- Setengah dari Pulau Fau di Halmahera Tengah, Maluku Utara, masuk dalam konsesi tambang PT Aneka Niaga Prima (ANP).
- Warga Gebe, Halmahera Tengah, menolak IUP PT ANP karena khawatir akan merusak ekosistem dan biota laut di Pulau Fau.
- Pulau Fau memiliki peran penting sebagai benteng perlindungan ekosistem dan biota laut, serta perisai arus dan gelombang di laut Pulau Gebe.
- IUP PT ANP dianggap melanggar Undang-undang No.1/2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.27/2007 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil dan Pesisir. Warga mendesak pemerintah mencabut IUP PT ANP dan melindungi Pulau Fau.
Pulau Fau di Kecamatan Pulau Gebe Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara berjarak 456 meter dari Pulau Gebe. Pulau Gebe sejak 1970-an telah ditambang PT Aneka Tambang. Pulau Fau seluas sekitar 900 hektar atau 9 kilometer sudah ada izin usaha pertambangan (IUP) sejak 2012. Dari luasan itu setengahnya masuk dalam izin konsesi tambang.
Meski aktivitas belum dilakukan, namun berbagai elemen masyarakat kuatir dan protes, jika IUP atasnama PT Aneka Niaga Prima (ANP) yang diterbitkan melalui SK Bupati Nomor 540/KEP/336/2012 itu beroperasi, akan menyebabkan kerusakan di pulau tersebut.
IUP yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah waktu itu, ditandatangani Bupati M Al Yassin yang saat ini menjabat sebagai Plt Gubernur Maluku Utara.
Sekadar diketahui Fau masuk kategori pulau kecil sesuai Undang-undang No.1/2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.27/2007 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil dan Pesisir.
Pada Pasal 23 ayat (1) Bab V Bagian Kedua UU itu menjelaskan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya.
Pada ayat (2) disebutkan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan, a. konservasi; b. pendidikan dan pelatihan; c. penelitian dan pengembangan; d. budidaya laut; e. pariwisata; f. usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari; g. pertanian organik; dan/atau h. peternakan. Tidak ada ayat menyebutkan diperbolehkan untuk pertambangan.
Baca : Desa Haya Bisa Hilang Kalau Tambang Pasir Garnet Terus Beroperasi
Sementara berdasarkan data Kementerian ESDM melalui Minerba One Map Indonesia, IUP yang statusnya operasi produksi ini memiliki luasan konsesi mencapai 459,66 hektar. Artinya sudah setengah lebih pulau Fau ini dikuasai dan akan ditambang dengan izin yang berlaku hingga 24 Desember 2032.
Hal ini memantik reaksi sejumlah pihak di Gebe, Halmahera Tengah, karena kuatir ancamannya sangat serius. Pulau Fau bagi mereka memiliki peran sebagai benteng perlindungan ekosistem dan biota laut yang dilindungi dan terpelihara sejak dulu. Selain sebagai pelindung ekosistem dan biota laut, karena berada tepat di depan pelabuhan perikanan dan pelabuhan fery di Pulau Gebe, juga menjadi perisai arus dan gelombang yang terkadang tinggi di laut Pulau Gebe.
Ahmad Ahlada, Koordinator Forum Alumni SMA Gebe Lintas Angkatan mewakili warga Gebe bersama para alumni menyatakan menolak IUP PT ANP untuk menambang di Pulau Fau ini.
“Dari dulu semua pihak di Gebe tidak setuju Pulau Fau dieksploitasi. Dengan segala hormat IUP ini harus di cabut,” tulisnya dalam rilis yang diterima Mongabay, Minggu (24/3/2024).
Senada, Haris Bawan juga dari Forum Alumni menyampaikan bahwa Fau melindungi ekosistem dan perkampungan di Selatan Pulau Gebe. Seperti Kapalo, Desa Kacepi dan Yam.
“Jika Pulau Fau dieksploitasi, semua biota laut dan ekosistem yang tersisa akan rusak. Begitu juga keindahan Pulau Fau akan hilang. Karena masalah ini kami seluruh alumni lintas angkatan, meminta IUP ini dicabut,” desaknya.
Baca juga : Gubernur Malut Terjerat Kasus Korupsi, Bos Tambang Nikel Pulau Obi Ikut Terseret
Pulau Fau juga menjadi pelindung Pulau Gebe saat musim angin utara atau warga Gebe menyebutnya moro sawi. Biasanya saat musim moro sawi yang datang awal Agustus sampai November, para nelayan Pulau Gebe berlindung di Pulau Fau. Jika perusahaan mengeksploitasi maka, masyarakat Pulau Gebe akan kehilangan tempat berlindung saat memancing.
