- Setiap tahun, Indonesia memperingati tanggal 6 April sebagai hari nelayan nasional. Tanggal tersebut menjadi peringatan profesi yang identik dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Peringatan dilakukan sebagai bentuk penghargaan Negara kepada mereka
- Tetapi, peringatan setahun sekali itu, belum membawa perubahan signifikan pada nasib nelayan kecil dan tradisional, dengan awak kapal perikanan (AKP). Justru, nasib mereka sampai hari ini semakin terpuruk, dan salah satunya simbolnya adalah kesejahteraan ekonomi yang tidak ada
- Salah satu sebab musabab kenapa nasib nelayan dan AKP belum juga membaik, adalah karena Pemerintah Indonesia belum melakukan ratifikasi norma internasional Konvensi ILO Nomor 188 (ILO C-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan
- Selain itu, sebab lainnya adalah karena implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam belum juga dilakukan oleh Pemerintah, meski aturan sudah ada sejak delapan tahun yang lalu
Hari nelayan nasional yang sejatinya diperingati setiap 6 April, menjadi momen ironi yang harus dialami seluruh nelayan kecil dan tradisional di seluruh Indonesia. Peringatan tersebut, dinilai hanya menjadi bentuk formal dari Negara yang ingin memperlihatkan kepeduliannya kepada kelompok di pesisir itu.
Padahal, yang terjadi sebenarnya adalah nasib nelayan tidak pernah mengalami perubahan berarti dari tahun ke tahun. Mereka yang mengoperasikan kapal ikan dengan tonase didominasi berukuran 5 gros ton (GT), masih tetap menjadi salah satu warga marjinal dengan ekonomi yang sangat terbatas.
Di antara bagian yang masuk kelompok nelayan adalah awak kapal perikanan (AKP) yang bekerja di atas kapal perikanan. Mereka ini, sampai saat ini masih belum membaik nasibnya, karena perlindungan dari Negara masih belum maksimal.
Hal itu diungkapkan oleh aktivis dan perwakilan masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Tim 9 menjelang peringatan hari nelayan nasional pada 2024.
Salah satu penyebab kenapa AKP masih bernasib seperti itu, adalah karena sampai saat ini Pemerintah Indonesia belum melakukan ratifikasi norma internasional yang dibuat Organisasi Buruh Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa (ILO) atau Konvensi ILO Nomor 188 (ILO C-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan yang disahkan 14 Juni 2007 di Jenewa, Swiss.
Desakan untuk melakukan ratifikasi ILO C-188 kemudian disuarakan Koalisi Tim 9 dengan melakukan aksi damai di tiga kota sekaligus, yakni Jakarta, Banda Aceh (Aceh), dan Bitung (Sulawesi Utara).
Pada aksi di depan Patung Arjuna Wijaya atau biasa dikenal sebagai Patung Kuda di Jakarta, Rabu (3/4/2024), terlihat miniatur kapal sepanjang tiga meter dengan warna biru dan corong hitam. Kapal tersebut dinamai KM Derita Nelayan karena sebagai ekspresi dari penderitaan yang dialami nelayan.
Baca : Hari Nelayan: Benarkah Mereka Disingkirkan, Bukan Diperjuangkan?
Kapal tersebut juga menjadi saksi suara dari masyarakat sipil yang mendesak Presiden RI untuk segera melakukan ratifikasi ILO C-188. Desakan itu diekspresikan melalui aksi teatrikal oleh seorang aktivitas dengan berperan sebagai AKP yang terjerat di dalam jaring kapal.
Selain seorang aktvitas yang berperan menjadi nelayan, di depan KM Derita Nelayan juga berdiri sejumlah aktivis lainnya dengan memegang poster bertuliskan sejumlah pesan seperti “Lindungi Pelaut Perikanan Indonesia”, “Seafood Segar, Tapi Nelayan & Awak Kapal Perikanan Gak Makmur? Rugi Dong!”, atau “Segera Ratifikasi Konvensi ILO K-188!”.
