- Pemerintah Indonesia berencana mengembangkan industri perkebunan tebu jutaan hektar di Merauke, Papua Selatan. Proyek ini digadang-gadang untuk mendukung swasembada gula nasional dan bioetanol. Berbagai kalangan khawatir rencana ini berisiko menyengsarakan Masyarakat Adat Papua.
- Proyek pangan dan energi seluas 2 jutaan hektar ini masuk dalam proyek strategis nasional (PSN) sebagai lanjutan dari proyek pengembangan pangan skala besar (food estate). Nilai investasi proyek ini mencapai US$8 miliar, setara Rp130 triliun (asumsi kurs Rp16.252).
- Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, mengatakan, proyek pangan dan energi ini akan menjadi masalah baru Orang Asli Papua dalam mempertahankan tanah mereka. Terlebih, proyek ini masuk sebagai proyek strategis nasional PSN yang berisiko menafikan partisipasi rakyat dalam penentuan, persetujuan dan pelaksanaan PSN.
- Sri Palupi, Peneliti The Institute For Ecosoc Rights pun memprkirakan, proyek percepatan swasembada gula nasional dan bioetanol ini akan menciptakan kembali cerita kelaparan di tanah Papua. Proyek ini akan “membunuh” pelan-pelan Masyarakat Adat Papua.
Pemerintah Indonesia berencana mengembangkan industri perkebunan tebu jutaan hektar di Merauke, Papua Selatan. Proyek ini digadang-gadang untuk mendukung swasembada gula nasional dan bioetanol. Berbagai kalangan khawatir rencana ini berisiko menyengsarakan Masyarakat Adat Papua.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah membuat Satuan Tugas (Satgas) mempercepat proyek ini 19 April 2024. Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal jadi ketua satgas.
Proyek pangan dan energi seluas 2 jutaan hektar ini masuk dalam proyek strategis nasional (PSN) sebagai lanjutan dari proyek pengembangan pangan skala besar (food estate). Nilai investasi proyek ini mencapai US$8 miliar, setara Rp130 triliun (asumsi kurs Rp16.252).
Proyek ini terbagi dalam empat klaster, dan bakal ada lima konsorsium dalam negeri yang akan terlibat. PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) atau Sugar Co dan Wilmar Group bakal bergabung ke dalam konsorsium ini. Proyek ini bakal dikelola swasta dan BUMN.
Konsorsium itu akan membangun lima pabrik gula, lahan pabrik gula, sekaligus produksi bioetanol, kebun, dan pembangkit listrik dengan kapasitas 120 megawatt (120 MW). Akses jalan, pelabuhan, hingga bendungan akan ikut dibangun sebagai infrastruktur pendukung proyek ini.
Saat ini, proyek sudah mulai berjalan dan dalam tahap pembibitan awal seluas 120 hektar, dikembangkan PT Global Papua Abadi (GPA) dan PT Murni Nusantara Mandiri (MNM). Bibit tebu impor dari Australia, dan diperkirakan proses pembibitan perlu 11 bulan.
“Proyek ini berisiko mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan menggerus ruang hidup mereka,” kata Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, kepada Mongabay.
Proyek ini akan memperpanjang cerita konflik agraria di tanah cendrawasih.
Menurut Undang-undang Otonomi khusus Papua, semua Orang Asli Papua (OAP) merupakan masyarakat adat. Hampir seluruh sumber daya di hutan baik kayu maupun non kayu memberikan manfaat besar dalam kehidupan Orang Papua yang sebagian besar hidup bergantung hutan dengan berburu dan meramu. Kegiatan mereka hutan pun sudah sejak ratusan tahun lalu, sebelum ada negara.
Masyarakat adat di Papua memiliki pemikiran mendalam terkait hubungan dengan hutan. Bagi mereka, kata Angky, sapaan akrabnya, hutan tak hanya sebagai sumber pemenuhan kebutuhan jasmani, lebih dari itu, juga inspirasi budaya yang melahirkan ikatan-ikatan spiritual dan religi. Bagi Orang Papua, hutan adalah “ibu” yang jadi sumber penghidupan.
