- Proses pembukaan lahan oleh masyarakat di Manuhing Raya, Gunung Mas, Kalimantan Tengah, masih menggunakan cara manual [tebas, tebang, potong, dan bakar].
- Aturan mengenai larangan dengan cara membakar lahan sebelum ditanam, menjadi masalah utama bagi masyarakat Dayak di Manuhing Raya.
- Dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja pasal 22 angka 24 secara tegas melarang pembukaan lahan dengan membakar hutan/lahan. Namun, ketentuan tersebut dikecualikan bagi masyarakat yang sungguh-sungguh memperhatikan kearifan lokal di wilayahnya. Luasan yang diizinkan adalah dua hektar setiap kepala keluarga.
- Jaya S Monong, Bupati Gunung Mas, berjanji mendukungan petani kembali berladang tanpa terkendala aturan.
Panas menyengat tidak menyurutkan semangat warga Manuhing Raya, Gunung Mas, Kalimantan Tengah, memeriahkan Hari Tani 2022 di lapangan Desa Tumbang Oroi, Jumat [24/09/2022]. Temanya, “Malan itah besuh dia malan itah deruh” yang secara filosofis berarti bertani kita teguh tidak bertani kita runtuh.
Aturan mengenai larangan dengan cara membakar lahan sebelum ditanam, menjadi masalah utama masyarakat Dayak. Mereka yang hidup dari pertanian ladang berpindah, tidak terbiasa mengandalkan pupuk kimia sintetis.
Dampaknya, tradisi bertani ladang pudar. Ketahanan pangan masyarakat runtuh, seiring banyaknya komoditas pangan lokal yang hilang.
Baca: Gairah Bertani Itu Muncul Kembali
Bertahan hidup dari ladang
Proses pembukaan lahan di Manuhing Raya masih menggunakan cara manual [tebas, tebang, potong, dan bakar]. Tradisi yang dikenal handep hapakat yaitu warga saling membantu bergantian.
“Biasanya, kalau saya tanam satu bulek [kurang lebih 10 kg] akan menghasilkan 10 bulek. Itu untuk setengah hektar,” kata Yurti, petani Desa Samui, Manuhing Raya.
Yurti merupakan perempuan peladang yang masih bertahan.
“Kalau tidak menanam, semua kebutuhan beli dari luar. Dalam tradisi berladang Dayak, padi ditanam dari semua jenis, termasuk padi bukit dan rawa [bukan gambut]. Setelah panen, lahan bekas padi ditanami umbi-umbian,” ujarnya.
Meriwati [50], warga Desa Luwuk Tukau, Manuhing Raya, mengaku masih memiliki keinginan berladang.
“Tahun 2013, ketika ada larangan menebang dan membakar lahan, kami tidak berani lagi berladang. Takut sekali,” jelasnya.
Perekonomian keluarga merosot. Untuk menopang kebutuhan keluarga [tujuh anak], suaminya bekerja menjadi buruh bangunan. Merawati sendiri bekerja menyadap karet, namun harganya masih rendah.
“Hal yang membuat kami bertahan, saat ini ada program Borneo Institute [Bit] untuk membuat kebun tanaman di pekarangan menggunakan polybag. Kebun ini dikerjakan secara kelompok oleh para perempuan di setiap desa dampingan,” jelasnya.
Baca: Begini, Cara Masyarakat Kalimantan Tengah Antisipasi Kebakaran Hutan
Jaya S Monong, Bupati Gunung Mas, berjanji mendukungan petani kembali berladang tanpa terkendala aturan.
“Kita akan duduk bersama, mencari solusi agar tidak saling menyalahkan,” ujarnya di kegiatan tersebut.
Dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja pasal 22 angka 24 secara tegas melarang pembukaan lahan dengan membakar hutan/lahan. UU tersebut sebagai pengganti UU PPHL Nomor 23 Tahun 2009. Namun, ketentuan tersebut dikecualikan bagi masyarakat yang sungguh-sungguh memperhatikan kearifan lokal di wilayahnya. Luasan yang diizinkan adalah dua hektar setiap kepala keluarga.
“Saya juga berjanji akan melakukan pengaspalan jalan antar-desa, memasang listrik, dan mempermudah proses pengajuan desa adat seperti yang diharapkan warga Manuhing Raya,” jelas Bupati.
Baca juga: Mangenta, Makanan Khas Kalimantan Tengah yang Ciptakan Rekor Nasional
Bank Benih
Bertempat di Desa Tumbang Oroi, bangunan terbuat dari kayu dengan model panggung, dalam lidah lokal disebut pasah binyi [rumah benih] disepakati sebagai bank benih warga Manuhing Raya.
“Ini inisiatif warga, semua benih milik mereka. Sistemnya, yang tidak punya benih bisa pinjam, bila pinjam sebotol dikembalikan dua botol atau lebih. Tukar pinjam benih dalam berladang Dayak sudah dilakukan sejak lama,” tutur Yenedi Jagau, Direktur Borneo Inatitute.
Bit bersama petani menggiatkan kembali pangan lokal. Tidak hanya padi [12 varietas], juga benih sayur lokal dikembangkan, seperti jagung, kacang, mentimun, talas, dan labu.
“Ada upaya literasi pertanian lokal di lingkup mereka.”
Sistem penyimpanan benih ini menggunakan pengukur suhu ruang. Benih dicatat berdasar nama latin, Bahasa Dayak, dan Bahasa Indonesia.
Yang menarik, transfer ilmu perladangan dan benih tidak hanya dilakukan antar-desa. Desa Kubung, pelestari pertanian ladang Dayak dari Kabupaten Lamandau, ikut menyumbang sebanyak 30 varietas benih padi.