- Setiap tahun, tak kurang dari dua juta jiwa penduduk Indonesia memilih untuk bekerja sebagai pekerja migran Indonesia (PMI) yang berprofesi sebagai awak kapal perikanan (AKP). Profesi tersebut dinilai sebagai profesi penuh tantangan, karena harus bekerja di atas laut pada kapal perikanan
- Jumlah yang banyak tersebut, memicu banyak persoalan yang selalu muncul setiap tahun. Terutama, berkaitan dengan keselamatan dan kesejahteraan para AKP. Tidak sedikit di antara mereka, bahkan harus meregang nyawa saat sedang bekerja di atas laut
- Di lain sisi, persoalan tersebut tidak bisa diselesaikan dengan cepat, karena Pemerintah Indonesia tidak bisa memberikan perlindungan dengan maksimal yang disebabkan oleh masih amburadulnya tata kelola penempatan AKP
- Selain itu, hingga saat ini Pemerintah belum memiliki data tunggal tentang jumlah AKP yang bekerja di kapal perikanan, baik di dalam maupun luar negeri. Semua data yang ada, masih tersebar di berbagai kementerian dan lembaga
Ketiadaan data tunggal yang valid tentang jumlah awak kapal perikanan (AKP) dan pekerja migran Indonesia (PMI) hingga saat ini masih menjadi kendala yang menyebabkan perlindungan dari Negara terhadap mereka belum bisa dilakukan secara maksimal.
Tidak adanya data tunggal, menyebabkan Pemerintah Indonesia kesulitan untuk bisa mendeteksi berapa jumlah AKP dan PMI sebenarnya. Hal tersebut diakui oleh Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani belum lama ini.
Menurut dia, tanpa dilakukan antisipasi dan pemecahan masalah, kendala tersebut akan terus menyulitkan Negara untuk bisa melaksanakan tugas dalam upaya memberikan perlindungan penuh kepada para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja sebagai AKP dan PMI.
“Kondisi-kondisi demikian harus dapat kita antisipasi dengan lebih meningkatkan koordinasi, sinergi dan kerja sama dengan pihak-pihak terkait baik internal maupun eksternal, termasuk dari masyarakat sipil,” ungkap dia dalam sebuah kesempatan di Jakarta.
baca : Kisah Para AKP yang Masih Terjebak di Kapal Perikanan Tiongkok
Benny meyakini, jika semua pihak terkait memiliki tekad yang sama kuat dan bulat untuk memperbaiki keadaan, maka tata kelola penempatan PMI yang di dalamnya termasuk AKP, akan bisa menjadi lebih baik lagi. Hal itu, diyakini akan bisa mengikis praktik pengiriman ilegal PMI secara signifikan.
Para PMI yang berpotensi masuk jalur ilegal tersebut, ada yang bekerja di jalur darat ataupun laut sebagai AKP. Jika mereka semua bisa disalurkan melalui jalur resmi, maka keuntungan secara ekonomi akan dirasakan oleh Negara.
“Pada akhirnya Negara akan diuntungkan melalui peningkatan devisa yang dihasilkan,” ucap dia.
Dari data Bank Indonesia yang dirilis pada 2019, jumlah dana dari PMI yang dikirim ke Indonesia mencapai angka Rp158,9 triliun. Jumlah tersebut, mengalami penurunan dibandingkan transaksi yang terjadi pada 2020 saat pandemi COVID-19 mulai berlangsung.
Pada 2020, transaksi hanya mencapai Rp132,9 triliun atau mengalami penurunan hingga 8,4 persen dibandingkan transaksi yang terjadi pada 2019. Namun, angka-angka tersebut ternyata berkontribusi hingga tujuh persen terhadap total anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN).
Bagi Benny Rhamdani, fakta di atas bisa menjadi pendorong yang kuat bagi semua pihak terkait untuk sama-sama bisa melakukan perbaikan tata kelola penempatan dan perlindungan AKP, khususnya yang bekerja di laut lepas. Salah satunya, melalui regulasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia.
Beberapa tahun terakhir, regulasi tentang hal tersebut mengalami perubahan dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, menjadi UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
baca juga : Pentingnya Memahami Kondisi Kerja di Atas Kapal Perikanan
Perubahan Regulasi
Perubahan regulasi tersebut mengubah tata kelola perlindungan PMI cukup mendasar, terutama dalam hal penanganan AKP. Terlebih, dalam UU 39/2004 Pasal 28 disebutkan bahwa “Penempatan TKI pada pekerjaan dan jabatan tertentu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri”.
Sayangnya, setelah UU tersebut resmi diundangkan, sampai saat ini belum ada peraturan turunan yang diterbitkan oleh kementerian/lembaga terkait. Padahal, dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pekerjaan atau jabatan tertentu dalam penjelasan pasal tersebut, tidak lain adalah pelaut.