“Fau bukan hanya daratan yang melindungi Pulau Gebe. Di sana banyak tempat keramat yang sering diziarahi tetua Pulau Gebe,” katanya.
Di pulau ini perusahaan yang coba mengeksploitasi pulau ini dari PT Antam Tbk, sampai saat ini ada bekas alat bor yang tidak bisa dicabut di atas pegunungan Pulau Fau. Jika hal tidak dipertimbangakan pemegang IUP, DPRD Halteng dan Pemprov Malut, maka perlu ada gerakan ritual bersama masyarakat di pulau Fau. “Nanti kita sesuaikan apa yang sudah disampaikan orang-orang tua dulu,” katanya.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Forum Studi Halmahera (Foshal) Julfikar Sangaji, bilang penambangan di pulau kecil tidak boleh dilakukan. Bertentangan dengan aturan yang berlaku. “IUP itu menabrak aturan yang tertuang dalam Undang-undang No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) terkait larangan aktivitas pertambangan mineral yang terkandung dalam Pasal 35 huruf K,” kata Julfikar. Karena itu, menurut Julfikar, izin penambangan nikel di atas Pulau Fau, Kepulauan Gebe, Halmahera perlu dibatalkan. Alasannya jelas selain fungsi layanan alam juga sebagai benteng warga sekitar.
“Pulau Fau luasanya di bawah 2000 km persegi, dengan demikian pemerintah harus mencabut izin usaha pertambangan nikel di atasnya,” jelasnya. Baginya jika ada penambangan di Pulau Fau akan menambah deretan kerusakan lingkungan pulau kecil di Maluku Utara. Sebelumnya Pulau Gebe yang berdekatan dengan pulau ini, dikeruk kurang lebih 40 tahun sejak tahun 1970-an .
“Pulau Gebe jadi contoh bagaimana tambang meluluhlantakkan pulau tersebut. Alih-alih pulau tersebut bebas dari aktivitas tambang. Justru sampai saat ini terus dieksploitasi industri ekskraktif,” tutupnya.
Polemik IUP yang disuarakan sejumlah elemen di Halmahera Tengah itu, enggan ditanggapi Pemkab dan DPRD Halmahera Tengah. Kepala Bagian Hukum Pemkab Halmahera Tengah Anwar Nawawi dikonfirmasi enggan menjelaskan lebih detail masalah ini. Dikonfirmasi Senin (25/3/2024) via telpon, dia menyampaikan singkat bahwa perizinan itu sudah ada di pusat jadi bisa langsung ditanyakan ke Kementerian ESDM. Daerah tidak punya kewenangan lagi. “Itu semua jadi kewenangan pusat jadi nanti ditanyakan ke Kementerian ESDM biar clear,” kilahnya.
Sementara DPRD Halmahera Tengah yang dikonfirmasi terkait tugas pengawasan mereka enggan ditanggapi. Ketua DPRD Sakir H Ahmad dikonfirmasi via pesan WhatsApp Minggu (24/3/2024), enggan menjawabnya meski pesan WA terbaca yang bersangkutan. Begitu juga ketua Komisi III DPRD Halmahera Tengah Aswar Salim yang dikonfirmasi juga sama enggan memberi tanggapan meski pertanyaan yang diajukan sempat dibaca.
Sekadar diingatkan, IUP PT ANP di kabupaten Halmahera Tengah itu juga masuk 13 IUP yang diusulkan pembatalannya oleh Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba ke Kementerian ESDM Februari 2022 lalu. Hanya saja Pengacara Pemkab Halmahera Tengah kala itu, Hendra Karianga bersama Kepala Bagian Hukum Setda Halteng Ridwan Muhammad yang menghadiri pemeriksaan di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri yang menyelidiki usulan pembatalan yang diajukan Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba kala itu, menyampaikan bahwa dokumen IUP PT ANP di Halteng telah memenuhi persyaratan.
Hal ini berdasarkan hasil kajian hukum bahwa kedua perusahaan benar-benar teregistrasi di Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah. “Pengajuan izinya sesuai tahapan, sehingga tidak ada alasan Gubernur mengusulkan pembatalan IUP itu,” kata Hendra Karianga kepada media kala itu. Seperti diketahui kasus 13 IUP oleh Mabes Polri ini, penyidik pernah memeriksa dan mengambil keterangan mantan Bupati Halteng Edy Langkara diwakili kuasa Hukum Hendra Karianga dan Kepala Bagian Hukum Setda Halteng Ridwan Muhammad kala itu. (***)
Dampak Pertambangan bagi Masyarakat Pesisir: Harapan atau Ancaman?