- Warga Dusun Sungai Sembilang, Banyuasin, Sumatera Selatan, dilarang membunuh satwa liar yang ada seperti babi, biawak, terlebih harimau sumatera yang hidup di hutan mangrove Sembilang. Jika dilanggar, pelaku dan warga dusun akan mendapat bencana
- Larangan membunuh babi, biawak dan satwa lainnya, serta tradisi ratipan juga diikuti para pendatang yang menetap di Dusun Sungai Sembilang, seperti Bugis, Jawa, dan Padang
- Ratipan merupakan tradisi warga Dusun Sungai Sembilang, yang digelar pada perayaan 1 Muharam. Ratipan ini selain mendoakan para leluhur juga menjaga keselamatan mereka atau hidup damai dengan makhluk lainnya, di laut maupun hutan
- Tradisi dan larangan membunuh satwa dinilai masih terkait dengan ajaran tetua wong Palembang dalam Kitab Simbur Cahaya. Kita ini ditulis Ratu Sinuhun, istri penguasa Palembang, Pangeran Sido Ing Kenayan yang berkuasa selama enam tahun [1636 – 1642 M]
***
Pengantar
Taman Nasional Berbak Sembilang yang berada di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, serta di Kabupaten Muaro Jambi – Tanjung Jabung Timur, Jambi, telah ditetapkan sebagai cagar biosfer dunia oleh UNESCO. Pengukuhan ini dilakukan pada sidang ke-30 International Coordinating Council of the Man and Biosphere Programme [ICC-MAB] di Palembang, Sumatera Selatan, Rabu [25/7/2018].
Terkait penetapan cagar biosfer tersebut, Lembaga Pers Mahasiswa Ukhuwah UIN Raden Fatah Palembang mengadakan liputan penulisan bertema “Lanskap Sriwijaya”. Para peserta, selain diberi pemahaman ekologi dan lanskap [bentang alam], teknik jurnalistik seperti pembuatan proyeksi, peliputan dan penulisan narasi, juga meliput langsung ke bentang alam Sembilang, Banyuasin, Sumatera Selatan.
Kegiatan ini dilaksanakan pada 10-16 November 2018, dengan dukungan Mongabay Indonesia, ZSL Indonesia, dan KOLEGA South Sumatra. Dari pelatihan ini, terpilih enam tulisan yang akan ditayangkan setiap hari, berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan batas waktu pengiriman, Januari 2019.
Baca tulisan sebelumnya:
Berharap Nelayan Hidup Harmonis di Dusun Sungai Sembilang
Petis Udang Sembilang, Lama Mengolahnya Susah Menjualnya
Derita Warga Sembilang: Hidup Dalam Lingkungan Air, tapi Harus Beli
Potensi Mendukung, Bisakah Energi Terbarukan Dikembangkan di Sembilang?
***
Jika sebagian besar masyarakat yang menetap di sekitar hutan akan memburu babi atau biawak karena dianggap hama, kondisi ini tidak berlaku bagi warga Dusun Sungai Sembilang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Mereka telah menetapkan aturan untuk tidak membunuh satwa liar.
“Kalau membunuh babi akan mendatangkan balak [bencana], baik untuk si pelaku juga warga dusun ini,” kata Wati [35], warga Dusun Sungai Sembilang, pertengahan November 2018 lalu.
Apa bencananya?
“Pokoknya musibah,” lanjut Wati tanpa memberi tahu lebih rinci.
Warga sangat meyakini, jika babi yang hidup di hutan mangrove sekitar dusun merupakan penunggu dan penjaga Sungai Sembilang. Jauh sebelum masyarakat menetap di dusun tersebut.
Dengan keyakinan itu, saya tidak terkejut saat melihat beberapa ekor babi hutan mencari makan di sekitar rumah warga, termasuk di halaman sekolah. “Meski demikian kami tidak keberatan jika ada orang yang menangkap atau membawa babi dari dusun ini. Asalkan sesuai aturan dan tidak membunuhnya di dusun ini,” kata Wati.