“Sehingga tugas fungsi BNP2TKI dahulu tidak mencakup penempatan dan pelindungan ABK atau kita kenal sebagai sea based dan hanya berkonsentrasi pada isu ketenagakerjaan yang bersifat land based,” tegas dia.
Dalam UU yang diundangkan oleh Pemerintah Indonesia pada 22 November 2017 tersebut, disebutkan salah satu jenis PMI, pengganti nomenklatur Tenaga Kerja Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU tersebut, salah satunya Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan.
Dalam penilaian Benny Rhamdani, penyebab terjadinya tata kelola AKP yang carut marut, adalah karena ketidakjelasan dan ketidaktegasan dalam pengaturan pembagian kewenangan, juga pihak-pihak yang berhak dan seharusnya untuk melakukan penempatan.
Sebagai gambaran, surat izin usaha perdagangan (SIUP) penempatan AKP dapat diterbitkan oleh berbagai instansi, seperti Kementerian Perdagangan atau Dinas Perdagangan di daerah. Kemudian, Kementerian Perhubungan juga bisa menerbitkan Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK).
Demikian juga dengan Kementerian Ketenagakerjaan RI yang bisa menerbitkan Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia atau dikenal SIP3MI kepada Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI).
Kesemrawutan tata kelola tersebut, memang dinilai harus segera dibenahi agar bisa menjadi lebih baik lagi di masa mendatang. Paling utama, Pemerintah harus bisa mengeluarkan rencana aksi nasional (RAN) perlindungan AKP.
baca juga : Ironi Negara Penyumbang Tenaga Kerja Perikanan Terbesar di Dunia
Menurut Ketua Umum Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO) M Zulficar Mochtar, RAN harus segera diterbitkan, karena memang perlindungan terhadap profesi AKP masih belum maksimal oleh Negara. Meskipun, hingga sekarang sudah menyerap hampir dua juta pekerja di Indonesia.
Padahal, AKP adalah aset dalam sistem produksi dan memiliki kontribusi yang besar dalam pemenuhan gizi dan kesehatan masyarakat Indonesia. Meskipun ironisnya, dari total dua juta pekerja AKP, hanya sekitar 30 persen saja yang sudah memiliki kontrak kerja.
“RAN tersebut diharapkan dapat memuat upaya dan program untuk harmonisasi regulasi, pengawasan bersama dan edukasi dan penyadaran masyarakat,” ucap dia.
Satu Pintu
Dalam penilaian dia, penyebab kenapa perlindungan kepada AKP masih belum maksimal dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, itu tidak lain karena hingga saat ini pengaturan dan pengelolaan AKP masih tersebar di berbagai kementerian dan lembaga.
Agar bisa terpecahkan persoalan tersebut, Zulficar Mochtar berpendapat bahwa RAN adalah salah satu elemen penting yang harus segera diterbitkan oleh Pemerintah. Hal itu, karena strategi, program, kegiatan, dan pendanaan bisa masuk dalam satu pengelolaan bersama.
Sementara, Direktur SAFE Seas Project (SSP) Nono Sumarsono mengatakan bahwa selama ini keberadaan AKP memang tidak dikenali oleh Pemerintah. Meskipun, mereka adalah kelompok rentan yang sudah seharusnya dibela dan dilindungi oleh Negara.
“Sistem pengupahan yang ada saat ini sangat tidak adil, karena sistem bagi hasil yang berlaku bukan sharing profit, tapi share risk,” jelas dia.
Di lain sisi, walaupun telah ditetapkan upah AKP setara atau di atas dengan upah minimum provinsi (UMP), namun kenyataannya yang diterima oleh mereka jauh dari ketentutan tersebut. Dia menyebut, upah yang diterima oleh AKP ada yang masih Rp30.000 per hari.
perlu dibaca : Bagaimana Menata Kelola Pengiriman Awak Kapal Perikanan yang Tepat?
Field Manager Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia untuk SSP dan juga pengelola Fisher’s Center Bitung, Sulawesi Utara Laode Hardiani mengatakan, pihaknya telah menginisiasi sistem deteksi dini dan pencegahan agar AKP tidak terjebak pada praktik kerja paksa.
Dia mengatakan bahwa pihaknya sudah menjalin kerja sama dengan Serikat Awak Kapal Perikanan Bersatu Sulawesi Utara untuk mendorong adanya dialog dengan perusahan dan pemilik kapal yang ada di kota Bitung. Dengan tujuan, agar segala persoalan bisa diungkap secara jelas.
“Kita telah mendorong pemerintah kelurahan untuk mengeluarkan surat edaran Lurah tentang sistem perlindungan awak kapal perikanan,” terang dia.
Sementara, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah ISKINDO Provinsi Jawa Tengah Riyono mengungkapkan bahwa upaya penguatan organisasi dan serikat AKP memang perlu dilakukan dengan baik. Hal itu, agar bisa dibangun kesadaran kolektif bagi TKI yang memilih profesi AKP.
“Aturan dan regulasi sudah terlalu banyak tapi implementasinya lemah,” pungkas dia.