Penelitian: Perubahan Iklim Berdampak Serius Terhadap Sektor Perikanan Indonesia

Sebagai salah satu negara penghasil ikan tangkapan di dunia, Indonesia, negeri dengan panjang pantai mencapai 81.000 kilometer dan memiliki kawasan laut seluas 5,8 juta kilometer persegi, sangat rentan terhadap perubahan iklim. Sektor perikanan yang memiliki peran penting secara sosial dan ekonomi, sangat terpengaruh erat dengan berbagai perubahan kondisi alam yang kini terus menekan hasil tangkapan ikan di laut. Berbagai faktor seperti ketidakpastian cuaca, kondisi cuaca ekstrem, kenaikan suhu permukaan laut (sea surface temperature-SST), naik turunnya harga bahan bakar serta perubahan arah angin, menurunkan tingkat produktivitas nelayan.

Perubahan iklim juga turut memengaruhi distribusi dan penyebaran ikan di laut, sementara kenaikan harga bahan bakar akan memengaruhi kesempatan nelayan untuk menangkap ikan seiring dengan pergeseran penyebaran ikan yang terus berubah akibat perubahan iklim.

Hal ini diungkapkan oleh peneliti dari Jurusan Ilmu Kelautan dan Teknologi, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan Institut Pertanian Bogor, Jonson Lumban Gaol dan Bisman Nababan, bersama sejumlah peneliti dari Departemen Kelautan dan Perikanan, Khairul Amri dan Aryo Hanggono, serta Orbia Roswintiarti dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.

Dalam penelitian  yang telah diterbitkan di terbitan resmi World Meteorological Organization ini, para peneliti tersebut melihat keterkaitan yang erat antara kenaikan suhu permukaan laut, dengan produksi ikan di kawasan perairan Indonesia. Kenaikan rata-rata suhu udara dalam tiga dekade terakhir sebesar sekitar 0,5 derajat celcius akibat emisi gas rumah kaca yang semakin memburuk menjadi penyebab perubahan iklim dan menurunnya jumlah tangkapan ikan di lautan. Dalam penelitian ini terungkap bahwa suhu udara mengalami kenaikan signifikan, dari sekitar 0,1 derajat celcius antara tahun 1951 hingga 1980, menjadi 0,5 derajat celcius dalam tiga dekade terakhir. JIka tidak ada upaya pencegahan lebih lanjut, diperkirakan kenaikan suhu udara mencapai 2,1 hingga 4,6 derajat celcius di tahun 2100 mendatang.

Hal senada juga terjadi dalam kandungan karbon dioksida di udara. Dari pantauan stasiun cuaca di Mauna Loa di Hawaii dan Kutub Selatan, kandungan karbon dioksida meningkat sangat drastis, dari 315 part per million di tahun 1959, menjadi 385 part per million tahun 2008 (hal ini menjadi ambang bahaya, mengingat batas aman kandungan CO2 di udara adalah 350 part per million).

Pengelolaan manajemen kelautan dan perikanan yang melibatkan masyarakat secara aktif, terbukti bisa memperbaiki taraf hidup masyarakat dan keberlangsungan sumber daya alam. Foto: Ripanto. WCS Indonesia
Pengelolaan manajemen kelautan dan perikanan yang melibatkan masyarakat secara aktif, terbukti bisa memperbaiki taraf hidup masyarakat dan keberlangsungan sumber daya alam. Foto: Ripanto. WCS Indonesia

Kondisi ini, sangat mempengaruhi kenaikan permukaan air laut yang ada di nusantara, yang secara umum berada di level 25 hingga 31 derajat celcius. Para peneliti melihat kondisi suhu permukaan laut dan konsentrasi chlorphyll-a (chl-a) di perairan Indonesia untuk menganalisa perubahan kondisi ini.

Secara umum, nilai suhu permukan laut (SST) di berbagai wilayah Indonesia, menurut hasil analisis yang dilakukan oleh para ahli, mengalami kenaikan. Dalam periode yang sama, nilai SST ini justru mengalami penurunan di Samudera Hindia di selatan Jawa, Selat Bali dan Laut Arafura.

Jika nilai SST naik di kebanyakan wilayah di Indonesia, kandungan chl-a jutsru mengalami penurunan di banyak wilayah, kecuali di Samudera Hindia, Selat Bali dan Laut Arafura, dimana kenaikan permukaan laut manjadi bukti yang nyata.

Bagi Indonesia, dampak perubahan iklim terhadap perikanan belum sepenuhnya dipahami. Namun dari hasil penelitian tentang perubahan iklim dan keterkaitannya dengan sektor perikanan secara global, menunjukkan bahwa hasil tangkapann ikan di Indonesia akan menurun sekitar 15 hingga 30 persen.