Selain di Jakarta, aksi damai serupa digelar di depan kantor Gubernur Provinsi Aceh di Banda Aceh, dan depan kantor DPR Kota Bitung. Seperti di Jakarta, aksi damai melibatkan masyarakat dengan beragam latar belakang yang tergabung ke dalam Tim 9.
Selain dari elemen serikat pekerja, ada juga perwakilan masyarakat dari kelompok asosiasi perikanan, perusahaan perekrut awak kapal atau biasa disebut dengan nama manning agency, akademisi, hingga organisasi masyarakat sipil.
Semua aksi yang digelar secara bersamaan itu, bertujuan hanya satu, bagaimana agar para nelayan atau AKP bisa mendapatkan perlindungan penuh dari negara. Caranya, adalah negara melakukan ratifikasi ILO C-188 yang mengatur tentang standar perlindungan bagi para pekerja di sektor perikanan.
Koordinator Tim 9 Syofyan menjelaskan bahwa peringatan hari nelayan nasional 2024 harus menjadi momen yang membawa perubahan bagi para nelayan dan AKP. Perubahan yang dimaksud, adalah terciptanya perbaikan kesejahteraan ekonomi, khususnya bagi mereka yang berprofesi sebagai AKP di dalam maupun luar negeri.
Dia menyebutkan, profesi AKP wajib mendapatkan perlindungan penuh, karena mereka tidak dilindungi dengan jaminan sosial, harus bekerja tanpa aturan standar upah minimum. Kondisi itu kemudian diperparah dengan sistem bagi hasil yang tidak adil bagi nelayan, khususnya AKP domestik dan migran.
“Bertepatan Hari Nelayan Nasional tahun ini, kami mendesak Presiden Joko Widodo segera meratifikasi Konvensi ILO 188 agar standar pelindungan nelayan dan awak kapal di Indonesia lebih jelas dan lebih baik,” katanya ditengah berlangsungnya aksi.
Baca juga : Hari Nelayan: Nasib Perempuan Nelayan yang masih Kelam
Perwakilan Tim 9 lainnya, Fikerman Saragih, menyoroti persoalan nelayan yang masih berlimpah di Indonesia, meski negara sudah sejak beberapa tahun terakhir ini menetapkan jargon sebagai “negara maritim”.
Ada beberapa yang menjadi sorotan dia saat ini. Pertama, tidak adanya jaminan pelindungan atas wilayah penangkapan nelayan kecil dan tradisional oleh negara, sehingga memicu kompetisi antara nelayan kecil dengan nelayan besar dan/atau industri.
Kedua, minimnya pengakuan identitas perempuan nelayan yang berdampak pada lemahnya perlindungan negara kepada mereka. Ketiga, kebijakan yang dibuat dan diterapkan saat ini masih berorientasi pada jaminan dan kepastian hukum untuk investasi.
“Akan tetapi tidak pada perlindungan dan keberlanjutan ekologi di wilayah pesisir, perairan laut, dan pulau-pulau kecil,” sebutnya.
Agar kondisi tidak semakin memburuk dan perlunya dilakukan perbaikan nasib nelayan dan AKP, Tim 9 mendesak Pemerintah untuk segera meratifikasi ILO C-188, dan menjalankan mandat UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi daya Ikan dan Petambak Garam.
Fikerman Saragih menilai, jika Pemerintah mau melakukan ratifikasi ILO C-188 dan penerapan UU No.7/2016, maka itu sudah menjadi simbol kemajuan satu langkah yang diperlihatkan Pemerintah. Kemajuan itu juga menegaskan bahwa Negara ada untuk memberi perlindungan penuh kepada nelayan dan AKP.
Selain, simbol kemajuan juga menegaskan bahwa Negara mau memberi perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan sekaligus menjadi pemenuhan hak-hak pekerja perikanan sebagai bentuk apresiasi kepada para pejuang protein bangsa.
Baca juga : Nasib Buruk Awak Kapal Perikanan di Kapal Perikanan Asing
Sementara, Sihar Silalahi yang berbicara mewakili Tim 9 dari sisi lingkungan, menyebutkan ada sejumlah masalah penting yang perlu diperhatikan Negara karena berpengaruh terhadap ekosistem ruang hidup nelayan.
