- Bersama ikan tuna dan tongkol, ikan cakalang mempunyai peranan penting bagi sektor perikanan tangkap di negara kepulauan terbesar di dunia ini.
- Sementara, di Pelabuhan Perikanan Muara Angke, Jakarta, komposisi produksi hasil tangkapan ikan yang banyak didaratkan selain cumi-cumi, ikan kembung, cucut dan tongkol ada juga ikan cakalang.
- Dalam penangkapan ikan cakalang dan tuna yang merupakan ikan pelagis ini sedikit berbeda dengan penangkapan ikan-ikan kecil pada umumnya, yaitu diperlukan alat-alat tangkap yang lebih spesifik seperti berbagai jenis rawai, huhate dan pancing
- Meski Indonesia diakui sebagai produsen Tuna Cakalang dan Tongkol (TCT) terbesar di dunia, namun dari jumlah ekspor masih kalah dibandingkan Thailand, Taipei dan China. Secara umum, saat ini Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam mengekspor ikan TCT
Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan salah satu jenis ikan yang berperan penting dan strategis sebagai sumber pertumbuhan ekonomi di Indonesia, termasuk sebagai sumber pangan khususnya protein hewani.
Selama ini, ikan cakalang bersama ikan tongkol (Euthynnus affinis) dan tuna (Thunnini), berperan penting bagi sektor perikanan tangkap di negara kepulauan terbesar di dunia ini.
Termasuk di Pelabuhan Perikanan Muara Angke, ikan cakalang menjadi salah satu hasil tangkapan ikan yang didaratkan selain cumi-cumi, ikan kembung, cucut dan tongkol. Pelabuhan yang terletak di Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara ini juga menjadi pendaratan ikan bloso, lemuru, juga tenggiri.
Untuk alat tangkap ikan yang digunakan oleh nelayan pesisir utara Jakarta juga cukup beragam diantaranya yaitu jaring rampus, jaring payang, gilnet, pancing dan bubu. Sedangkan, alat tangkap gilnet dan pancing tuna longline yang banyak dioperasikan oleh nelayan di Muara Baru.
Adapun untuk jenis armada penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan di Pelabuhan Perikanan Muara Angke ini ada tiga, antara lain adalah perahu layar, kapal motor dan perahu tempel, dengan berukuran sedang maupun besar. Untuk jumlah armada yang menggunakan perahu layar sangat sedikit karena perahu layar merupakan armada perikanan tradisional.
Sedangkan kapal perikanan yang melakukan aktivitas tambat labuh kapal maupun bongkar muat ikan di Muara Angke terdiri atas kapal dengan ukuran antara 30-50 Gross Tonnage (GT). Jenis ikan pelagis besar seperti tuna, cakalang dan tongkol (TCT) juga banyak daratkan di Pelabuhan yang memiliki keluasan kurang lebih 64 hektare ini.
baca : Bisakah Perikanan Tuna, Cakalang, dan Tongkol Dikelola dengan Berkelanjutan?
Penangkapan Ikan Cakalang
Dalam penangkapan ikan cakalang dan tuna sedikit berbeda dengan penangkapan ikan-ikan kecil pada umumnya, untuk menangkap ikan jenis pelagis ini diperlukan alat-alat tangkap yang lebih spesifik.
Dalam jurnal Profil Perikanan Tuna dan Cakalang di Indonesia yang diterbitkan Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjelaskan, alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Indonesia untuk menangkap ikan tuna dan cakalang sangat beragam.
Hal ini disebabkan kedua jenis ikan tersebut memiliki ukuran tubuh yang besar, sehingga diperlukan perlakuan khusus dalam proses penangkapannya.
Berdasarkan data statistik perikanan tangkap terdapat 6 jenis kelompok jaring tuna dan cakalang, antara lain adalah rawai tuna (tuna long line), rawai hanyut selain rawai tuna (drift longline othe than tuna long line), rawai tetap (set long line), huhate (skipjack ple and line).
Selain itu juga pancing tonda (troll line) dan pancing yang lain (other ple and line). Termasuk di dalamnya yaitu pancing ulur (handline) yang biasa digunakan nelayan tradisional untuk menangkap ikan tuna dan cakalang.
baca juga : Ternyata Begini Cara Jitu Nelayan Memancing Cakalang
Secara keseluruhan, produksi tangkap ikan cakalang dan tuna terus meningkat sejak tahun 2000 hingga 2015. Jika dibandingkan dengan produksi ikan tuna, jumlah produksi ikan cakalang lebih besar.
