- Imam Dayak, Penggagas Perpustakaan Alam Malabar, membagikan buku dan literasi agar merawat generasi petani untuk terus bertani.
- Dengan serba kekurangan, Dayak mengumpulkan buku untuk program misi sosial “Mengayuh ke Timur” ke Indonesia bagian timur.
- Di ruang literasi yang digagas sejak 2018, Dayak membuat semacam arboretum berbagai tanaman untuk mengenalkan pangan lokal dan kegiatan bertani.
- Di hari Disabilitas Internasional pada 3 Desember nanti, dia akan kembali mengayuh untuk membagikan buku dan mereka perubahan iklim pada anak di sepanjang Pantai Utara Jawa hingga Lombok.
Usianya baru beranjak 28 tahun. Namun, Imam Sulaiman, punya keinginan menjaga tradisi ala keluarga tani.
Mencangkul, menanam, dan menuai benih kehidupan adalah keyakinan yang ingin dipertahankan. Ditengah minat anak muda terhadap sektor pertanian sudah mulai meredup di negeri agraris ini.
Setidaknya, kehadiran Perpustakaan Alam Malabar menjadi pelita. Berdiri di lahan milik orang tua Dayak, sapaan Imam, dia membikin semacam arboretum kecil supaya anak petani tetap menjadi petani atau paling tidak punya keahlian bertani.
“Saya merasa pilu jika di antara keluarga petani tak ada yang melanjutkan usaha tani,” kata pria berambut gondrong saat ditemui di Kampung Sukanagara, Desa Mekarsari, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
Kegusaran Dayak cukup bisa dimengerti. Berdasarkan data Sensus Pertanian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2013 lalu, jumlah petani di Indonesia mencapai 26,13 juta orang. Jumlah itu menurun dari sensus awal tahun 2003 yaitu 31,7 juta orang.
Artinya, terjadi penurunan petani sebesar 5,04 juta orang atau ada penurunan 1,75 persen per tahun. Namun, hingga Februari 2023, data BPS belum menerbitkan laporan terbaru perihal jumlah orang yang masih menekuni profesi petani. Padahal, sensus pertanian ini digelar 10 tahun sekali.
Tren generasi milenial untuk bekerja pada sektor pertanian memang terus menurun setiap tahunnya. Hal ini jelas menjadi alarm. Terhambatnya regenerasi petani bakal berdampak bagi masa depan kedaulatan pangan. Begitu kira-kira yang dipikirkan Dayak.
baca : Belajar Literasi dan Ekologi di Gubuk Baca Lereng Busu
Dia pikir dengan mengedukasi anak-anak sekolah dapat menciptakan daya tarik terhadap pertanian. Setidaknya untuk bisa melawan realita bahawa lulusan sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menegah atas (SMA), lebih memilih hijrah ke kota dan bekerja sebagai buruh daripada menggarap lahan milik orang tuanya.
“Saya kumpulkan buku-buku untuk melengkapi literasi tentang pertanian, tapi tidak ada yang datang ke perpustakaan,” ujarnya.
Merasa putus asa, Dayak memutuskan untuk menyalurkan buku-buku itu ke Timur. Niat itu muncul setelah mengunyah informasi ihwal minimnya pendidikan di sana.
Tahun 2019, terkumpul akhirnya 7.500 buku hasil ngamen buku dari komunitas ke komunitas. Jumlah itu lebih sedikit dari target 10.000 buku.
Butuh waktu 2 tahun menyelesaikan misi sosial yang dinamai “Mengayuh ke Timur” ini dengan bersepeda. Alasan memilih sepeda sebenarnya pilihan realistis karena ketiadaan biaya, katanya.
Akan tetapi dari situ ada keberkahan. Mengenal banyak pelajaran hidup dan melahirkan pertemanan adalah sesuatu yang mewah untuk ditampikan.
Dan melalui komunitas lokal yang ditemui selama mengayuh, buku-buku itu sudah dibagikan ke Karimun, Kalimantan, Bali dan Lombok. Kebanyak anak-anak putus sekolah yang menerima manfaat dari itu.
Di kandang ayam yang diubah jadi ruang kreatif, terpampang 75 foto yang merekam perjalanan melewati tempat-tempat bukan dari kacamata orang-orang kota. Foto-foto itu cukup mampu menyuarakan kondisi anak-anak pinggiran. Ada ironi di sana. Terlebih tentang ketimpangan pendidikan yang nyata adanya.
baca juga : Mereka Perempuan Pejuang Pangan Hebat Indonesia
Keterbatasan Menembus Batasan
Dayak mengaku kepedulian itu makin tumbuh ketika mengalami penurunan fungsi indra. Dayak sedikit kesulitan mendengar. Dalam berkomunakasi, dia kadang perlu merapalkan kata-kata yang keluar dari mulut orang lain agar memahami maksudnya.
Akan tetapi keterbatasan itu tidak menjadi batu sandungan yang berarti. Ide kreatif muncul dari keheningan dunia yang tak didengar. Kampanye main di sungai, jelajah sumber mata air dan barter bibit dengan buku, semua itu dibikin atas dasar cinta dan sikap egaliternya.
Terbaru, Dayak mengagas “markibun”. Singkatan dari mari berkebun tiap satu minggu sekali. Kegiatan semacam ini kerap dibagikan melalui kanal media sosial miliknya.
