- Ada rencana besar yang ingin dicapai oleh Pemerintah Indonesia dalam menjalankan pembangunan sektor maritim dan kelautan. Rencana itu dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) periode 2025-2045
- Agar rencana dan target bisa berjalan baik, Pemerintah diminta untuk tidak fokus pada penguatan keamanan laut saja untuk menuju 2045 sebagai perwujudan Visi Indonesia Emas. Namun juga, harus fokus pada penerapan ekonomi kelautan berkelanjutan
- Saat 2045 nanti, diharapkan produk domestik bruto (PDB) sektor maritim bisa berkontribusi pada ekonomi nasional dengan persentase mencapai 15 persen terhadap PDB nasional. Tentu saja, itu butuh banyak upaya dan dukungan banyak pihak untuk mewujudkannya
- Salah satunya, adalah masyarakat yang ada di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil (WP3K) yang diyakini sebagai garda terdepan dari penerapan tata kelola ekonomi kelautan yang berkelanjutan. Mereka harus bisa menjadi bagian utama dalam semua proses program ekonomi biru
Pembangunan sektor kemaritiman diharapkan tidak hanya mencakup pada segmen penguatan keamanan laut saja, namun juga fokus pada penerapan ekonomi kelautan berkelanjutan. Hal itu sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) periode 2025-2045.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa menyebut kalau upaya tersebut akan menjadi bukti bahwa sektor kemaritiman berperan penting dalam mencapai Visi Indonesia Emas 2045.
Merujuk pada RPJPN 2025-2045, sektor maritim tidak boleh hanya fokus pada pemanfaatan sumber daya alam untuk meningkatkan ekonomi nasional saja. Lebih dari itu, keberlanjutan sumber daya alam yang ada di laut juga harus menjadi perhatian utama.
“Saat ini, Indonesia sudah dalam jalan panjang untuk membangun ekonomi maritim yang pesat, memiliki kekuatan maritim yang kokoh, dan peradaban maritim yang kuat,” ungkap dia belum lama ini di Jakarta.
Akan tetapi, dengan fokus untuk membesarkan sektor maritim di masa mendatang, Indonesia ditantang untuk bisa menghadapi banyak persoalan. Misalnya, terus meningkatnya tekanan di wilayah perbatasan.
Kemudian, tantangan tata kelola kelautan; polusi, pencemaran, dan perubahan iklim; serta ketimpangan ekonomi antar wilayah Indonesia. Semua tantangan itu harus bisa dijawab dengan sangat baik di masa depan.
baca : Sulitnya Menjaga Kedaulatan dan Hak Berdaulat Negara di Laut Natuna Utara
Suharso Monoarfa menerangkan, jika semua berjalan baik, maka produk domestik bruto (PDB) maritim diharapkan bisa berkontribusi pada ekonomi nasional dengan persentase mencapai 15 persen terhadap PDB nasional. Capaian tersebut diharapkan terjadi pada 2045 nanti.
Agar pada 2045 bisa terwujud semua rencana dan harapan, sektor maritim harus bisa menentukan arah kebijakan pembangunan sejak dari sekarang. Caranya, dengan menjadikan ekonomi biru sebagai transformasi ekonomi, dan memperkuat ketahanan sosial budaya dan ekologi.
Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Mochammad Firman Hidayat pada kesempatan yang sama menyatakan kalau pelaksanaan ekonomi kelautan memerlukan kolaborasi dengan semua pemangku kepentingan.
Kolaborasi yang dimaksud, salah satunya adalah melalui kelompok kerja Blue Innovations yang menjadi bagian dari National Blue Agenda Actions Partnership (NBAAP). Dengan demikian, akan terjadi peningkatan kapasitas, mempromosikan inovasi, dan memastikan inklusivitas gender dalam industri berbasis laut.
“Dengan fokus pada mata pencaharian, pekerjaan, pendidikan, dan partisipasi yang adil bagi semua pemangku kepentingan untuk mempertahankan persyaratan pembangunan ekonomi biru,” jelas dia.