Meskipun demikian, katanya, kemegahan hutan alam Papua tidak pernah lepas dari ancaman deforestasi dan degradasi. Industri-industri ekstraktif berbasis lahan masif dan sistematis terus mengkonversi hutan alam dan menggerus kehidupan Orang Papua dari tanah mereka dan memicu konflik agraria.
Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut, 2015-2023, ada 2.939 letusan konflik mencakup 6,3 juta hektar lahan dan 1,759 juta keluarga menjadi korban di nusantara ini. Di Papua, ada 41 letusan konflik terjadi di 85.000 hektar lahan dan ada 83.000 keluarga jadi korban.
Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) pun menyebut, per 18 Maret 2024, setidaknya 241 peta wilayah adat total 12,2 juta hektar tersebar di lima provinsi di Papua. Baru 16 peta wilayah adat dengan 564.370 hektar baru dapat status pengakuan penetapan oleh pemerintah daerah.
Ironisnya, hutan adat di Tanah Papua oleh pemerintah pusat baru 39.841 hektar, tersebar di dua provinsi, Papua dan Papua Barat. Jadi, katanya, baru 0,3% dari wilayah adat di Tanah Papua ditetapkan Pemerintah Indonesia jadi hutan adat.
Menurut Angky, proyek pangan dan energi ini akan menjadi masalah baru Orang Asli Papua dalam mempertahankan tanah mereka. Terlebih, proyek ini masuk sebagai PSN yang berisiko menafikan partisipasi rakyat dalam penentuan, persetujuan dan pelaksanaan PSN.
Apalagi, katanya, skema PSN memasukkan semua kategori proyek bisnis termasuk bisnis pangan dan energi oleh swasta asing. Kondisi ini, katanya, akan menambah cerita perampasan tanah dan memperparah eskalasi konflik agraria akibat percepatan PSN di Papua.
Orientasi pengalokasian tanah semata untuk kemudahan investasi PSN itu yang diakomodir pemerintah melalui berbagai regulasi turunan UU Cipta Kerja. Misal, PP 42/2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional, PP 64/2021 tentang Bank Tanah; dan PP 19/2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Dia bilang, regulasi-regulasi itu mendiskriminasi hak konstitusional masyarakat, hingga memperlemah posisi masyarakat seperti petani dan masyarakat adat terkait hak atas tanah yang mereka kuasai, garap dan tempati.
Melalui UU Cipta Kerja dan ragam regulasi turunannya, menyebabkan perampasan tanah bekerja begitu cepat dengan dalih percepatan pembangunan. Pendeknya, proyek pangan dan energi di Papua Selatan ini sarat dengan wajah kekerasan.
“Kebijakan program dan peraturan sekarang cenderung mengabaikan hak-hak masyarakat adat, termasuk di Papua.”
Apa yang dikatakan Angky selaras dengan penelitian Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan FIAN Indonesia pada 2023 dengan judul “Biopolitik Food Estate dan Kerusakan Metabolik Alam-Manusia Papua”. Dalam penelitian itu menjelasan, pertanian skala luas berbasis tanah justru memperburuk kondisi pangan dan gizi Orang Asli Papua.
Penelitian itu mengambil studi kasus dari implementasi proyek bernama Lumbung Pangan Nasional yang berubah menjadi program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang. Yudhoyono (2009-2014). Atau sawah sejuta hektar ala Presiden Joko Widodo (2014-2015), serta food estate terkini yang berbasis komoditi jagung di dua kabupaten, yaitu, Keerom dan Boven Digoel, Papua.
Sepanjang lebih dari satu dekade, food estate dengan berbagai sebutan itu selalu menyasar tanah subur Papua untuk jadi lumbung pangan. Alih-alih menghasilkan banyak makanan dan kesejahteraan, proyek itu justru berkonsekuensi pada kekurangan gizi dan kemiskinan.
Perempuan, katanya, menjadi kelompok paling terdampak dari proyek ini.
Iwan Nurdin, dari FIAN Indonesia mengatakan, pertanian skala besar itu sudah terbukti hanya menguntungkan korporasi saja, dan memiskinkan masyarakat, khusus Orang Asli Papua.
Dalam penelitian Pusaka dan FIAN, katanya, food estate dengan berbagai sebutan sejak 2010 hingga sekarang tidak memberikan dampak positif menurunkan angka kemiskinan di tanah cendrawasih. Sebaliknya, sampai 2023, Papua terus menduduki peringkat pertama daerah termiskin di Indonesia.
Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 mendapati, angka stunting di Papua tertinggi ketiga dari seluruh provinsi di Indonesia (34,6%) atau 13% lebih tinggi dari angka rata-rata Indonesia (21,6%).
Dalam peta kerawanan pangan, Papua pun selalu berwarna merah dari tahun ke tahun.
Penelitian itu pun menyebut, perubahan bentang alam Papua menjadi perkebunan dan pertambangan secara cepat dalam 20 tahun terakhir menjadi penyebab utama angka kemiskinan dan stunting di tanah Melanesia ini berada di atas rata-rata nasional.
Alih-alih ketahanan pangan dan energi, kata Iwan, percepatan swasembada gula nasional dan bioetanol di Papua, justru hanya memfasilitasi korporasi rakus lahan.
Berdasarkan penelitian Lembaga Penerbangan dan Antariksa (Lapan) pada 2010, lahan yang ‘sangat sesuai’ ditanami tebu di Merauke hanya 127.800 hektar. Adapun lahan “cukup sesuai” untuk tebu juga hanya 398.000 hektar.
Sementara itu, luas lahan di Merauke yang sesuai tetapi marginal atau membutuhkan modal tinggi dan campur tangan pemerintah maupun swasta mencapai 1,59 juta hektar. Ada 11.870 hektar lahan tidak sesuai untuk ditanami tebu. Ini berarti hanya 25% dari 2 juta hektar lahan yang direncanakan cocok untuk ditanami tebu, sisanya berisiko gagal panen.
“Baiknya, pertanian-pertanian skala besar itu dihentikan,” kata Iwan.
Meski begitu, SGN, salah satu perusahaan yang akan ikut membangun perkebunan tebu skala besar di Papua Selatan menepis hasil penelitian Lapan itu. Perusahaan Sugar Co itu optimis proyek gula dan bioetanol tidak akan gagal seperti MIFEE pada 2010.
Aris Toharisman, Presiden Direktur Sugar Co mengatakan, kegagalan MIFEE akan jadi pembelajaran untuk mensukseskan proyek pangan dan energi itu. Dia bilang, dari 2 juta hektar lahan yang disiapkan untuk proyek swasembada gula dan bioetanol di Merauke, sekitar 50% atau 1 juta hektar khusus untuk tanam tebu.
Saat ini, katanya, pemerintah menyusun feasibility study (FS) agar proyek kebun tebu jutaan hektar di Merauke, itu bisa matang. Adapun lahan 1 juta hektar buat tanam tebu juga masih dikaji konsultan agar bisa mendapatkan angka produktivitas untuk penanaman tebu di lahan itu.
“Dahulu memang ada kegagalan dengan MIFEE, barangkali itu menjadi pembelajaran dari kegagalan kita, bagaimana sekarang kita harus menyiapkan jauh lebih baik lagi agar kegagalan ini tidak terulang,” kata Aris seperti dikutip di Bloomberg Technoz.
Sri Palupi, Peneliti The Institute For Ecosoc Rights pun memprkirakan, proyek percepatan swasembada gula nasional dan bioetanol ini akan menciptakan kembali cerita kelaparan di tanah Papua. Proyek ini akan “membunuh” pelan-pelan Masyarakat Adat Papua.
Terlebih lagi, katanya, proyek ini sudah berlabel PSN yang akan menghilangkan dengan paksa partisipasi masyarakat dan menganggap hutan adat itu tanah kosong. Dampak lanjutan, katanya, akan terjadi krisis pangan hingga memicu kelaparan, bagi Orang Asli Papua.
“Masyarakat Adat Papua itu sangat bergantung pada hutan. Ketika hutan hilang, sumber kehidupan pasti hilang, dan akan terjadi krisis pangan. Sudah banyak kasus kelaparan di tanah Papua. Ini bisa terjadi lagi dengan ada perkebunan tebu skala besar,” katanya, 14 Mei lalu.
