- Krisis lingkungan hidup dan krisis demokrasi tengah dialami negeri ini. Dari keramanan lingkungan hidup terancam dengan pembangunan yang banyak mengekstraksi sumber daya alam, termasuk lahan. Sedang demokrasi alami krisis karena kebebasan berekspresi dan berpendapat makin sulit, termasuk bagi mereka yang memperjuangkan lingkungan hidup.
- Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, jalan menuju kesejahteraan tak hanya dengan ekstraksi besar-besaran segala sumber kekayaan alam di Indonesia. Jadi, perlu perubahan ke arah pembangunan dengan cara-cara lebih menghargai proses-proses alami dari alam.
- Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia bicara krisis demokrasi dalam arti kemunduran regresi sulit dibantah . Kondisi ini, perlu mendapatkan perhatian serius. Orang-orang yang justru mempertahankan politik hijau, seperti membela kelestarian lingkungan, perlindungan alam dan keragaman hayati malah mengalami serangan.
- Khalisah Khalid, Departemen Desk Politik Walhi Nasional, mengatakan, politik hijau bisa jadi jalan. Maksud politik hijau di sini, meningkatkan kesadaran politik individu terhadap isu lingkungan hidup dan hak asasi manusia hingga jadi tindakan kolektif masyarakat mengawasi kebijakan struktural yang dibuat pemerintah.
Indonesia tengah alami krisis ekologis dan krisis demokrasi. Lingkungan hidup rusak, dan demokrasi dalam cengkeraman oligarki. Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional merasa aneh kalau masih ada orang tidak percaya dunia termasuk Indonesia, tengah alami krisis iklim, krisis lingkungan hidup.
Yaya, sapaan akrabnya, coba memaparkan hak-hal yang dekat dengan kehidupan masyarakat perkotaan guna menunjukkan kondisi krisis itu. Dia bilang, keluar rumah saja, sudah terkena polusi udara.
“Bahkan, saya sebagai pemakai kendaraan umum, seperti Transjakarta. Itu saya sebelum pandemi, sudah pakai masker. Karena memang udara sudah sangat kotor. Ini fakta di kota-kota besar,” katanya.
Belum lagi bicara air bersih. Kalau bicara ketersediaan secara kuantitas, Indonesia tidak kekurangan air. Negeri ini, katanya, kaya sumber air tawar.
Yang jadi masalah, katanya, kualitas dari air-air di badan-badan air alami itu, tidak memadai lagi buat konsumsi. Kualitas air, katanya, jadi tanda tanya.
“Sebenarnya masalah ini sudah kita hadapi. Sudah kita alami sehari-hari. Yang terjadi dianggap kenormalan.”
Bahkan, katanya, ada anggapan berbagai penurunan kualitas baik air, maupun udara ini seakan jadi konsekuensi pembangunan.
Dia bilang, jalan menuju kesejahteraan tak hanya dengan ekstraksi besar-besaran segala sumber kekayaan alam di Indonesia. Jadi, katanya, perlu perubahan ke arah pembangunan dengan cara-cara lebih menghargai proses-proses alami dari alam.
“Nah, yang terjadi sekarang sistem kapitalistik memisahkan manusia dan non manusia. Hingga manusia jadi dominan. Ini yang disebut cara pandang antroposentrik. Yang mana faktor non manusia dianggap sebagai penyuplai segala kebutuhan keberlangsungan hidup.”

Padahal, katanya, alam non manusia juga punya sistem dan metabolisme sendiri. “Kita tahu ada siklus air, siklus karbon, dan macam siklus lain. Semua itu harus dihargai proses kehidupannya hingga tak kemudian berbalik jadi melawan kita,” katanya.
Pola pembangunan rusak alam hingga yang terjadi pun krisis iklim karena sistem alamiah sudah terganggu. Dampak paling nyata, katanya, jutaan orang, setiap tahun harus mengungsi, salah satu di Indonesia. Orang-orang ini, merupakan pengunsi ekologis bukan karena konflik.
“Inilah yang harus kita hentikan siklusnya. Harus kita cari jalan lain itu. Bagaimana bisa kemudian mempertahankan siklus-siklus alam bahkan memperbaiki.”
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia bicara krisis demokrasi dalam arti kemunduran regresi sulit dibantah .
“Itu terlihat dari bangkitnya otoritarianisme developmental di Indonesia. Termasuk juga mundurnya sejumlah agenda reformasi pemberantasan korupsi, misal.”
Kemunduran ini, katanya, bisa terlihat dari pertama, kebebasan sipil menyempit termasuk ruang mengkritik kekuasaan. Kedua, kelihatan dari oposisi politik melemah. Ketiga, problem di tingkat elektoral politik.

Data Front Line Defenders atau Protection Internasional, 70% mereka yang diserang itu terhubung dengan kerja-kerja industri ekstraktif atau bisnis-bisnis besar, termasuk kejadian di Indonesia.
“Mereka membela lingkungan, membela tanah, membela hak-hak masyarakat adat , termasuk jurnalis, aktivis dan juga tokoh-tokoh lokal yang sekarang ini mengalami serangan.”
Kondisi ini, katanya, perlu mendapatkan perhatian serius. Orang-orang yang justru mempertahankan politik hijau, seperti membela kelestarian lingkungan, perlindungan alam dan keragaman hayati malah mengalami serangan.
Dalam kondisi seperti ini, Khalisah Khalid, Departemen Desk Politik Walhi Nasional, dalam diskusi Walhi sebelumnya mengatakan, politik hijau bisa jadi jalan.
Maksud politik hijau di sini, katanya, meningkatkan kesadaran politik individu terhadap isu lingkungan hidup dan hak asasi manusia hingga jadi tindakan kolektif masyarakat mengawasi kebijakan struktural yang dibuat pemerintah.
Alin, sapaan akrabnya, bercermin dalam 2020, kala pandemi menerpa negeri kondisi ekologis dan sumber daya alam makin memburuk. Ditambah lagi dengan matinya demokrasi terlihat dari kebebasan berpendapat sulit dan tindakan represif aparatur negara.
Tahun lalu, pengesahan UU Cipta Kerja terburu-buru juga revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara. Kondisi tambah parah kala gencar wacana politik identitas yang mengandung unsur diskriminasi terhadap suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
“Bukannya fokus penanganan pandemi yang makin meningkat dan bencana alam yang terjadi di beberapa daerah, tapi malah fokus meningkatkan perekonomian.”
Belum lagi dengan kebijakan ketahanan pangan lewat pengembangan kawasan pangan skala besar (food estate) . Ia bisa makin memicu iklim ekstrem.

****
Foto utama: Lubang tambang batubara di wilayah DAS Air Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu. Foto: Dok. Genesis