cold storage. Ini sangat disayangkan,” ungkap pengamat kemaritiman tersebut.

Lambatnya antisipasi yang dilakukan Pemerintah tersebut memang sangat disayangkan Alan. Pasalnya, El Nino sudah memberi tanda sebelumnya dengan terjadinya penguatan proses upwelling atau kenaikan massa air air dari lapisan bawah ke permukaan.

“Biasanya itu terjadi pada periode Juni-Juli, khususnya di selatan Jawa sampai selatan Bali-Nusa Tenggara, barat Sumatera khususnya perairan Bengkulu, selatan Makassar dan Laut Banda,” papar dia.

Dengan terjadinya penguatan upwelling, maka produksi ikan pelagis bisa mengalami peningkatan hingga dua kali lipat. Saat ini, indikasi terjadinya kenaikan ikan pelagis tersebut sudah mulai terlihat di Lombok, NTB dan Cilacap, Jawa Tengah.

Sementara berkaitan dengan ide dibuatnya Bulog Ikan oleh Pemerintah, menurut Alan itu juga merupakan ide yang bagus. Tetapi, konsepnya seharusnya bukan seperti Bulog untuk Pertanian. Karena, dia menilai, kesegaran ikan harus jadi yang utama.

“Karena itu, harus sudah ditentukan pasar mana untuk penyaluran ikan yang baru dipanen. Itu sangat penting untuk menjaga kesegaran ikan,” cetus dia.

Dengan konsep seperti itu, Bulog Ikan akan berfungsi sebagai mediator antara produksi ikan dan pasar yang ada. Pasar yang dimaksud, bisa berupa industri pengolahan dalam negeri maupun domestik atau ekspor.

“Bulog ikan dapat melakukan pendaftaran nelayan dan pengusaha. Dengan demikian, fungsi cold storage tidak akan lebih hanya sebagai pendukung atau transit saja sebelum mencapai tujuan akhir,” pungkas dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , ,