Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT PLN, sedang menyusun rencana usaha pengembangan tenaga listrik (RUPTL) 2018-2026. Sejumlah organisasi masyarakat sipil tergabung dalam Koalisi Break Free from Coal meminta pemerintah menghapus atau membatalkan sembilan PLTU batubara di Jawa dan Bali.
Koalisi terdiri dari Walhi, Jatam, Greenpeace, Auriga dan 350.org menilai proyek setrum pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla ini terlalu ambisius.
“Dari perhitungan kami, sembilan pembangkit batubara dengan total kapasitas 13 gigawatt ini seharusnya batal demi menjaga kestabilan keuangan negara dan menghindari kerugian lebih besar lagi,” kata Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpecae Indonesia, baru-baru ini.
Menilik kembali RUPTL 2017-2026, total kapasitas PLTU batubara tercatat dalam dokumen sampai 17 gigawatt. Apabila pertumbuhan penjualan listrik tidak sesuai asumsi awal yakni 7,2%, bakal terjadi kerugian karena listrik tak terserap konsumen.
Nyatanya, realisasi pertumbuhan penjualan listrik PLN selama lima tahun terakhir rata-rata 4,4%. Kalau dalam RUPTL 2018-2027, tak ada perubahan signifikan maka pada 2026 akan alami surplus listrik 71%. Artinya, terlalu banyak pasokan listrik, penjualan meleset dari perkiraan hingga PLN akan rugi biaya produksi listrik dan menyebabkan harga listrik terpaksa harus naik.
“Ini bukan hanya angka di atas kertas, tapi proyek besar bernilai triliunan rupiah yang akan terbuang percuma,” ucap Hindun.
Kerugian ekonomi
Pemerintah, katanya, tentu tak akan membiarkan PLN rugi dan bangkrut. Kebangkrutan PLN akan menurunkan credit rating yang menyulitkan Indonesia mendapat pinjaman untuk program lain yang bermanfaat. Mengingat, katanya, sebagian besar proyek merupakan kontrak swasta (Independent Power Producer/IPP) dengan pinjaman dijamin negara.
Selain masalah kerugian ekonomi, Dwi Sawung, Juru Kampanye Energi dan Perkotaan Walhi, mengatakan, hampir semua proyek PLTU tersangkut konflik lahan, dampak lingkungan dan kesehatan.
PLTU Cirebon dan Indramayu II, misal, kalah di PTUN setelah warga menggugat izin lingkungan.
“Jawa Bali, tak perlu PLTU baru,” katanya.
Berdasarkan RUPTL 2017-2026, penambahan PLTU jadi marjin cadangan listrik pada 2026 melonjak hingga 70%. Angka ini, jauh lebih tinggi dari proyeksi marjin aman PLN yang hanya 30%.
Tanpa penambahan PLTU baru pun dalam sistem Jawa Bali, marjin cadangan pada 2026 masih capai 41%.
“Tetap lebih tinggi dari proyeksi marjin cadangan PLN.”
Analisa ini diperkuat lagi dengan data pertumbuhan permintaan listrik rumah tangga yang tahun lalu bahkan negatif. Artinya, konsumsi listrik rumah tangga semula salah satu landasan penambahan pasokan listrik, selain industri, malah turun 1,2% tahun lalu. Salah satu penyebab, karena ada rumah tangga beralih pakai lampu LED.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, tarif listrik jadi salah satu penyebab inflasi, 0,81%. Tak heran karena dalam perjanjian jual beli listrik (PJBL) mayoritas listrik yang harus dibeli pemerintah 85-86% dari total listrik IPP.
Kondisi ini, katanya, memaksa pemerintah menaikkan tarif listrik atau terpaksa mematikan pembangkit kecil yang ada.
“Listrik tak seperti beras yang bisa disimpan dalam gudang. Teknologi penyimpanan baterai kita masih lemah,” ucap Sawung.
Kebijakan Jokowi tak menaikkan tarif dasar listrik hingga 2019 juga penyebab krisis PLN.