Langkah tersebut selaras dengan upaya mendorong pembangunan kelautan yang berkelanjutan dalam ekonomi biru. Proses tersebut akan memerlukan komitmen Negara untuk memperkuat kapasitas dalam pengelolaan, pemanfaatan, dan inovasi sumber daya berbasis laut yang berkelanjutan
“Melalui ilmu pengetahuan, teknologi, dan digital transformasi seperti yang tercantum dalam NBAAP,” tambah dia.
baca juga : Meluruskan Kembali Konsep Ekonomi Biru di Indonesia
Firman mengatakan, selain aspek keberlanjutan, pembangunan ekonomi kelautan juga harus memperhatikan aspek keadilan. Hal itu, agar semua kepentingan masyarakat bisa dirangkul, utamanya mereka yang bergantung pada sumber daya kelautan untuk keberlangsungan hidup.
Dia menyebut, NBAAP adalah kemitraan yang memiliki tujuan bersama untuk mempercepat target pembangunan kemaritiman (blue agenda) di semua negara yang terlibat. NBAAP menjadi kolaborasi antara Indonesia, badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan mitra pembangunan.
Terdapat empat target utama NBAAP dalam RJPN 2025-2045. Pertama, kesehatan yang mencakup enam target, pangan dengan lima target, inovasi dengan dua target, dan keuangan dengan empat target.
Dari semua target, ada prioritas utama yang dijalankan dalam rencana aksi NBAAP. Namun, dari semua prioritas utama, ada sembilan poin yang tidak memiliki program. Semuanya masuk dalam empat target utama NBAAP, yaitu kesehatan biru, pangan biru, inovasi biru, dan keuangan biru.
Rinciannya, pada kesehatan biru, ada dua yang tidak masuk program, yaitu memperbaiki kondisi dan hak masyarakat pesisir yang terpinggirkan; dan menginvestigasi fenomena yang berkaitan dengan kesehatan laut dan manusia.
Pangan laut, ada prioritas utama untuk membatasi batas maksimal ikan yang ditangkap dengan mengatur kuota penangkapan ikan dan kapal. Inovasi biru, mempercepat pengembangan SDM; meningkatkan keterampilan tenaga kerja; mengadopsi dan mengintegrasikan teknologi canggih; dan meningkatkan kapasitas penelitian.
Terakhir, keuangan biru yang memiliki prioritas utama untuk mempromosikan keuangan inovatif sebagai adaptasi & mitigasi perubahan iklim laut; dan dukungan keuangan untuk kegiatan ekonomi produktif di laut.
perlu dibaca : Membumikan Ekonomi Biru di Asia Tenggara
Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Yusuf memaparkan, merujuk pada RJPN 2025-2045, terdapat agenda lima, yaitu memantapkan ketahanan sosial, budaya, dan ekologi.
Agenda tersebut berkaitan erat dengan kelompok masyarakat; lingkungan hidup; ketahanan energi, air, dan kemandirian pangan; serta resiliensi terhadap perubahan iklim. Poin yang disebut terakhir, bisa terjadi pada perairan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) karena rentan terhadap perubahan iklim.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada kerangka kebijakan ekonomi biru pada sektor kelautan dan perikanan. Kebijakan tersebut menjadi bagian dari RJPN 2025-2045 yang mendorong sektor maritim dan kelautan bisa berkembang lebih jauh lagi.
Melalui ekonomi biru, dia menyebut kalau Indonesia berkesempatan untuk mewujudkan kelestarian laut dengan cara melindungi laut dan sumber dayanya, sehingga bisa mengurangi tekanan dari perikanan.
Masyarakat Pesisir
Salah satu pihak yang akan berkontribusi besar dalam upaya mewujudkan semua target pada RJPN 2025-2045, adalah masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain masyarakat biasa, ada juga masyarakat hukum adat (MHA) yang terlibat.
Kontribusi tersebut bisa muncul, karena masyarakat pesisir selama ini terbiasa memanfaatkan sumber daya kelautan dan perikanan sebagai penunjang ekonomi, memanfaatkan ruang laut sebagai tempat berusaha/berkegiatan, dan sebagai tempat tinggal/permukiman.
