- Triwurjani, Ahli Peneliti Madya pada Pusat Riset Penelitian Arkeologi Prasejarah dan Sejarah Badan Riset Inovasi Nasional [BRIN], memiliki minat khusus pada Arca-arca Megalitik Pasemah.
- Perempuan kelahiran Jakarta, 29 Juni 1963 ini menulis buku berjudul “Arca-arca Megalitik Pasemah Sumatera Selatan: Kajian Semiotik Barthes”.
- Uniknya pada Arca-arca Megalitik Pasemah, banyak peninggalan yang menggambarkan hubungan erat manusia dan hewan, mulai dari gajah, kerbau, babi, harimau, hingga ular. Dari beberapa hewan tersebut, gajah paling ditonjolkan.
- Masyarakat saat ini bisa mencontoh hubungan baik manusia dengan gajah pada Zaman Megalitikum, berdasarkan rasa sayang, cinta dan penghormatan. Terhadap alam, manusia dapat memanfaatkannya secara berkelanjutan tanpa ada sifat rakus.
Baca sebelumnya: Manusia dan Gajah Hidup Berdampingan Sejak Zaman Megalitikum
**
Rr. Triwurjani, Ahli Peneliti Madya pada Pusat Riset Penelitian Arkeologi Prasejarah dan Sejarah Badan Riset Inovasi Nasional [BRIN], memiliki minat khusus pada Arca-arca Megalitik Pasemah yang tersebar di daerah Pasemah, Sumatera Selatan.
Ini dibuktikan dengan sejumlah karya ilmiah dalam makalah seminar nasional maupun internasional serta buku.
Sebut saja Gerak Dinamis Figur Manusia dan Hewan Pada Arca-arca Megalitik Pasemah dalam Buku Megalitik Pasemah Warisan Budaya Bangsa, Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi, 2007; Arca Perempuan dan Arca Laki-laki Pada Kelompok Arca Megalitik Pasemah: Sumatera Selatan: Perspektif Gender [Forum Arkeologi, 2015], dan Arkeologi Publik di Kawasan Megalitik Pasemah, dalam Kalpataru 2018 Jurnal Arkeologi Indonesia.
Puncaknya, perempuan kelahiran Jakarta, 29 Juni 1963 ini menulis buku berjudul “Arca-arca Megalitik Pasemah Sumatera Selatan: Kajian Semiotik Barthes”. Buku ini pengembangan dari disertasinya tentang kebudayaan megalitik.
Megalitik merupakan budaya yang mengagungkan para leluhur dan mempercayai kehidupan setelah mati, yaitu kehidupan dalam alam arwah. Peninggalan dari Zaman Batu Besar atau masa akhir prasejarah ini bisa dilihat dari peninggalan bangunan dari batu dan kayu seperti kubur batu, dolmen, menhir, lesung batu, batu berlubang, hingga arca batu.
Uniknya pada Arca-arca Megalitik Pasemah, banyak peninggalan yang menggambarkan hubungan erat manusia dan hewan, mulai dari gajah, kerbau, babi, harimau, hingga ular. Dari beberapa hewan tersebut, gajah paling ditonjolkan.
Adakah jejak konflik manusia dengan gajah seperti saat ini, saat zaman akhir prasejarah itu? Berikut wawancara khusus Mongabay Indonesia dengan Rr. Triwurjani pada Selasa, 8 November 2022.
Baca: Kapan Manusia Berdamai dengan Gajah Sumatera?
Mongabay: Apakah Pasemah itu?
Rr. Triwurjani: Pasemah berasal dari kata Besemah. Budayawan lokal bernama Ahmad Bastari Suan, dkk., dalam bukunya “Besemah Lampik Mpat Merdike Duwe” menjelaskan Besemah adalah nama tanah, daerah, etnik, bahasa, adat, dan kebudayaan di Sumatera Selatan.
Besemah berasal dari kata dasar ‘Semah’, yaitu nama ikan. Lalu kata itu ditambah imbuhan ber- yang artinya ada atau memiliki. Besemah, artinya daerah yang ada ikan semah. Nama ini dicetuskan oleh Atung Bungsu, leluhur Suku Besemah.
Berubahnya penyebutan Besemah menjadi Pasemah berawal dari zaman kolonial Belanda. Orang Belanda tidak bisa menyebut dengan benar kata Besemah, mereka mengubah menjadi Pasemah.