Investasi mubazir
Melesetnya perkiraan pemerintah dengan pembangunan PLTU baru di Jawa dan Bali ini, dinilai peneliti Auriga, Ikbal Damanik sebagai catatan negatif dalam kebijakan fiskal pemerintah.
Dalam analisa koalisi, merunut belanja modal (capital expenditure) yang harus dikeluarkan per satu gigawatt kapasitas terpasang US$2 miliar atau Rp26 triliun, sembilan PLTU baru investasi sekitar US$26 miliar atau Rp350 triliun (US$1 setara Rp13.500).
“Ada uang yang tak perlu keluar. Ada kebijakan yang merugikan APBN,” katanya.
PLN sebagai BUMN mendapat dua jenis subsidi. Pertama, subsidi pembangunan pembangkit yang utang dijamin pemerintah. Kedua, subsidi tarif listrik.
“Sayang sekali kalau dana yang disuntikkan ini terbuang percuma akhirnya. Mubazir.”
Dana fiskal Rp350 triliun, jika dikonversi, melebihi APBD seluruh kota dan kabupaten di Indonesia, 34 provinsi total Rp230 triliun.
Ia setara 1,5 kali anggaran pendidikan bisa untuk pembangunan infrastruktur pendidikan. “Uang mubazir ini bisa untuk 741.000 ruang kelas baru.”
Nominal ini juga setara 2,5 kali anggaran kesehatan. “Kita tau BPJS (Badan Penyelenggaran Jaminan Kesehatan-red) merugi. Kalau kebijakan fiskal tak mubazir bisa untuk membiayai ini, misal, membangun rumah sakit,” katanya.
Kerusakan hulu
Tak kalah penting ditekankan Melky Nahar, juru kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bahwa proyek PLTU tak perlu ini selain berpotensi menimbulkan kerugian negara juga berbagai kerugian di hulu proyek, wilayah pertambangan batubara.
“Akan perlu lebih banyak pasokan batubara untuk pembakaran PLTU,” katanya.
Mengutip riset Jatam tahun lalu, dari 44 juta hektar lahan pertambangan, 19% batubara.
Selain dampak kesehatan dan polusi, pertambangan batubara juga mengurangi produksi pangan 1,7 ton per tahun. “Jika tambang tetap lanjut naik jadi 7,7 ton per tahun.”
Apalagi, beberapa PLTU dibangun di lahan produktif yang pakai irigasi teknis, seperti di Cirebon dan Indramayu.
Melky menyoroti, alasan bangun PLTU masuk proyek 35.000 megawatt ini di Indonesia timur tetapi dalam RUPTL sebagian besar dibangun di Pulau Jawa.
Ikbal menambahkan, tujuan pemerintah membangun industri di luar Jawa sebagai sasaran permintaan listrik juga tak sinkron dengan pembangunan PLTU justru dominan di Jawa.
Komitmen internasional
Dari segi global, Toni Herlambang dari 350.org menyoroti komitmen Indonesia yang menandatangani Perjanjian Paris. Ia perjanjian negara-negara dunia dalam menekan emisi dan menjaga suhu bumi di bawah dua derajat celcius.
“Sembilan PLTU baru mengingkari komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris. Padahal, Indonesia punya segalanya untuk jadi pemimpin dalam perubahan iklim,” katanya.
Koalisi mengapresiasi penyataan Menteri ESDM Ignasius Jonan untuk tak membangun PLTU baru di Jawa dan Bali. Komitmen ini dinilai tak cukup tanpa membatalkan sembilan PLTU total 13 gigawatt ini.
Upaya pemerintah menyederhanakan golongan pelanggan listrik, katanya, dianggap trik menyerap marjin cadangan yang tak terserap.
“Kita dipaksa menambah daya walau tidak butuh. Tren global dimana-mana mendorong efisiensi energi tapi kita di-trigger untuk boros,” kata Hindun.
Koalisi pun mendesak pemerintah menghentikan proyek PLTU di Jawa-Bali. “Masyarakat juga dikriminalisasi untuk proyek yang tidak perlu,” ucap Sawung.