Oleh karena itu, kehadiran masyarakat pesisir bisa berperan penting untuk pengelolaan kelautan yang berkelanjutan. Mereka terlibat dalam pengelolaan, pemanfaatan, pendataan, dan penilaian. Itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo UU 45/2009 tentang Perikanan.
baca juga : 1001 Cerita Duka Masyarakat Pesisir
Sementara, pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan juga memberi manfaat bagi MHA melalui lingkungan, yang bisa memfasilitasi pengakuan dan perlindungan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (WP3K).
Yusuf menambahkan, manfaat lainnya dari pengelolaan kelautan berkelanjutan oleh MHA, adalah ekonomi. Manfaat tersebut akan memicu terjadinya penguatan MHA di WP3K. Hal itu akan mendorong MHA menjadi lebih kuat, sejahtera, dan mandiri.
Untuk itu, dia menilai perlu ada komitmen dari Negara dan para pihak terkait untuk mewujudkan pengelolaan kelautan dan sumber dayanya berkelanjutan. Komitmen itu, utamanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui ekonomi biru.
Kemudian, perlu adanya peningkatan sarana dan prasarana untuk menerapkan ekonomi biru, dan kebutuhan dasar lain yang dibutuhkan masyarakat di pesisir. Juga, melaksanakan penyadartahuan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM), akses ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), dan informasi pengetahuan untuk penerapan ekonomi biru.
Selain itu, Yusuf menyebut, diperlukan juga pengadaan sarana transportasi, infrastruktur, dan sarana penunjang lain. Dengan demikian, akan terwujud optimalisasi akses pasar, permodalan, kemitraan, lapangan pekerjaan, dan jejaring untuk pengembangan usaha, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Besarnya potensi ekonomi dari sektor maritim dan kelautan, ditegaskan oleh Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI). Mereka menyebut, potensi aset ekonomi kelautan di dunia saat ini mencapai angka USD24 triliun.
Angka tersebut, berasal dari hitungan potensi pada kelautan dan perikanan, mangrove, terumbu karang, dan lamun; jalur pelayaran; garis pantai yang produktif; dan penyerapan karbon. Dari semua potensi tersebut, Indonesia menjadi negara banyak potensi.
Tetapi, CEO IOJI Mas Achmad Santosa mengingatkan kalau besarnya potensi aset ekonomi kelautan dan maritim di dunia, juga Indonesia, saat ini menghadapi tantangan yang hebat dari segala persoalan yang terjadi di laut.
“Laut sedang bermasalah saat ini,” ungkapnya.
perlu dibaca : Nelayan Kecil di Pusaran Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur
Selain persoalan kesehatan di laut, ada juga bentuk ketidakadilan yang akan terjadi jika ekonomi biru tidak memperhatikan keadilan laut. Total ada 10 poin yang dibagi menjadi tiga kelompok utama, berdasarkan persoalannya.
Kelompok pertama, adalah akses tenurial, hak lingkungan, dan akses pemanfaatan sumber daya laut. Kedua, akses distribusi manfaat, terutama bagi kelompok marginal, termasuk perempuan dan masyarakat adat.
Ketiga, adalah akses ke partisipasi penuh masyarakat. Biasanya, ketidakadilan ini sering kali terwujud karena keterlibatan masyarakat kurang difungsikan selama proses pengambilan keputusan strategis dan berkaitan dengan tata kelola.
Untuk itu, Mas Achmad Santosa mengatakan kalau konsep kelautan berkelanjutan dan berkeadilan sangat penting untuk dimasukkan ke dalam berbagai kebijakan dan perencanaan pembangunan, khususnya terkait pengelolaan sumber daya laut.
Dengan kata lain, RPJPN 2025-2045 dan RPJ Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 dinilai harus bisa mengakomodasi tiga prinsip utama tentang ekonomi kelautan yang berkelanjutan, yaitu perlindungan efektif, pemanfaatan berkelanjutan, dan kesejahteraan yang berkeadilan.
“RPJPN 2025-2045 dan RPJMN 2025-2029 perlu memberikan definisi atas konsep ekonomi biru yang mengadopsi konsep strong sustainability dengan memprioritaskan konsep keadilan laut,” tegasnya.