Daerah Pasemah ini merupakan dataran tinggi seluas 80 km persegi. Wilayah ini bagian dari gugusan Bukit Barisan, di sebelah barat daya adalah Gunung Dempo [3.159 mdpl] dan timur laut Gunung Belumai [1.700 mdpl].
Wilayah Pasemah ini berjarak sekitar 219 km dari Kota Palembang. Secara administratif Pasemah masuk Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam.
Di Lahat dan Pagaralam inilah banyak ditemukan peninggalan megalitik seperti dolmen, arca, lumpung batu, kubur batu, menhir, batu relief, lukisan batu, dan lainnya.
Baca: Pudarnya Keharmonisan Manusia dengan Gajah. Mengapa?
Mongabay: Terbuat dari apa dan tersebar di mana saja Arca Megalitik Pasemah?
Rr. Triwurjani: Bahan pembuat arca dari batuan vulkanik yang berasal dari Gunung Dempo. Batuan tersebut antara lain andesit, breksi vulkanik, pasir tufaan, dan juga dari jenis lava.
Arca tersebar di situs-situs sepanjang dataran tinggi Gunung Dempo dan Bukit Barisan bagian selatan. Situs-situs tersebut adalah Tegus Wangi, Tanjung Beringin, Tebing Tinggi, Talang Pagar Agung, Tanjung Ara, Gunung Kaya, Gunung Megang, Kota Raya Lembak, Belumai I, Belumai II, Geramat, Muara Dua, Sinjar Bulan, Muara Dua, Sinjar Bulan, Muara Danau, Tinggi Hari, Tanjung Raja, Tanjung Sirih, Pagar Gunung, Pasar Baru, tepi Sungai Lematang, dan Tanjung Telang.
Selain terletak di in situ, ada juga arca berada di ex situ, misalnya menjadi koleksi Museum Balaputradewa Palembang, di Halaman Kantor Bupati Pemda Lahat, di Halaman Perkantoran Pusat Informasi Kota Pagaralam, dan koleksi Museum Nasional Jakarta.
Mongabay: Adakah ciri khas dan kategori khusus Arca Pasemah?
Rr. Triwurjani: Arca Pasemah ada ciri khas, yaitu pada penggambaran wajah yang bermata bulat, besar, dan melotot. Hidung digambarkan ada yang datar, ada juga bulat besar tidak mancung. Pipi dan dahi menonjol, bibir tebal dan lebar. Telinga digambarkan berdaun dan ada menggunakan anting.
Arca-arca Pasemah dapat dikategorikan tiga bentuk: menggambarkan manusia, hewan, dan manusia dengan hewan. Arca manusia ada yang ditemukan dalam bentuk utuh dari kepala sampai kaki, namun ada yang kepala saja.
Sedangkan arca manusia bersama hewan, memakai penutup kepala, mengenakan pakaian dan ikat pinggang pita lebar, memakai perhiasan kalung, gelang tangan, gelang kaki satu renteng hingga betis, membawa senjata, tetapi ada juga yang tidak berpakaian.
Baca: Berbagi Durian dengan Gajah Sumatera
Mongabay: Hewan apa saja yang digambarkan pada arca ini?
Rr. Triwurjani: Beragam, ada gajah, kerbau, babi, ular, dan harimau. Dari sejumlah hewan tersebut, gajah paling banyak digambarkan, diikuti kerbau.
Mongabay: Mengapa gambar gajah lebih banyak?
Rr. Triwurjani: Saya meneliti 64 arca dari 24 situs di empat lokasi yang tersebar di Pagaralam dan Lahat. Arca bergambar gajah yang saya temukan ada 14 buah. Sebenarnya ini jumlah sementara, sebab masih banyak situs dan arca yang belum ditemukan atau belum terdata.
Pembuatan arca tentu berkaitan dengan suasana batin, apa yang sering dilihat, juga bisa sebuah pesan dan peringatan.
Dari sejumlah arca gajah, posisinya ada yang ditemukan di tempat suci di kubur batu. Ini menggambarkan bentuk kebaktian kepada leluhur dan segala hal yang ada di luar kemampuan manusia. Ada makna konotasi tentang sesuatu diluar kemampuan manusia yang mempunyai kekuatan, namun bisa menjalin hubungan.
Selain itu, ada juga arca bergambar gajah yang tampak ditunggang manusia dengan perhiasan lengkap seperti orang terhormat berkedudukan tinggi. Ada juga ditunggangi dengan gambaran manusia bersenjata nan gagah, juga ditunggang oleh gambaran manusia tidak menggunakan baju seperti kalangan biasa.
