Fredika Sulap Limbah jadi Cenderawasih Nan Indah

 

Burung cenderawasih itu tampak indah dan cantik. Berwarna warni.  Ia jadi beragam kerajinan dari hiasan kepala, gelang, kalung, bros sampai pajangan di rumah. Itulah hasil kerajinan cenderawasih Fredika Rumkorem.

Meskipun cenderawasih banyak berjejer, tak perlu khawatir bakal bikin cenderawih makin terancam karena kerajinan bukan berbahan burung asli tetapi imitasi.

Sejak tahun 1990-an, jauh sebelum Gubernur Papua, keluarkan surat larangan pakai cenderawasih sebagai asesoris dan cinderamata baru-baru ini, Rumkorem sudah bikin cenderawasih imitasi.

Biasa, cenderawasih awetan jadi asesoris dan cinderamata. Sadar kebiasaan mengancam keberadaan burung langka ini, Gubernur Papua, bikin larangan.

 

Gelang cenderawasih imitasi. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Kakak Dika, begitu biasa dipanggil, mendapatkan ilmu bikin cenderawasih imitasi dari sang tante, Maria Rumkorem.

Bahan-bahan untuk bikin kerajinan cenderawasih ini sebagian besar limbah, seperti sisik ikan dan gabah.

Tubuh cenderawasih, katanya, dari gabus bekas dan potongan-potongan kain dari penjahit. Bahan lain antara lain kulit bia (kerang), biji-bijian, kulit kayu, dan bulu ayam.

Kini, Dika bisa mandiri, produksi karya dan menjual langsung. Dia sudah sering ikut beragam pameran seperti di Anjungan Biak Expo Waena Jayapura, belum lama ini.

Dika bilang, banyak mendapat apresiasi dari pembeli atas karya ini. Tak jarang mereka memberi masukan-masukan positif.  “Dua bulan lalu saya mengikuti pameran empat tahun kepemimpinan Gubernur Lukas Enembe. Gubernur terinspirasi. Katanya harus kita memakai yang imitasi biar melestarikan yang asli, tak usah diburu lagi.”

Dalam bikin beragam kerajinan ini, Dika, kadang berhadapan dengan keterbatasan waktu, modal kecil dan bahan dasar kurang. Persoalan-persoalan ini, katanya,  cukup menyulitkan kala akan menerima permintaan dalam jumlah besar.

Dika berusaha melatih orang-orang baru untuk melakukan hal serupa tetapi banyak gagal. Pekerjaan ini, katanya, perlu ketekunan dan kesabaran.

“Ini imitasi jadi harus bagus, bersih, dan cantik. Kita jual dan orang bisa suka, melihatnya sama dengan asli.”

Tantangan lain, katanya, dalam mempromosikan hasil karya. Sejauh ini,  dia mengikuti pameran dan berjualan keliling antara lain di airpor, pasar, dan pinggir jalan.

“Saya tidak malu karena sadar saya juga sedang sosialisasi kepada masyarakat dan siapapun (tak pakai sovenir dengan cenderawasih asli).”

Dika berencana, membuat imitasi berbagai jenis cenderawasih yang ada di Papua. Hingga kini, baru tiga jenis cenderawasih dia pernah lihat langsung dan sudah dibuatkan imitasi, yaitu cenderawasih berwarna kuning, oranye dan biru.

Harga kerajinan Dika cukup terjangkau. Untuk hias kepala ada seharga Rp100.000-Rp250.000, gelang dan kalung rata-rata Rp50.000.

Hasil penjualan kerajinan, katanya, untuk kebutuhan sehari-hari maupun membiayai kuliahnya di Jurusan Tari Institut Seni dan Budaya Tanah Papua.

Dia berharap baik lewat tari maupun kerajinan tangan, dia bisa menyampaikan pesan lingkungan terutama penyelamatan cenderawasih di Tanah Papua.

Cenderawasih, katanya, sama seperti manusia, seperti orang Papua. “Hilang cenderawasih berarti hilang orang Papua. Cenderawasih itu juga biasa dorang sebut burung surga, orang Biak bilang mambesak, burung emas, burung itu selalu memberikan cahaya kepada manusia.”

 

Contoh asesoris asli dari bulu cenderawasih dan mambruk. Ini hanya bulu, biasa plus badan burung. Ada juga cenderwasih awetan. Beberapa bulan lalu, Gubernur Papua, keluarkan edaran larangan asesoris dan cinderamata dari cenderawasih asli. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Kalung cenderawasih imitasi. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,