Warga Dusun Sungai Sembilang juga dilarang membunuh biawak. Berbeda dengan babi, biawak jarang masuk permukiman warga. Hewan ini hanya menetap di kawasan hutan atau perbatasan dusun. “Membunuh biawak juga mendatangkan nasib jelek. Biawak juga dihormati di sini,” katanya.
Bagaimana dengan harimau sumatera? “Wah, apalagi puyang itu, sama sekali tidak boleh diganggu. Menyebutnya saja harus hati-hati. Bukan kami saja yang tinggal di sini, masih ada makhluk lainnya. Kalau bisa, jangan saling ganggu,” tuturnya.
Harun [60], warga lainnya membenarkan larangan membunuh babi, biawak dan satwa liar lainnya. “Sejak awal saya menetap di sini, aturan tersebut sudah jadi pemahaman kami bersama. Kami semua sepakat, sebab itu semua untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan sehingga ketenangan hidup warga terjaga,” katanya.
Tradisi menghormati penghuni hutan
Demi mengormati para leluhur dan para penghuni hutan dan laut, ada tradisi yang terus dilakukan masyarakat Dusun Sungai Sembilang, yakni beratipan. Tradisi ini berupa pembacaan doa keselamatan, kedamaian, dan perlindungan dari Tuhan, sehingga terhindar segala bencana. “Nelayan selalu melakukan hal ini,” kata Wati.
Beratipan dilakukan setiap 1 Muharam [Tahun Baru Islam] di rumah salah satu warga. Tapi beratipan ini juga dilakukan jika ada warga berhajat. Tradisi ini tidak mungkin hilang, sebab berkaitan dengan ajaran agama. “Telah kami lakukan sejak dusun ini dibuka,” ujar Harun.
Yunan Alwi, Kepala Dusun Sungai Sembilang, membenarkan jika sebagian besar warganya menjalankan tradisi atau menaati berbagai larangan yang diajarkan orangtua atau leluhurnya.
Tradisi ini justru membangun hubungan harmonis antaretnis di sini. “Tradisi ini ditaati pendatang yang menjadi warga seperti wong Bugis, Jawa, Padang,” katanya.
Sementara pendatang yang beda keyakinan juga tidak keberatan. “Sebagai pendatang mereka sangat menghargai tradisi yang sudah ada. Semua untuk harmonisasi kehidupan masyarakat dengan alam, satwa, tumbuhan, dan sesama manusia,” katanya.
Lingkungan hidup
Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi dari UIN Raden Fatah Palembang, Januari 2018 lalu mengatakan, tradisi yang hidup di Dusun Sungai Sembilang, masih terikat ajaran Kitab Simbur Cahaya tentang hukum terkait hutan atau lingkungan hidup.
Kitab yang ditulis Ratu Sinuhun, istri penguasa Palembang, Pangeran Sido Ing Kenayan, yang berkuasa selama enam tahun [1636 – 1642 M], merupakan pranata hukum dan kelembagaan adat di Sumatra Selatan.
Kitab ini memadukan ajaran adat dengan ajaran Islam. Mulai dari hubungan lelaki dengan perempuan, hingga pedoman mengelola hutan atau lingkungan hidup. “Misalnya, menghormati sejumlah satwa dengan sebutan nenek, yang tujuannya agar manusia tidak membunuh atau memakannya,” katanya.
“Dapat dikatakan, tradisi warga Dusun Sungai Sembilang tersebut sebagai bentuk pelestarian keseimbangan ekosistem. Larangan membunuh babi dan biawak dikarenakan satwa tersebut makanan hewan buas seperti harimau. Jika harimau kehabisan makanan, manusia yang bakal terancam hidupnya,” tandasnya.
* Alfiansyah, mahasiswa semester VI Jurusan Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Raden Fatah Palembang, Sumatera Selatan. Email: [email protected]