Di lahan sekitar 240 tumbak atau 3.360 meter persegi, sudah ditanami ragam tanaman seperti jambu air, kopi, gamelina, sawo, ketapang, alpuket, sirsak, mangga, dan mahoni sejak 5 tahun lalu. Ada juga tanaman obat dan bunga-bungaan untuk racikan minuman atau makanan herbal.
Dayak pernah mencoba mengenalkan metode ladang ke piring. Gerakan kemandirian pangan ini dikampanyekan agar anak muda lebih memahami bagaimana proses menikmati makanan itu yang tidak mudah. Terlebih sikap acuh generasi milenial terhadap sektor pertanian. Padahal situasi ini dapat memberikan efek domino yang cukup besar.
“Saya pernah membuka olahan pangan lokal, tapi tidak cukup berhasil dipasarkan,” tuturnya.
Tapi memng sulit membuat orang untuk percaya bahwa ke depan harus sudah memiliki perspektif bahwa ekologi bumi sudah berubah.
Apalagi sepengalaman Dayak, generasi muda saat ini yang buta huruf bukanlah mereka yang tidak bisa baca tulis, melainkan mereka yang tidak bisa belajar, menyampaikan pikirannya, dan kembali belajar.
Di Kabupaten Bandung, misalnya, terdapat 316.266 hektar potensi lahan pertanian. Ada sekitar 36.212 hektar merupakan lahan sawah, jika diasumsikan satu orang petani mampu mengerjakan hingga setengah hektar lahan setiap musim, maka akan ada 72 ribu kehilangan tenaga tani.
Kondisi ini tentu dapat berdampak pada penurunan produksi gabah. Jika setiap hektar lahan dapat memproduksi tujuh ton gabah, maka terdapat potensi sebesar 253 ribu ton gabah yang tidak dapat dipanen karena tidak adanya penggarap lahan.
baca juga : Raih Goldman Environmental Prize 2023, Delima Silalahi: Hak Tanah Adat Buah Perjuangan
Memupuk niat
Dayak kerap menerima sentimen dari apa yang dia rintis. Penyepelean lebih sering diterima lantaran hidupnya yang serba pas-pasan. Pun dengan pola pertanian yang digagasnya. Hasilnya baru cukup untuk menopang kebutuhan sehari-hari.
Apalagi selama menghidupi Perpustakaan Alam Malabar hanya mengandalkan relasi dari hasil kerja sosial. Kendati kondisinya demikian, dia menyadari itu. Tanpa dukungan materi, idenya seperti tidak punya kaki. Hanya sekedar pemikiran belaka.
“Untuk istiqomah kadang berat kalau tanpa ditunjang adanya sirkular ekonomi,” imbuh Dayak diiringi canda.
Seperti gaya anak milenial dalam berusaha, Dayak punya daya adaptasi yang patut diacungi jempol. Kini menjahit jadi rutinitas dan pelepur lara selama musim kemarau panjang yang membuat hampir separuh tanamannya mati kekeringan.
Dayak membikin tas sepeda berbahan cringkle. Dengan modal Rp500 ribu, mampu menghasilkan produk 100 tas dengan harga Rp50-100 ribu. “Menyambung hidup dari menjahit bisa dibilang nekat karena tak ada mentor,” ujarnya.
Cuan yang didapatkan, sepertiganya disisihkan untuk menopang kegiatan perpustakaan. Sepertiganya lagi ditabung untuk urusan mengayuh sepeda. Sisanya dipakai untuk keperluan sendiri.
baca juga : ‘Urban Farming’, Penuhi Pangan Sehat sekaligus Bantu Hadapi Krisis Iklim
Di Hari Disabilitas Internasional pada 3 Desember medatang, Dayak berencana memulai bersepeda kembali. Kali ini ingin merekam bagaimana perubahan iklim menerpa kaum pinggiran yang rentan di sepanjang Pantai Utara hingga Pulau Lombok di Nusa Tenggara Barat.
Berbekal pengalaman Desember 2022 lalu, saat Dayak turut serta dalam rombongan yang terlibat kampanye iklim bersama Greenpeace Indonesia dengan bersepeda Jakarta-Bali. Namun, kampanye itu urung finish di Bali karena mengalami penjegalan. Kampanye tersebut dianggap mengganggu ketertiban pertemuan negara-negara maju di forum G20.
“Sekarang mau mencoba lagi sebagai bagian dari menuntaskan hutang buku mengayuh ke timur empat tahun lalu. Mudah-mudahan bisa menyalurkan 2.500 buku,” ungkap Dayak.
Di ujung perbincangan, Dayak bercerita kegagalannya mendapat ijazah sekalipun dinyatakan lulus sebagai sarjana sosial di salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Bandung. Dia dianggap mengundurkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kemendikbud lantaran tidak menyusun skripsi. Padahal informasinya bisa diganti dengan kegiatan lain pengabdian atau penelitian.
Pas berada Negeri Hila, Maluku, kabar itu didapatkannya. Di saat matahari tergelincir membelakangi benteng Amsterdam, bekas gudang peninggalan Portugis mencari cengkeh dan pala.
“Padahal saya sudah membikin secuil riset perjalanan tentang involusi petani. Dimana pertanian mengalami kemunduran karena petani hanya dipandang sebagai obyek penghasil pangan, bukan subyek bagaimana pangan itu diproduksi,” pungkas Dayak.
Ada nanar dari matanya. Tapi, katanya, manusia perlu terus berbaik dengan alam sebab saling membutuhkan. Oleh karena itu, hidup seperti naik sepeda: tak perlu cepat untuk terus bermanfaat. (***)