Menurut Palupi, logika pembangunan ekonomi oleh Pemerintah Indonesia sangat salah kaprah. Konsep pembangunan ekonomi saat ini hanya menguntungkan kelompok tertentu saja (pemodal dan kaum kaya). Masyarakat di akar rumput jadi kelompok paling tertindas.
Palupi bilang, satu bahaya terbesar dari salah kaprahnya konsep pembangunan ini adalah kecenderungan menekan aspek material dari pertumbuhan. Konsekuensinya, masyarakat miskin, lembah, dan marjinal akan terpinggirkan.
“Menurut pemerintah, jika tanah diberikan kepada rakyat akan menyebabkan lambatnya pembangunan. Hingga tanah-tanah itu diberikan kepada korporasi. Artinya, indikator utama pembangunan pemerintah adalah uang.”
Rawan pelanggaran HAM
Tanah Papua menjadi satu wilayah sarat konflik. Dampak kebijakan pembangunan menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) kerap terjadi di tanah cendrawasih ini. Aparat militer sering ditempatkan di berbagai tempat di Papua untuk mengamankan pembangunan atau aktivitas industri ekstraktif, selain meredam perlawanan senjata dari Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Fenomena itu terlihat dari kajian 10 organisasi masyarakat sipil pada 2021 dengan judul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya,”. Kajian cepat ini sempat membawa dua orang aktivis HAM, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti ke meja hijau.
Data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat, sepanjang 2023 ada 5.301 berkas pengaduan dugaan pelanggaran HAM diterima. Dari aduan itu, ada 2.753 dugaan pelanggaran HAM. Meski jumlah itu mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, cerita dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua belum membaik sejauh ini.
Misal, selama 2023, setidaknya ada 113 peristiwa pelanggaran HAM di Papua tercatat Komnas HAM. Temuan itu, hanya kasus yang terpantau melalui media dan banyak di antara kasus ini berupa konflik kekerasan. Data itu juga mengafirmasi soal masih terbatasnya ruang demokrasi di Papua, karena masih ada penggunaan kekerasan dalam menangani demonstrasi.
Komnas HAM menemukan, ada penanganan berlebihan excessive use of force di dalam menangani demonstrasi atau unjuk rasa, dan penerapan pasal makar untuk mempidanakan ekspresi dari warga di Papua. Otonomi khusus jilid II di Papua menjadi penyebab utama kasus pelanggaran HAM sangat subur di Papua.
Catatan Akhir Tahun 2022 Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dengan judul “Otonomi Penguasa” memberikan gambar sedikit jelas bagaimana otonomi khusus jilid II di Papua.
Mirza Satria Buana, Kepala Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Lambung Mangkurat mengatakan, dalam konsep perlindungan HAM, pembangunan seharusnya memberikan ruang-ruang kebebasan dan kesempatan sama. Dia bilang, HAM jadi esensi hukum dan pembangunan itu sendiri.
“Pembangunan tanpa ada struktur hukum dan perlindungan HAM kepada masyarakat, maka pembangunan itu hanyalah ilusi,” kata Mirza dalam Forum Diskusi Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional pada 13 Mei lalu.
Dalam perlindungan HAM, seharusnya pemerintah memberikan “pilihan politik” dan meningkatkan kemampuan masyarakat, serta menyediakan mekanisme “kesepakatan” yang sesuai kebutuhan dan kondisi masyarakat. Selanjutnya, pemerintah harus menyediakan mekanisme akuntabilitas kepada masyarakat.
Selain itu, kata Mirza, pemerintah harus langsung melaksanakan kewajiban HAM kepada masyarakat, dan tidak boleh ambigu serta harus jelas dan konsisten. Regulasi perlindungan HAM pun harus selaras dengan praktik di lapangan.
“Bagaimana mungkin pembangunan bisa berjalan sesuai HAM, kalau sedari awal pun tidak ada ruang buat rakyat menyuarakan kepentingan mereka,” katanya
Iwan juga Ketua Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria mengatakan, pemerintah seharusnya mengembangkan pertanian berbasis masyarakat. Perputaran ekonomi pertanian berbasis masyarakat dapat dirasakan langsung Orang Papua. “Dibandingkan skala besar hanya menguntungkan korporasi.”
*******