- Aparat Dinas Perikanan dan pihak keamanan menangkap pelaku yang membawa detenator bom yang hendak dijual kepada nelayan di Lamakera, Kabupaten Flores Timur, NTT, yang akan dipergunakan untuk pengeboman ikan
- Tim Penyelamat Laut Flores Timur telah mengidentifikasi para pelaku pengeboman yang hanya berasal dari beberapa wilayah saja termasuk nelayan asal Kabupaten Ende dan Sikka
- Akademisi dan staf Dinas Perikanan menyesalkan hukuman pelaku pengeboman ikan sangat ringan dibawah 2 tahun padahal dampak yang ditimbulkannya sangat besar. Ada pelaku yang ditangkap melakukan pengeboman ikan dan dihukum setahun penjara
- Solusi untuk mengatasi persoalan pemboman ikan bisa juga dlakukan dengan cara peralihan alat tangkap bagi nelayan. Saat ini alat tangkap hand line tuna sangat menjanjikan dimana hasil tangkapan ikan tuna memiliki nilai ekonomis tinggi
Seorang warga Desa Parumaan, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) berinisial HSS ditangkap aparat keamanan dan didampingi staf Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur.
Pelaku ditangkap di sebuah warung makan di Boru, Kecamatan Wulanggitang Jumat (11/6/2021) karena membawa detonator yang akan dipergunakan untuk bahan peledak bom ikan.
Nelayan tersebut membawa 100 batang detonator. Sebatang detonator bisa diracik menjadi 10 detonator untuk bom ikan. Dengan begitu, 100 batang bisa dipakai untuk 1.000 botol bom ikan.
“Detonator yang dijual tersebut merupakan detonator kelas 1 dengan daya ledak tinggi,” kata Apolinardus Yosef Lia Demoor, Kabid Pengawasan Sumber Daya Perikanan dan Perizinan Usaha, Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur saat ditemui Mongabay Indonesia di kantornya, Senin (14/6/2021).
Dus sapaannya menyebutkan, 100 detonator tersebut dibeli HSS seharga Rp5 juta. Pelaku berencana menjualnya di nelayan Lamakera di Flores Timur seharga Rp500 ribu per buah sehingga dirinya mengantongi pendapatan hingga Rp50 juta.
Ia katakan, informasi soal pelaku pembawa detonator bom ini diperoleh Tim Penyelamat Laut Kabupaten Flores Timur dari aparat keamanan di Kota Maumere, Kabupaten Sikka.
“Saya bersama seorang aparat keamanan melakukan penangkapan saat pelaku sedang makan di sebuah warung makan di Boru, Kecamatan Wulanggitang. Pelaku mengaku hendak menjual detonator tersebut kepada nelayan di Lamakera,” ucapnya.
baca : Polda NTT Tangkap Pemasok Bahan Bom dan Pelaku Pengeboman Ikan, Bagaimana Selanjutnya?
Identifikasi Pelaku
Data yang diperoleh dari Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur menyebutkan para pelaku pengeboman ikan di pantai selatan Flores biasanya berasal dari Lamakera, Kecamatan Solor Timur dan Kabupaten Ende.
Dus mengatakan untuk pantai selatan sudah tidak ada aktifitas pengeboman lagi sebab pelaku asal Lamakera sudah ditangkap. Kecuali pelaku dari Kabupaten Ende yang kadang masih melakukan pengeboman ikan.
Untuk wilayah pantai utara Flores pelakunya berasal dari Desa Sagu dan Desa Adonara di Kecamatan Adonara termasuk juga nelayan dari Kabupaten Sikka.
Menurutnya, nelayan dari Desa Sagu dan Adonara sering melakukan pengeboman hingga ke wilayah Kabupaten Lembata. Nelayan sering melakukan pengeboman ikan jenis Kembung (Rastrelliger kanagurta) dan Ikan Pisang-Pisang (Caesio chrysozona) yang terbiasa bergerombol di wilayah yang banyak karangnya.
“Dampak pengeboman menyebabkan banyak daerah di pesisir pantai selatan karangnya rusak dan yang masih bagus hanya di depan perairan Pulau Solor bagian barat,” ucapnya.
Dus tambahkan, di sebelah timur Pulau Mas di ujung timur Pulau Flores terdapat sebuah pulau karang baru dengan panjang sekitar 10 meter dan lebar sekitar 5 meter yang terbentuk dari terumbu karang yang hancur akibat pengeboman.
baca juga : Pelaku Pengeboman Ikan Kembali Ditangkap di Perairan Flores Timur. Kenapa Pelaku Terus Beraksi?
Dahulu, sebut Dus, aksi pengeboman juga dilakukan di Pulau Mas, pulau kecil tanpa penghuni karena karangnya masih bagus. Namun kini karang di perairannya mengalami kerusakan parah.
“Sejak dari Kecamatan Adonara Barat hingga ke timur, semua wilayah pesisir karangnya hancur. Untuk pantai selatan Pulau Adonara, di perairan gugus pulau di Meko sudah tidak terjadi pengeboman ikan lagi karena telah menjadi tempat wisata,” terangnya.
Dus paparkan, untuk Kabupaten Flores Timur, pelaku pengeboman ikan biasanya berasal dari Desa Sagu dan Adonara di Kecamatan Adonara, Desa Waiwuring di Kecamatan Witihama serta nelayan dari Lamakera di Kecamatan Solor Timur.
