Pertanggal 13 Februari 2020 lalu, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan Surat Edaran Mendagri No 522/1392/SJ Tahun 2020. Surat ini dirasa penting dan menjadi pijakan penting dalam kemajuan dan masa depan perhutanan sosial. Dengan surat edaran ini, maka pengelolaan hutan lestari dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat dapat semakin mewujud.
Sebelumnya, yaitu pada tahun 2017, Kemendagri pernah terlibat dalam pertemuan untuk melakukan fasilitasi percepatan penyelesaian dan integrasi kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai bagian dari UPTD Provinsi. Namun SE yang sekarang secara substansi lebih secara jelas mengatur detail Dukungan Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial.
Demikian pula, jika sebelumnya kerangka kerja aturan perhutanan sosial dirasa belum jadi prioritas dalam rencana pembangunan daerah maka dengan adanya SE Mendagri, -selaku instansi otoritatif, dapat turut ‘mengintervensi” agar program Perhutanan Sosial dapat masuk dan terintegrasi dalam Dokumen Rencana Pembangunan Daerah. Keberadaan SE ini pun dianggap sudah lebih menyasar pada aspek teknis dan fasilitasi.
Baca juga: Menilik Arah Masa Depan Perhutanan Sosial di Indonesia
Perhutanan Sosial dan Pengentasan Kemiskinan
Arah kebijakan dan strategi RPJMN 2020-2024 menempatkan pengelolaan kawasan hutan oleh masyarakat melalui skema perhutanan sosial, sebagai bagian dari program pengentasan kemiskinan.
Artinya paradigma perhutanan sosial yang sebelumnya masih dipandang sebagai kebijakan ekslusif nasional dan kehutanan, didorong didomestifikasi dalam poin-poin rencana prioritas pembangunan daerah, yang bisa menyumbang PAD dari sektor kehutanan untuk pemasukan daerah.
Visi RPJMN 2020-2024 Pemerintah diarahkan untuk transformasi Indonesia menuju negara berpenghasilan menengah atas (upper-middle income countries) dan upaya pengentasan kemiskinan.
Implikasinya alur kerja perhutanan sosial pun didorong untuk pengembangan usaha berbasis rakyat, sembari merampungkan percepatan usulan kawasan perhutanan sosial sesuai target RPJMN 2015-2019 yang baru mencapai 4,2 juta ha, dari target seluas 12,7 Juta Ha.
Ada tiga poin utama yang diatur dalam pengentasan kemiskinan yang dimaksud, yaitu 1) membangun kemitraan investasi/usaha antara investor dengan kelompok usaha perhutanan sosial; 2) pembangunan industri untuk pengolahan produk hasil kelompok perhutanan sosial sebagai upaya peningkatan nilai tambah; 3) dan pemberian fasilitasi pemasaran/promosi produk perhutanan sosial kepada kelompok usaha perhutanan sosial.
Kegiatan pengembangan usaha perhutanan sosial pun masuk dalam agenda musyawarah perencanaan pembangunan desa; mendorong Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan mitra swasta untuk dapat berperan aktif menampung dan/atau memasarkan produk hasil usaha perhutanan sosial; serta memfasilitasi kemudahan akses permodalan bagi pemegang izin dari bank daerah setempat.
Baca juga: Wanti-Wanti untuk Jaga Lahan Perhutanan Sosial Lampako
Pelibatan Peran Para Pihak
Secara regulasi, usaha perhutanan sosial berfokus pada pengelolaan potensi yang berada di kawasan perhutanan sosial, meliputi pengembangan usaha hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan hasil hutan kayu (HHK), serta jasa lingkungan/ekowisata, yang berasaskan kelestarian dan ekonomi.
Pada rencana kerja KLHK tahun 2020, pemerintah mengucurkan anggaran untuk program Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat sebesar Rp235 milyar untuk pengembangan 2.647 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) yang terkategori mandiri.
Anggaran ini cukup besar, tapi berbanding terbalik dengan data KLHK tahun 2019, yang menyatakan bahwa ada 25.863 desa di dalam dan disekitar kawasan hutan yang terdiri dari 9,2 juta rumah tangga, dengan 1,7 juta rumah tangga masuk kedalam kategori miskin. Ada serangkaian tugas besar dilapangan yang mesti dibenahi.
