Wacana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) kembali muncul belakangan ini. Kalangan aktivis pegiat lingkungan meniai tak perlu berpikir pengembangan nuklir, lebih baik mengoptimalkan energi aman dan ramah lingkungan yang melimpah di negeri ini.
Lilo Sunaryo, Ketua Masyarakat Reksa Bumi Kudus, selama ini aktif menentang pembangunan PLTN di Jepara, berpendapat pembuatan reaktor nuklir terlalu berisiko tinggi.
“Reaktor daya membutuhkan tekanan besar berkisar 120-150 atmosfer. Butuh temperatur tinggi antara 350-380 derajat celsius untuk menghasilkan uap jenuh pemutar turbin,” katanya.
Dia mengusulkan, kalau mau membangun reaktor daya, sebaiknya berkapasitas kecil. “Kultur memelihara kita masih kurang. Padahal, PLTN membutuhkan sikap bertanggung jawab, berbangsa, dan bernegara yang tinggi sekali. Pembangkit nuklir risiko sangat tinggi.”
Lilo menilai, daripada mengembangkan nuklir lebih baik membangun pembangkit listrik ramah lingkungan. “Saya lihat Batan sudah lama menyiapkan PLTN. Mereka survei ke Jepara, Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Gorontalo. Tetapi belum ada badan usaha seperti Batan yang khusus penelitian dan mengembangkan energi terbarukan,” katanya.
Kalau penelitian energi terbarukan diberi fasilitas dan anggaran sama dengan Batan, katanya, maka Indonesia bisa berswasembada energi.
Target elektrifikasi nasional, katanya, kerap jadi dasar pemanfaatan nuklir. Seharusnya, melihat kenyataan geografi Indonesia terdiri dari kepulauan. Pembangkit listrik yang memusat di Jawa, pemasangan pipa gas, atau inisiatif nuklir sebagai sumber energi tak menyelesaikan masalah.
“Kita ini kaya, dianugerahi Tuhan segala macam. Sinar matahari melimpah, garis pantai panjang, panas bumi, angin. Andai semua ini kita ubah menjadi energi,” katanya.
Kepala Greenpeace Indonesia Longgena Ginting mendukung gerakan menolak nuklir. Terlebih setelah peristiwa Fukushima, banyak negara maju menghentikan proyek pembangkit nuklir mereka.
Dia mengingatkan, nuklir merevitalisasi diri dengan menunggangi isu perubahan iklim. Menurut Longgena, kelompok pro nuklir memakai jargon sebagai energi bebas emisi, tak mengeluarkan karbon dioksidasa, dan tak menimbulkan efek rumah kaca.
“Sebenarnya banyak masalah di balik energi nuklir.”
Pertama, nuklir mahal sekali. Kedua, Indonesia tak menguasai teknologi. Ketiga, Indonesia berada di negara rawan bencana dari gempa bumi, banjir, hingga tsunami.
Indonesia, katanya, memang perlu listrik, tetapi energi terdesentralisasi, bersih, terbarukan, dan demokratis.
“Jawa Bali itu sudah cukup listrik. Kalau dibilang masih butuh listrik, ini listrik untuk siapa? Rakyat luar Jawa masih perlu listrik. Tak mungkin membangun pusat pembangkit di negara kepulauan begini secara tersentralisasi, harus desentralisasi, menggunakan energi lokal, demokratis, sehat, bersih, dan renewable. Banyak sekali kita punya,” katanya.
Longgena mengingatkan, manusia tak banyak waktu menghentikan perubahan iklim. Hanya ada kesempatan 10 tahun mengubah kebiasaan lama memakai energi fosil.
“Kalau masih mencari solusi palsu dengan nuklir, batubara bersih, nggak ada tuh batubara bersih, dengan incinerator. Itu semua solusi palsu. Kita harus cepat menemukan dan menggunakan solusi real mengubah lebih cepat.”
Perubahan dari fosil ke energi ramah lingkunga, katanya, memang bertahap. “Target tercapai jika semua sumber daya dialokasikan ke sana. Disertai kemauan politik besar, dukungan finansial, pemberian insentif-insentif keuangan.”
Kini, masyarakat di kampung-kampung bisa pakai mikro hidro, maupun biogas. “Geothermal kita terbesar di dunia, itu belum maksimal.”
Dia juga mengkritisi pemanfaatan batubara 50% lebih untuk pembangkit listrik 35.000 ribu megawatt karena bakal menambah masalah perubahan iklim.
“Ini paradoks bagi negara kaya energi terbarukan justru digerakkan energi paling kotor. Energi fosil adalah energi masa lalu. Energi terbarukan, energi kini dan masa depan. Pemerintah harus mendorong percepatan transisi ke renewable energy. Itulah revolusi energi.”
Sudah siap?
Pertemuan Coordination Meeting IAEA di Yogyakarta, beberapa waktu lalu, Deputi Bidang Teknologi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batam) Taswanda Taryo mengatakan, Indonesia siap membangun PLTN dibanding negara-negara ASEAN lain. Dari sisi pengusaaan teknologi dan sumber daya manusian Indonesia dipandang lebih unggul.
Suryantoro, Kepala Pusat Teknologi Limbah Radio aktif BATAN mengatakan, Indonesia mempersiapkan pembangunan PLTN sejak lama.
“Kita disuruh latihan sejak 1954. Kita berlatih teknologi nuklir, punya reaktor riset nuklir, punya teknologi pengobatan kanker di rumah sakit, dan lain-lain. Pembangkit listrik kita belum memiliki,” katanya.
Dia mengatakan, infrastruktur pembangkit daya sudah dianalisa Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA), tinggal menunggu kebijakan nasional terkait nuklir sebagai sumber energi.
Presiden, katanya, belum menyatakan terbuka soal pemanfaatan nuklir. Jika Indonesia mau membangun PLTN, IAEA mensyaratkan adanya panitia nasional yang saat ini belum ada. “Kalau ini terbentuk berarti sudah go nuclear.”
Mudrajad Kuncoro, ekonom UGM memberi gambaran, Indonesia mengalami defisit energi listrik. Pertumbuhan listrik meningkat berkisar 8,5%, pasokan hanya 6,5% pertahun hingga memaksa pemerintah mencari sumber energi selain fosil termasuk nuklir.
“Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, saya cari kata kunci nuklir, tidak ada. Mungkin sekarang belum prioritas. Membangun PLTN butuh minimal tujuh tahun. Itupun kalau tidak menemui masalah seperti pembebasan tanah, korupsi, atau tentangan masyarakat.”
Yudi Utomo Imarjoko, Direktur Utama PT Industri Nuklir Indonesia mengatakan, dalam PP nomor 14 tahun 2015 ditandatangani Presiden, menyebut kata nuklir sebagai pilihan sumber energi listrik. PP tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035 itu menyebutkan menjamin keberlangsungan pembangunan industri bisa memanfaatkan nuklir yang murah dan aman. “Indonesia bisa memanfaatkan thorium, bahan radioaktif lebih aman dibanding uranium.”
Rencana Umum Energi Nasional) produk Dewan Energi Nasional menyebut harus pakai nuklir, jika dilakukan bisa 19%. Rencana umum pembangkit tenaga listrik (RUPTL) baru usulan PLN ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ditolak, lalu ada revisi pemakaian nuklir sampai 3.000 megawatt tahun 2025.