Hukuman Ringan
Banyak nelayan, akademisi bahkan staf Dinas Perikanan mempertanyakan ringannya hukuman terhadap pelaku pengeboman ikan, dampak yang ditimbulkannya sangat besar.
“Kita boleh bertaruh nyawa menangkap pelaku pengeboman ikan tapi kenapa hukumannya sangat ringan sekali. Ini tidak memberikan efek jera,” kritiknya.
Harusnya saat penyidikan, pelaku yang sama dan tertangkap lagi melakukan pengeboman diberikan label residivis sehingga hukumannya bisa ditambahkan.
Ia sesalkan, ada pelaku yang ditangkap melakukan pengeboman ikan dan dihukum setahun penjara. Kapal dan alat tangkapnya pun dikembalikan bukan dimusnahkan.
Dia sebutkan pelaku pengeboman ikan asal Kabupaten Flores Timur biasanya setelah tertangkap dan dihukum, ketika keluar penjara tidak melakukan aksi pengeboman ikan lagi.
“Aktifitas pengeboman ikan tetap ada dan pergerakannya terus berlangsung. Kami harus melakukan pengetatan pengawasan karena bahan bakunya berasal dari luar Kabupaten Flores Timur,” ucapnya.
baca juga : Pengeboman Ikan Terus Terjadi di Flores. Perlukah Pengawasan Diperketat?
Dus sebutkan, untuk wilayah Kabupaten Flores Timur, Tim Patroli Laut sangat solid dan melibatkan Polair Polda NTT, Lanal Maumere, Satwas SDKP Flotim, WCS dan Dinas Perikanan Flotim.
Dia mengaku peran kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) sangat besar dalam memberikan informasi mengenai adanya aktifitas penangkapan ikan.
Ia katakan, kalau pengeboman di wilayah pesisir mudah dipantau dan ditangkap.Tetapi kalau di tengah laut dan di pulau-pulau kecil sulit sekali terpantau.
Saat ini, pelaku pengeboman ikan menggunakan taktik dengan memakai dua kapal ikan. Kapal pertama melakukan pengeboman lalu meninggalkan lokasi dan datang kapal kedua selang 15 menit kemudian memilih ikan hasil pengeboman.
“Sering nelayan membuang bom ke laut ketika melihat ada patroli. Meskipun mencurigai, kami tidak bisa melakukan penangkapan karena barang bukti bom dan ikan hasil pengeboman tidak ditemukan,” ucapnya.
Peralihan Alat Tangkap
Ketua Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Universitas Nusa Nipa (Unipa) Maumere, Yohanes Don Bosco R. Minggo, S.Pi. M.Si kepada Mongabay Indonesia, Kamis (17/6/2021) juga menyesalkan maraknya pengeboman ikan.
Rikson sapaannya mengatakan aturan hukum mengenai kelautan di Indonesia salah satunya adalah Undang-Undang Perikanan No.31/2004 yang diubah menjadi UU No.45/2009 tentang Perikanan.
Peraturan mengenai perikanan tersebut memiliki tujuan dan manfaat yang sangat besar bagi kondisi perikanan di wilayah negara Indonesia dalam rangka pembangunan dan peningkatan taraf hidup bagi masyarakat.
Akan tetapi implementasi UU Perikanan itu belum tentu dilakukan oleh masyarakat karena pada kenyataannya masih banyak nelayan yang melakukan kegiatan pemboman ikan.
“Hal ini menandakan kesadaran hukum nelayan masih sangat kurang. Oleh karena itu, pemerintah selaku penegak hukum melakukan berbagai upaya guna meningkatnya kesadaran hukum,” tegasnya.
perlu dibaca : Hanya Sepekan, 9 Nelayan Pengebom Ikan Asal Sikka Ditangkap. Kenapa Kian Marak?
Rikson menyebutkan kesadaran hukum bagi masyarakat biasanya dilakukan dengan cara pembinaan kesadaran hukum melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan dan bantuan hukum.
Berkaitan dengan penangkapan oknum yang membuat dan menjual detonator dari Maumere, Rikson katakan merupakan bagian dari tindak pidana dan dampak pengeboman sangat menghancurkan biota laut.
“Perakit dan penjual detonator sesuai dengan Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, ancaman pidananya penjara paling lama seumur hidup,” ucapnya.
Rikson meminta perlu adanya tindakan tegas terhadap perakit dan penjual detonator sehingga memiliki efek jera. Bila kesadaran muncul, nelayan dapat menahan diri dan tidak menggunakan alat atau bahan peledak yang dapat merusak ekosistem laut kita saat menangkap ikan.
Ia tegaskan, solusi untuk mengatasi persoalan pemboman ikan bisa juga dlakukan dengan cara peralihan alat tangkap bagi nelayan. Menurutnya, saat ini alat tangkap hand line tuna sangat menjanjikan dimana hasil tangkapan ikan tuna memiliki nilai ekonomis tinggi.
“Pasar atau pembeli tuna di beberapa kabupaten saat ini sudah ada sehingga hasil tangkapan dapat dijual langsung kepada pihak pembeli,” terangnya.
Rikson sebutkan, berdasarkan hasil penelitian tentang nelayan hand line ditemukan fakta bawa dalam sehari nelayan bisa mengantongi uang Rp1 juta hingga Rp3 juta.
Menurutnya,alat tangkap hand line tuna tentunya bisa membantu masyarakat dari sisi pendapatan sehingga nelayan tidak berpikir untuk menggunakan alat tangkap yang dilarang seperti penggunaan bom.