Hal ini tak berbeda dengan pengalaman di tapak mikro. Berdasarkan pengalaman fasilitasi kelompok usaha perhutanan sosial oleh KKI WARSI di Sumatera Barat, yang mencakup setidaknya 28 KUPS atau UMKM yang sudah difasilitasi.
Dari jumlah itu, 15 diantaranya dikategorikan gold (sudah memiliki unit usaha dan memasarkan produk), dan 9 kategori silver (sudah menyusun rencana kerja dan melakukan kegiatan usaha). Hasil temuan lapangan, sebagian lagi dari kelompok usaha masih terkendala dan berkutat pada peningkatan kapasitas, bentuk kelembagaan, perizinan, modal dan keberlanjutan usaha.
Meskipun begitu, setidaknya ada 2 KUPS yang sudah masuk kategori platinum (telah memiliki jangkauan pasar yang luas), yaitu LPHN (Lembaga Pengelola Hutan Nagari) Simarasok, Kabupaten Agam dengan usaha getah pinus dan KUPS Simancuang Kabupaten Solok Selatan dengan pengembangan usaha beras organik.
Dalam rentang tahun 2020, LPHN Simarasok sudah merampungkan transaksi hingga Rp77 juta, dan akan terus berkembang. Sedangkan KUPS Simancuang pernah merampungkan transaksi beras organik sebanyak 1,4 ton dengan nilai jual Rp14.000/kg, berbeda dari harga beras konvensional Rp14.000/1,6 kg.
Praktek baik (best practice) dalam pengembangan usaha oleh stakeholders non pemerintah ini adalah modal, yang merupakan pembelajaran yang mesti diperkuat. Khususnya untuk mendorong nilai ekonomi potensi Perhutanan Sosial terutama dari sektor HHBK masih sangat menjanjikan.
Baca juga: Nagari Simarasok, Mencari Asa Sejahtera dari Sadapan Getah Pinus
Hal berikutnya yang penting adalah upaya untuk meningkatkan keterlibatan stakeholders (para pihak) non pemerintah.
Keterlibatan stakeholders non pemerintah dalam pengembangan usaha perhutanan sosial memang telah menjadi salah satu poin penting dalam Surat Edaran Mendagri. Sebab, efektivitas dalam pengembangan usaha, akan dapat dicapai ketika semua pihak yang berhubungan dengan fasilitasi dan pengembangan program di bidang lingkungan dan kehutanan terlibat secara penuh.
Penekanan keterlibatan stakeholders non pemerintah pun menjadi bukti komitmen kuat pengembangan perhutanan sosial saat ini tidak hanya domain instansi kehutanan, tapi semua pihak yang bisa mendukung peningkatan sosio-ekonomi dengan tetap memperhatikan aspek sosio-ekologis kawasan hutan.
Pelibatan aktor non pemerintah sekaligus menjadi alternatif mengatasi persoalan keterbatasan anggaran dan SDM yang disediakan pemerintah. Tidak sampai disitu, konsekuensi dari pemberlakuan otonomi daerah membuat perluasan kewenangan berpusat pada pemerintah daerah. Dengan adanya keterlibatan peran para pihak, masalah keterbatasan anggaran pun diharapkan dapat disiasi.
Untuk mendorong pengembangan usaha perhutanan sosial kedalam dokumen rencana pembangunan daerah, maka dirasa akan lebih efektif lagi bila dibarengi dengan pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMD) dengan fokus usaha pada penampungan hasil produk rakyat dan kendala pemasaran dalam perhutanan sosial dapat teratasi.
Arah kebijakan ini tentu perlu dikawal hingga proses implementasi di lapangan, sehingga pemerataan hasil ekonomi dari sektor kehutanan bisa menyasar langsung ke masyarakat. Dengan demikian, harapan agar tujuan perhutanan sosial untuk mengentaskan kemiskinan dengan tetap menjaga kelestarian hutan akan dapat tercapai.
* Nabhan Aiqani, penulis adalah Spesialis Pengelolaan Pengetahuan di KKI WARSI. Artikel ini merupakan opini penulis