Salah satunya, praktik penangkapan ikan dengan cara ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar aturan (IUUF) yang diyakini akan menjadi persoalan serius bagi kehidupan nelayan, karena berakhir menjadi kegiatan yang overfishing. Karenanya, IUUF perlu ditangani sangat serius oleh Negara.
Kemudian, dia menyoroti pentingnya keterbukaan sejumlah informasi yang selama ini kerap hanya dimonopoli oleh Pemerintah. Salah satunya, soal posisi kapal perikanan melalui Vessel Monitoring System (VMS) yang sulit diakses oleh publik.
“Ada juga minimnya informasi mengenai kejahatan perikanan di masa lalu dan hukuman yang diberikan kepada pelanggar juga belum dirilis ke publik,” terangnya.
Menurutnya, informasi tentang kepemilikan setiap kapal perikanan masih belum bersifat publik, dan itu membuat pengawasan tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas adanya kapal yang melakukan praktik penangkapan ilegal masih minim.
“Hal-hal inilah yang sangat berdampak bagi kehidupan nelayan di Indonesia,” tambahnya.
Baca juga : Sulitnya Menjaga Kedaulatan dan Hak Berdaulat Negara di Laut Natuna Utara
Tak Menentu
Saat nasib nelayan tidak menentu, mereka sudah mendapat ancaman lagi karena nasib mereka juga tidak menentu di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Saat ini, lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu tengah mengkaji subsidi perikanan di negara berkembang dan tidak berkembang.
Merujuk pada rancangan teks WTO Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-13 yang berlangsung di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, terdapat delapan jenis subsidi perikanan yang akan dilarang karena berkontribusi pada IUUF, kapasitas berlebih (overcapacity), dan penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing).
Rinciannya seperti di bawah ini:
- Subsidi untuk konstruksi, akuisisi, modernisasi, renovasi atau peningkatan kapal;
- Subsidi untuk pembelian mesin dan peralatan untuk kapal (termasuk alat tangkap dan mesin, mesin pengolahan ikan, teknologi pencarian ikan, refrigerator, atau mesin untuk menyortir atau membersihkan ikan);
- Subsidi untuk pembelian/biaya bahan bakar, es, atau umpan;
- Subsidi untuk biaya personel, biaya sosial, atau asuransi;
- Dukungan pendapatan (income) kapal atau operator atau pekerja yang mereka pekerjakan (kecuali untuk subsidi yang diterapkan untuk tujuan subsisten selama penutupan musiman);
- Dukungan harga ikan yang ditangkap;
- Subsidi untuk mendukung kegiatan di laut; dan
- Subsidi yang mencakup kerugian operasi kapal atau penangkapan ikan atau kegiatan terkait penangkapan ikan.
Walau pembahasan subsidi perikanan belum menemui hasil karena ada jalan buntu pada pembahasan KTM13, namun banyak pihak yang mengkhawatirkan nasib nelayan kecil dan tradisional akan semakin terpuruk jika subdisi perikanan yang baru nanti berakhir disetujui.
Sebagai salah satu negara anggota WTO, Indonesia terlibat aktif dalam perundingan pertanian dan subsidi perikanan dengan mengedepankan pentingnya kesepakatan yang berimbang dan dapat melindungi kepentingan petani dan nelayan kecil dan artisanal sesuai amanat United Nations Sustainable Development Goals (UN SDGs).
“Nyatanya, teks yang berkembang selama perundingan di KTM13 belum mencerminkan hal tersebut. Namun, Indonesia siap melanjutkan perundingan dengan tetap berpegangan kepada kepentingan nasional,” ungkap Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan RI Djatmiko Bris Witjaksono belum lama ini.
Sebagai bagian dari ekosistem dunia, Indonesia merasa penting untuk mempertahankan isu subsidi perikanan, karena nasib nelayan dan tradisional akan sangat dipengaruhi oleh kesepakatan tersebut. Jika subsidi perikanan disepakati oleh forum KTM untuk dicabut, maka nasib nelayan kecil dan tradisional akan semakin terancam.