Berdasarkan terbitan yang dirilis oleh Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), tiga negara penghasil tuna terbesar dunia, Indonesia, Taiwan dan Jepang mengalami penurunan hasil tangkapan tuna antara tahun 1997 hingga 2010. Data satelit dai perioda yang sama juga menunjukkan bahwa jumlah fitoplankton yang berkurang drastis menjadi salah satu faktor turunnya hasil tangkapan tuna ini dalam periode tersebut.

Sementara data dari hasil tangkapan ikan secara lokal menunjukkan hasil yang sangat kontras di dua kawasan berbeda. Di perairan barat Sumatera yang tidak mengalami kenaikan permukaan laut, yang menjadi sentra penangkapan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares), tuna mata besar dan tuna skipjack (Katsuwanus pelamis), menunjukkan bahwa antara tahun 1994 hingga 2008 hasil tangkapan ikan mengalami penurunan. Para ahli berpendapat bahwa menurunnya suplai makanan bagi para ikan akibat pemanasan global menjadi salah satu penyebab utama.

Hal sebaliknya terjadi di Bali, produksi ikan sardin di Selat Bali mengalami kenaikan dalam 15 tahun terakhir. Di kawasan yang mengalami kenaikan permukaan laut ini menunjukkan adanya kelimpahan fitoplankton. Pemanasan global telah menyebabkan tekanan angin di permukaan laut, dan menyebabkan kenaikan permukaan laut di kawasan ini.

Di Indonesia, sarden memainkan peran penting dalam ekonomi nelayan di sekitar perairan Selat Bali, yang mewakili 90 persen dari produk perikanan di daerah. Umumnya, produksi sarden di Selat Bali meningkat dari Oktober sampai Januari, secara bertahap menurun pada bulan Februari. Namun pada 1997-1998 dan 2006-2007 pada hasil tangkapan sarden meningkat dari Oktober sampai Juli. Hal ini disebabkan tumbuhnya fitoplankton di tahun-tahun,tersebut dan ini adalah anomali positif fitoplankton terkait dengan kenaikan permukaan laut intens selama IODM.

Jika tidak, produksi ikan menurun tajam ketika konsentrasi fitoplankton yang terendah. Dengan demikian, kelimpahan fitoplankton membuat stok sarden di Selat Bal terus berkelanjutan.

Produksi sarden meningkat 200-300 persen pada 1997-1998 dan 2006-2007, dan ini benar-benar menghasilkan dampak negatif pada nelayan karena penurunan tajam pada harga ikan di pasaran. Kenaikan/penurunan produksi ikan karena variabilitas iklim dan perubahan harus dikelola dengan memberikan informasi mengenai kondisi-kondisi oseanografi yang mempengaruhi kelimpahan ikan. Misalnya, peningkatan kelimpahan ikan sarden di Selat Bali dapat diprediksi dari tren di CHL-a konsentrasi yang empat bulan sebelumnya. Jika anomali positif, empat bulan ke depan diperkirakan akan melihat kelimpahan ikan sarden.

Oleh karena itu, manajemen yang tepat diperlukan, seperti menyesuaikan jumlah kapal untuk menangkap ikan sehingga produksi ikan tidak akan berlebihan, menjaga beberapa kelebihan produksi untuk pengolahan ikan lebih lanjut, atau mendistribusikan kelebihan ikan ke daerah lain. Sebaliknya, selama anomali negatif konsentrasi Chl-a, dimana produksi ikan diperkirakan menurun ,sehingga perlu untuk mengatur pasokan dari daerah lain.

Di Indonesia, sistem informasi untuk memprediksi potensi lahan perikanan telah dikembangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Informasi ini merupakan layanan untuk para nelayan, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas upaya memancing. Peta yang dihasilkan dibuat menggunakan analisis data parameter oseanografi dari citra satelit dan data klimatologi multi-sensor dari Badan Meteorologi dan Klimatologi. Sistem informasi ini perlu ditingkatkan, khususnya dalam hal akurasi dalam peramalan potensi jangka panjang sumber daya ikan, khususnya untuk mengantisipasi dampak variabilitas iklim dan perubahan.

Variasi iklim dan perubahan tampaknya mempengaruhi produktivitas perikanan, dan ini kemungkinan akan membawa berbagai peluang dan tantangan pada sektor perikanan di Indonesia. Secara umum, pemanasan global menyebabkan penurunan produksi ikan di Indonesia. Namun, di daerah-daerah yang mengalami kenaikan permukaan laut, pemanasan global tampaknya meningkatkan produksi ikan akibat adanya kenaikan permukaan laut yang intensif.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,