Di lain tempat, ada arca manusia yang tangan kanannya memegang atau memeluk gajah. Ini menunjukkan bahwa tokoh ini selain menghormati juga menyayangi gajah.
Baca: Cinta Kita yang Hilang pada Gajah Sumatera
Mongabay: Bagaimana peran gajah terhadap manusia di Zaman Megalitik Pasemah?
Rr. Triwurjani: Dari arca-arca tersebut, tergambar gajah memiliki peran besar terhadap manusia, salah satunya sebagai tunggangan dalam sebuah perjalanan. Di Situs Pulau Punggung dan Situs Rindu Hati 7 misalnya, digambarkan orang dewasa mengondong anak sedang menunggang gajah.
Bahkan di situs Kota Raya Lebak 2, digambarkan manusia memakai cawat dan berikat pinggang dengan simpul pita panjang sedang menunggang gajah dengan posisi kepalanya rebah ke tubuh gajah. Kemungkinan, manusia itu cidera dan gajah tetap setia membawa tuannya.
Mongabay: Apa pesan yang disampaikan dari interaksi manusia dengan gajah pada arca Pasemah?
Rr. Triwurjani: Secara sederhana dari 14 arca manusia dan gajah ini, saya membuat tiga klasifikasi interaksi, yaitu gajah ditunggang, gajah diapit, dan gajah dipangku.
Dari data-data tersebut, dapat disimpulkan kenapa gajah paling banyak digambarkan karena merupakan hewan yang paling banyak berinteraksi dengan manusia. Bahkan, ditunggangi oleh orang berkedudukan tinggi hingga berkedudukan biasa saja.
Hal ini tentu menjadi pesan bahwa gajah di Pasemah, pada saat itu, berjumlah banyak di alam Pasemah dan juga sudah dijadikan sahabat oleh manusia, disayangi dan dihormati.
Baca juga: Membaca Nilai-nilai Ekologi Peradaban Megalitikum di Bukit Barisan
Mongabay: Apakah masyarakat saat itu peduli dengan kehidupan gajah?
Rr. Triwurjani: Dari semua gambar gajah yang terlihat di arca tersebut, tidak ada petunjuk yang mengarah pada upaya mengekploitasi gajah, baik dari segi kekuatannya, hingga fungsi estetik seperti gading.
Tidak ditemukan juga gambar kekerasan untuk menaklukkan gajah supaya menurut kepada manusia, yang ada adalah gambaran manusia memangku dan mengepit gajah. Gambaran ini kuat maknanya, sebagai rasa cinta dan penghormatan kepada gajah. Selain itu ada gambaran manusia menunggang gajah.
Mongabay: Apa yang harus dilakukan masyarakat saat ini, untuk menjaga hubungan dengan terutama gajah dan lingkungannya?
Rr. Triwurjani: Pesan paling jelas adalah manusia di zaman itu sangat tergantung dengan alam, lingkungan sekitar mereka. Paling menarik adalah mereka beradaptasi dengan lingkungan sekitar tanpa ada tanda pemaksaan dan pengubahan keadaan alam. Pada arca misalnya, dibuat dengan ukuran batu tanpa ada syarat ukuran tertentu.
Mereka membuat arca dengan pahatan yang mengikuti bentuk batuan aslinya, sehingga memunculkan gambaran figur-figur dengan berbagai sikap. Ada yang duduk, berdiri, rebah ke kiri atau ke kanan.
Begitu juga tempatnya, persebarannya sesuai dengan lokasi batu itu berada. Tidak ada petunjuk yang mengarah bahwa batu tersebut hasil proses pemindahan dengan tujuan tertentu. Ini tentu berkaitan dengan teknologi saat itu.
Tapi walau demikian, ada nilai yang kuat bahwa manusia zaman itu tidak ada tanda pemaksaan untuk menaklukkan alam. Mereka lebih berupaya beradaptasi.
Masyarakat saat ini bisa mencontoh bahwa hubungan baik manusia dengan gajah berdasarkan rasa sayang, cinta dan penghormatan. Terhadap alam, dengan memanfaatkannya secara berkelanjutan tanpa ada sifat rakus.
Manusia harus beradaptasi dengan lingkungan berdasarkan kearifan nilai, kecerdasan pikiran, dan kemajuan teknologi.