Baca juga : Subsidi Nelayan Kecil Terancam di WTO
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan Budi Sulistiyo mengatakan, pembahasan isu subsidi perikanan belum disepakati, karena memang ada perbedaan cara pandang antara kelompok negara maju, negara berkembang, dan negara kurang berkembang.
Perbedaan cara pandang itu muncul berkaitan dengan bahasan pelarangan pemberian subsidi yang diperkirakan bisa memicu terjadinya overcapacity dan overfishing. Namun, KKP memastikan akan mengawal aspirasi tersebut di forum Negotiating Group on Rules (NGR) di Jenewa, Swiss.
Menurut Budi Sulistiyo, subsidi untuk nelayan kecil merupakan aspirasi yang berasal dari Indonesia bersama kelompok negara berkembang dan negara kurang berkembang. Aspirasi digalang, karena Indonesia ingin nelayan yang menangkap ikan di wilayah yurisdiksi bisa tetap menerima subsidi perikanan.
Sementara, tentang nasib AKP Migran yang juga masih sama belum membaik, dijabarkan oleh Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto Suwarno belum lama ini. Menurutnya, salah satu sebabnya karena hingga sekarang belum ada aturan pelaksana berupa Peraturan Menteri berkaitan dengan tata laksana pelindungan dan penempatan AKP yang menjadi turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Perikanan Migran dan Awak Kapal Niaga Migran.
“Itu semakin menambah kerentanan dan berlanjutnya eksploitasi terhadap AKP asal Indonesia,” ucapnya
Ketidakjelasan aturan di dalam negeri, juga dinilai akan bisa melemahkan posisi dan diplomasi Indonesia di level internasional. Kondisi tersebut bahkan akan semakin memburuk, jika sejumlah instrumen internasional kunci seperti ILO C-188 yang masih belum dilakukan diratifikasi.
Kemudian, Greenpeace Indonesia juga menjabarkan secara rinci kenapa perlindungan kepada para AKP Indonesia saat ini masih lemah. Penyebabnya, karena jaminan hukum masih bersifat sangat umum, belum secara khusus ditujukan untuk AKP.
Hal tersebut membuat nasib para AKP selalu bergantung kepada perjanjian yang disepakati dengan pemilik kapal sebelum berangkat bekerja. Fakta tersebut menjadi ironi, karena peraturan perundang-undangan di Indonesia sebenarnya sudah ada, meski berlaku secara umum.
Selain UU 18/2017, ada juga Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi Hak Asasi Manusia Perikanan untuk melengkapi Permen KP 42/2016 tentang Perjanjian Kerja Laut Bagi Awak Kapal Perikanan.
Kemudian, ada juga UU 17/2008 tentang Pelayaran. Pada Pasal 151 dibahas tentang kesejahteraan para AKP yang meliputi gaji, jam kerja dan jam istirahat, jaminan pemberangkatan ke tempat tujuan dan pemulangan ke tempat asal, kompensasi apabila kapal tidak dapat beroperasi akibat mengalami kecelakaan, kesempatan untuk mengembangkan karier, pemberian akomodasi, fasilitas untuk rekreasi, nutrisi, dan pemeliharaan dan perawatan kesehatan serta pemberian asuransi kecelakaan kerja.
Terakhir, adalah UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang di dalamnya tidak ada klausul yang secara khusus mengatur tentang pelaut.
Secara umum, Koalisi Tim 9 melihat persoalan yang masih terjadi adalah lemahnya komitmen untuk jaminan perlindungan hukum, yang di dalamnya mencakup penyusunan Rancangan PP tentang Perlindungan AKP yang sejalan dengan standar internasional, serta ratifikasi ILO C-188.
Kemudian, perlunya dilaksanakan sinkronisasi antara pendidikan dan pelatihan bagi pelaut dan AKP yang sesuai dengan Konvensi Internasional tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi, dan Dinas Jaga Bagi Awak Kapal Penangkap Ikan (STCW-F).
Masalah berikut, adalah belum rapinya tata kelola yang mengatur perusahaan yang melaksanakan penempatan kerja bagi para pelaut dan AKP. Serta tidak adanya sumber data terpadu untuk menelusuri keberadaan pelaut dan AKP Indonesia yang bekerja KIA. (***)