- Balai konservasi sumber daya alam (BKSDA) Sulawesi Utara bersama Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST) menyita 2 ekor Macaca nigra (yaki) dan seekor Macaca hecki peliharaan warga, yang telah dianggap sebagai ‘teman’ atau bagian dari ‘keluarga’.
- Manusia bisa menganggap Macaca sebagai teman atau keluarga, namun tindakan itu justru membuat Macaca terasing dari lingkungan aslinya.
- Memelihara Macaca dapat menimbulkan risiko bahaya bagi kesehatan. Primata berpotensi menyebar zoonosis yang tinggi, mengingat kekerabatannya dengan manusia. Penyakit itu bisa ditularkan melalui air liur, gigitan, hingga melalui kotoran.
- Kasih sayang itu (dengan memelihara Macaca) dianggap hanya untuk memuaskan manusia. Meski Macaca bisa berinteraksi dengan manusia, bisa mengenal pemiliknya, namun satwa ini lebih pantas dan punya fungsi ekologi di habitat alaminya.
Balai konservasi sumber daya alam (BKSDA) Sulawesi Utara bersama Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST) melakukan patroli penyelamatan satwa liar dilindungi, Jumat (10/5/2019). Mereka menyita 2 ekor Macaca nigra (yaki) dan seekor Macaca hecki peliharaan warga, yang telah dianggap sebagai ‘teman’ atau bagian dari ‘keluarga’.
Patroli itu sendiri, merupakan tindak lanjut dari laporan warga. Setelah memperoleh foto dan lokasi satwa liar yang dipelihara, tim BKSDA Sulut menyusuri beberapa daerah di kabupaten Minahasa seperti Kalasey, Tanawangko dan Langowan. Di tiga lokasi itu, mereka mendapati Macaca dengan rentang umur antara 1 hingga 3 tahun, diikat dengan rantai.
Noel Layuk Allo, kepala BKSDA Sulut mengatakan, lewat patroli itu mereka berupaya mengumpulkan dan mengurangi satwa liar dilindungi Undang-Undang yang dipelihara oleh masyarakat. Selain itu, memberikan pemahaman pada masyarakat untuk tidak lagi memelihara satwa liar dilindungi.
“Satwa liar dilindungi yang dipelihara masyarakat akan direhabilitasi sebelum dilepasliarkan kembali ke habitat aslinya. Operasi ini juga bertujuan mendukung upaya peningkatan populasi yaki melalui mekanisme restocking, reintroduksi dan translokasi,” jelas Noel Layuk Allo ketika dihubungi Mongabay Indonesia, Selasa (14/5/2019).
baca : Jelang Natal, Aktivis Serukan Penyelamatan Satwa Liar di Pasar Tomohon
Awalnya tim patroli kesulitan melakukan penyitaan. Sebab, beberapa warga menganggap satwa Macaca sebagai ‘teman’ atau bagian dari ‘keluarga’. Namun setelah diberi penjelasan lebih mengenai status konservasi, status hukum dan peran ekologi di alam, para pemilik bersedia menyerahkan satwa yang dipelihara.
Billy Gustafianto, Manager Wildlife Rescue & Endagered Species PPST mencontohkan, pemilik Macaca nigra di Kalasey, sempat menolak menyerahkan satwa peliharaannya karena merasa telah mengurusnya dengan baik. Meski baru 2 bulan dipelihara, dia sudah terlanjur sayang pada monyet hitam Sulawesi itu.
“Ada urus bae-bae kiapa mo ambe? (Saya urus baik-baik kenapa mau disita?)” kata Billy menirukan ucapan pemilik Macaca nigra. “Kemudian dia tinggal agak jauh dari anak dan istrinya, jadi alasan pelihara supaya ada teman untuk diajak bermain. Tapi setelah diberi penjelasan akhirnya dia mengerti.”
Di Langowan tim BKSDA Sulut dan PPST menyita Macaca hecki berusia sekitar 3 tahun yang dipelihara oleh seorang kepala desa (hukum tua). Mereka mendapat informasi bahwa pasangan suami-istri ini memelihara satwa liar sebagai bagian dari keluarga.
“Sambutan mereka baik. Lalu kami jelaskan bahwa, tidak seharusnya satwa ini dipelihara,” jelas Billy. “Ternyata mereka tidak punya anak. Jadi monyet itu diperlakukan seperti anak.”
baca juga : Miris… Satwa Dilindungi Makin Habis Karena Dikonsumsi
Menurutnya, menjadikan satwa liar sebagai ‘teman’ atau bagian dari ‘keluarga’ merupakan pemahaman dan tindakan yang keliru. Manusia bisa menganggapnya sebagai teman atau keluarga, namun tindakan itu justru membuat Macaca terasing dari lingkungan aslinya.
