- Potensi penerimaan pajak sawit menurut KPK sampai Rp40 triliun. Realisasi jauh dari itu, bahkan penerimaan tertinggi dari industri yang sebagian menggasak 3,28 juta hektar kawasan hutan itu cuma Rp21 triliun pada 2015. Ada apa?
- Dalam perhitungan Ditjen Pajak, potensi penerimaan pajak yang hilang di sektor usaha sawit paling sedikit Rp22,83 triliun per tahun.
- Irawan, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak, mengatakan, dari lapangan, mereka menemukan kebun diduga tak dilaporkan dengan benar, atau sama sekali tak dilaporkan. Ada juga perusahaan yang melaporkan luas kebun, tetapi tidak kebun-kebun di luar izin, misal, kemitraan dengan koperasi.
- Temuan KPK ini merupakan petunjuk. Dewi Sulaksminijati, Kepala Sub Direktorat Advokasi Direktorat Peraturan Perpajakan II, mengatakan, kini bersama KPK mereka membentuk tim diawali kerjasama Direktur Jenderal Pajak dan Pahala Nainggolan selaku Deputi Pencegahan KPK pada 9 Maret 2021.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut potensi penerimaan pajak sektor sawit bisa sampai Rp40 triliun. Realisasi jauh dari itu, bahkan penerimaan tertinggi dari industri yang sebagian menggasak 3,28 juta hektar kawasan hutan itu cuma Rp21 triliun pada 2015.
“Kami sebenarnya mau mematangkan lagi barang lama ini,” kata Yon Arsal, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta, 14 Oktober 2021.
Saat itu, Yon ditemani Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Publik Yustinus Prastowo; Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak, Irawan; Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Ditjen Pajak, Ihsan Priyawibawa, dan Kepala Sub Direktorat Advokasi Direktorat Peraturan Perpajakan II, Dewi Sulaksminijati.
Dalam perhitungan mereka, kata Yon, potensi penerimaan pajak yang hilang di sektor usaha sawit paling sedikit Rp22,83 triliun per tahun.
“Mengapa ini terjadi? Mengurusi kebun ini, mengurus ekosistem besar. Pajak itu bagian hilir dari sebuah ekosistem, tergantung dari data, dan merupakan post transaction. Jika terjadi transaksi baru kami verifikasi,” katanya.
Soal potensi penerimaan PBB perkebunan sawit, kata Yon, isunya memang masih banyak kebun-kebun tak didaftarkan sebagai kebun.
Senada dikatakan Irawan. Dia mengatakan, ada masalah data. Ada lahan tak terlapor sebagai PBB perkebunan, tetapi PBB perkotaan dan pedesaan yang merupakan domain pemerintah daerah. “Atau mungkin tidak dilaporkan juga.”
Dari lapangan, mereka menemukan kebun diduga tak dilaporkan dengan benar, atau sama sekali tak dilaporkan. “Ada juga perusahaan yang melaporkan luas kebun, tapi tidak kebun-kebun di luar izin, misal, kemitraan dengan koperasi…”
Dia berharap, ada satu peta hingga ada satu data pijakan hingga bisa memitigasi hal seperti ini.
Seri sawit di kawasan hutan: Gelap Pajak di Kebun Sawit
Dari sisi modus beberapa perusahaan, kalau pengalaman Irawan, umum lakukan itu. Terlebih lagi, minyak sawit ini produk internasional hingga banyak pasar ekspor. “Hingga transfer pricing ada banyak isu juga. Tax avoidance… Orang bayar pajak pengen rendah.”
Masalah-masalah ini, katanya, sudah lama ingin diperbaiki dalam program koordinasi dan supervisi KPK. Satu hasil korsup ini, katanya, soal kajian potensi pajak sawit Rp40 triliun.
“Kalau dulu KPK mencoba menjadi institusi yang ingin memperbaiki ekosistem industri sawit. Mulai dari perizinan buka lahan, sampai perizinan usaha, dan penatakelolaan produksi. Kami juga diajak sejak 2015 itu untuk ikut di bagian hilir, yaitu bagian pemajakan,” katanya.
Temuan KPK ini merupakan petunjuk. “Tapi nanti harus kami tes secara individual (wajib pajak), supaya nanti ujungnya menghasilkan berapa pajak yang kurang dibayar,” katanya.
Seri sawit di kawasan hutan: Jejak Sawit Gelap di Pasar Global
Dewi Sulaksminijati mengatakan, kini bersama KPK mereka membentuk tim diawali kerjasama Direktur Jenderal Pajak dan Pahala Nainggolan selaku Deputi Pencegahan KPK pada 9 Maret 2021.
“Pertemuan kami rutin seminggu-dua minggu sekali. Kami terus validasi dan sinkronisasi data apa yang ada di KPK dan DJP,” katanya.
Mengenai potensi pendapatan dari pajak sawit sampai Rp40 triliun, yang merupakan hasil data tutupan sawit, kata Dewi, situasi akan berbeda di lapangan.
“Satelit enggak bisa melihat. Kalau DJP melihat dari data mikro, individual, data yang disampaikan oleh wajib pajak kepada kami. Di situlah kami sudah melakukan pertukaran data, dan dalam proses sinkronisasi data,” katanya.
Dengan informasi temuan Korsup KPK ini, katanya, ada wajib pajak yang perlu jadi sorotan. “Itu akan jadi bagian kerjasama kami untuk bisa menemukan, yang pas itu angkanya berapa kurang bayarnya.”
Kantor Wilayah DJP Riau telah mengajukan tiga perusahaan untuk diperiksa pusat. Dewi membenarkan soal tiga wajib pajak badan yang mendapat perhatian khusus itu.
“Saat ini penelitian lebih dalam. Kami belum bisa informasikan. Beberapa wajib pajak juga sudah jadi analisa kami. Saat ini kami fokus ke beberapa wajib pajak, cek acak.”
*Laporan seri pertama tim kolaborasi riset dan peliputan Mongabay Indonesia, Tempo, Betahita, dan Auriga Nusantara mengenai pajak dan pasar sawit ini terselenggara atas dukungan Perkumpulan Prakarsa, Eyes on the Forest, Jikalahari, dan Greenpeace Indonesia.
*****