Erwin Dwiyana, Direktur Pemasaran Ditrektorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk KKP menjelaskan, meski Indonesia diakui sebagai produsen nomer satu di dunia, akan tetapi dari sisi eksportir masih berada diurutan bawah penghasil ikan Tuna Cakalang dan Tongkol (TCT) di dunia.
Share produksi ikan TCT di Indonesia yaitu sebesar 15,0%, disusul Filipina 7,3%, Vietnam 6,6% dan Ecuador 6,5%. Dari pengembangan produksi TCT ini Indonesia disebut mengalami kenaikan rata-rata 3,66% lebih tinggi dari kenaikan rata-rata dunia yang sebesar 3,42%.
Sejauh ini, kata Erwin, ada tiga negara yang menjadi importir terbesar ikan tuna dimana nilai impornya sendiri di atas satu miliar USD, diantaranya adalah Jepang, Amerika, Thailand, Spanyol, dan Itali. Awalnya Indonesia berada di angka ke-12 nilai ekspor TCT dari masing-masing negara tersebut. Tetapi dengan perkembangannya di tahun 2020 hingga sekarang ini Indonesia berada diurutan ke-6 setelah Taipei, Chinese.
“Namun demikian, meski Thailand bukan sebagai negara produsen tuna justru ekspornya lebih tinggi dibandingkan negara produsen tuna, termasuk Indonesia,” kata Erwin dalam diskusi secara daring pada pertengahan April 2022.
baca juga : Tuntutan Perikanan Tuna Global Makin Ketat Terkait Ketelusuran dan Aspek Ekologisnya
Kendala Ekspor
Secara umum, saat ini Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam mengekspor ikan TCT. Pertama adalah pengenaan tarif produk olahan yang lebih besar dari tarif bahan baku di negara tujuan ekspor, sekitar 15%.
Walaupun demikian, lanjut Erwin, proses perundingan yang melibatkan KKP maupun lembaga lain masih terus dilakukan baik itu secara bilateral dan juga dengan cara multilateral.
Kedua yaitu persyaratan ekspor yang semakin ketat, khususnya adalah terkait dengan mutu dan keberlanjutan (sustanability) yang saat ini masih banyak diterapkan ataupun trend-nya terus meningkat. Ketiga adalah berkaitan dengan logistik sebagai dampak dari pandemi Covid-19 dimana banyak kontainer yang tidak kembali, sementara ketersediaan dalam negeri terbatas.
Selain itu, pengurangan jadwal pelayaran yang terjadi pada saat pandemi juga menyebabkan jumlah armada oleh Main Line Operator (MLO) berkurang, sehingga dampaknya juga masih dirasakan sampai sekarang.
Adapun, untuk persyaratan impor di beberapa negara tujuan diantaranya yaitu quality dan safety, sustainability, third party certification, dan traceability.
“Khusus untuk pasar Amerika saat ini yang kami bahas berkaitan dengan marine mammals protection act (MMPA), kami juga sudah melakukan penerapan dari catch document for import of vulnerable marine species country khusus untuk pasar Jepang,” terang Erwin.
baca juga : Seberapa Penting Pembaruan Pedoman Acuan Tuna, Cakalang, dan Tongkol?
Hambatan lainnya adalah saat ini setiap negara eksportir harus mengajukan comparability finding (CF) dan memiliki ketentuan yang setara efektifnya dengan program Amerika Serikat tentang mitigasi bycatch mamalia laut dalam operasi penangkapan ikan.
Sementara untuk di ekspor di Uni Eropa (UE), Indonesia masih menghadapi atau menyelesaikan proses untuk pembukaan kembali approval number baru, karena Indonesia dianggap masih belum menyelesaikan rekomendasi audit UE. Belum terpenuhi persyaratan monitoring sanitasi kekurangan UE ini sudah sejak 2002.
Adapun untuk Cina kendalanya adalah temuan kasus kontaminasi Covid-19. Selain itu juga adanya hambatan penambahan registrasi perusahaan dan tarif kode HS baru.
“Kasus border rejection produk ikan tuna di Pasar Global mengalami penurunan dari tahun 2016 hingga 2020. Namun, kami terus melakukan upaya perbaikan sistem jaminan mutu yang menjadi sarat dalam produk-produk perikanan Indonesia yang akan di ekspor,” jelas Erwin.