Billy juga menyampaikan tentang pentingnya peran satwa liar di habitat aslinya, seperti berkontribusi menumbuhkan pohon dan menjaga keberlanjutan hutan. Memelihara Macaca berarti menghilangkan peran ekologisnya. Sementara, manusia belum tentu sanggup menjalankan peran penting tersebut.
“Sebaik apapun mereka dipelihara, tidak akan sebanding dengan kehidupan mereka di hutan. Kalau hutan bagus, manusia juga yang merasakannya,” tambah Billy.
Macaca nigra (yaki) merupakan spesies yang oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature) dikategorikan genting (critically endangered). Populasi spesies ini mengalami penurunan. Pada 1978, densitas di Cagar Alam Tangkoko 300 ekor per kilometer. Pada 1987-1988, populasi yaki tersisa 76,2 ekor per km. Tahun 1999, tinggal 58 ekor per km.
Pemerintah Indonesia menetapkan yaki sebagai jenis satwa dilindungi, seperti tertulis dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.92/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Sedangkan, IUCN memberi status rentan (vulnerable) pada Macaca hecki. Namun, spesies ini tidak masuk dalam daftar jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi. “Walaupun tidak masuk daftar dilindungi, namun kepemilikan Macaca hecki tidak bisa dibenarkan karena banyak risiko. Selain itu tidak ada izin untuk memelihara,” tegas Billy.
menarik dibaca : Selamat Hari Primata, Selamatkan Mereka dari Perburuan
Tetap Liar
Memelihara satwa liar termasuk primata, dan menjadikannya sebagai ‘teman’ atau bagian dari ‘keluarga’, tidak serta merta menghilangkan naluri liarnya. Bahkan, interaksi manusia dengan primata dikhawatirkan berpotensi menularkan penyakit.
Saroyo Sumarto, primatolog Universitas Sam Ratulangi mengatakan, bayi primata memiliki postur tubuh yang ‘menggemaskan’. Ukuran tubuh pendek, montok, perbandingan kepala dan badan yang belum proposional, serta perilaku hewan yang belum dewasa, menimbulkan rasa sayang bukan hanya dari induk primata, tapi juga dari manusia.
“Terlebih di fase imprinting hewan akan menganggap yang memelihara sebagai induknya. Tetapi satwa liar tetaplah satwa yang akan mengekspresikan sifat liarnya yang akan muncul begitu dewasa. Monyet jantan dewasa akan merebut dominasinya termasuk di antara manusia,” terang Saroyo.
Selain itu, masyarakat perlu mendapat edukasi bahwa memelihara primata dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan. Kata Saroyo, primata berpotensi menyebar zoonosis yang tinggi, mengingat kekerabatannya dengan manusia. Penyakit lain yang berisiko ditularkan adalah TBC, hepatitis, cacar, simian retro virus, hingga parasit cacing pita, cacing gelang dan cacing tambang.
Penyakit itu bisa ditularkan melalui air liur, gigitan, hingga melalui kotoran. “Luka fisik juga bisa terjadi akibat gigitan dan cakaran. Tapi manusia juga bisa menyebarkan penyakit ke monyet dan monyet akan jadi sumber penularan ke manusia atau hewan lain,” lanjutnya.
Macaca merupakan satwa yang memiliki kedekatan tingkah-laku dengan manusia. Beberapa aktivitas harian makhluk ini menunjukkan kemiripan, misalnya memanfaatkan habitat untuk makan (feeding), mencari makan (foraging), berpindah (moving), istirahat (resting) hingga bersosialisasi.
perlu dibaca : Waspada, Ada Penyakit Zoonosis di Sekitar Kita
John Tasirin, pakar biodiversitas Unsrat menambahkan, manusia bisa menahan nafsu seksual dengan batasan etika dan moral, namun tidak begitu halnya dengan Macaca. Satwa ini adalah hewan sosial dalam lingkup sesamanya yang, oleh John, disebut sebagai kebebasan di alam.
“Kasih sayang itu (dengan memelihara Macaca) keliru. Hanya untuk kepuasan manusia, bukan hewan itu. Memang, Macaca bisa berinteraksi dengan manusia, bisa mengenal pemiliknya. Namun, lebih benar kalau dia berada di habitat alaminya,” ujarnya.
Dia menyayangkan tindakan memelihara satwa dilindungi, termasuk yaki, dengan alasan ‘sayang’. Sebab ketentuan hukum di Indonesia tidak memperkenankan. “Sangat disayangkan, karena membina hubungan dengan satwa yang salah status (dilindungi). Kita merasa iba, tapi berdasarkan peraturan di Indonesia melanggar hukum,” pungkasnya.