- LSI [Lembaga Survei Indonesia] melakukan survei terkait pengelolaan sumber daya alam [SDA] di Indonesia. Hasilnya mengejutkan. Misalnya, mayoritas responden lebih prihatin persoalan korupsi dibandingkan kerusakan lingkungan terkait pengelolaan SDA.
- Survei LSI ini dipertanyakan. Misalnya, kategorisasi sub-sektor SDA agak campur aduk, dan kategori wilayah yang kaya SDA dengan tingkat korupsinya.
- Responden di Kalimantan Timur tampak paling banyak menilai luas korupsi di berbagai bidang SDA, baik dikelola perusahaan Indonesia maupun asing, dibandingkan responden di Sumatera Selatan, Jawa Tengah, dan Sulawesi Utara.
- Terkait persepsi pengelolaan SDA, mayoritas responden mempercayakan BUMN dan koperasi warga yang paling pantas mengelola SDA dibandingkan asing.
Sebuah survei terkait pengelolaan sumber daya alam [SDA] di Indonesia dilakukan LSI [Lembaga Survei Indonesia]. Hasilnya cukup mengejutkan. Misalnya, mayoritas responden lebih prihatin persoalan korupsi, lapangan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi, dibandingkan kerusakan lingkungan, perubahan iklim dan demokrasi.
Selain itu, meskipun sebagian responden percaya korupsi juga dilakukan penyelenggara pemerintahan, tapi mereka lebih percaya pengelolaan SDA dilakukan Pemerintah Indonesia dibandingkan asing.
Dalam survei ini, LSI memetakan enam masalah terkait pengelolaan SDA di Indonesia, yakni korupsi, lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, kerusakan lingkungan, demokrasi, dan perubahan iklim.
“Secara umum, publik [responden] sangat atau prihatin dengan enam masalah yang ada. Masalah korupsi, lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi paling banyak mengundang keprihatinan publik. Sedangkan kerusakan lingkungan, demokrasi, dan perubahan iklim lebih rendah tingkat keprihatinannya,” kata Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif LSI dalam “Rilis Survei Nasional: Persepsi Publik atas Pengelolaan dan Potensi Korupsi Sektor Sumber Daya Alam”, Minggu [08/8/2021].
Terkait pengelolaan SDA, LSI menyimpulkan, “Mayoritas publik bersikap positif terhadap pemerintah dalam menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan masalah lingkungan. Mereka percaya pemerintah dapat menjaga lingkungan, meski mereka juga setuju bahwa pemerintah lebih memperhatikan pertumbuhan ekonomi,” ujar Djayadi Hanan.
Survei ini dengan sampel basis nasional sebanyak 1.200 responden. Namun, ada tambahan sampel di empat provinsi yakni Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara, masing-masing 400 responden.
Dipilihnya responden tambahan dikarenakan Kalimantan Timur merupakan wilayah kaya SDA dan tinggi tingkat korupsi; Sumatera Selatan yang kaya SDA rendah tingkat korupsi; Sulawesi Utara yang tidak kaya SDA tapi tinggi tingkat korupsi; serta Jawa Tengah rendah SDA dan rendah pula korupsinya.
Responden yang dipilih tidak semua terkait langsung dengan masalah pengelolaan SDA, seperti masyarakat desa, mahasiswa dan akademisi [dosen], yang selama ini banyak menyuarakan persoalan tersebut. Atau pelaku usaha, pegawai swasta, pegawai negeri, dan wiraswasta yang terkait aktivitas pengelolaan sumber daya alam, juga buruh kasar, pekerja tidak tetap, sopir, ojek, pedagang kaki lima, pengangguran, professional, dan ibu rumah tangga, yang kemungkinan merupakan masyarakat perkotaan atau urban.
Baca: Tamaknya Manusia Kuasai Sumber Daya Alam
Alue Dohong, Wakil Menteri LHK, menilai survei yang dilakukan LSI ada hal positif [bagi pemerintah]. Pertama, publik percaya bahwa pemerintah mampu menyeimbangkan antara isu pertumbuhan ekonomi dan isu pengelolaan lingkungan hidup. Kedua, publik percaya kalau pemerintah mampu mengelola SDA.
“Jadi, saya pikir ini modal yang baik bagi pemerintah untuk memperbaiki pengelolaan sumber daya alam ke depannya,” katanya.
Publik juga mempunyai sense of belongings [rasa memiliki] terhadap pemerintah maupun dunia swasta di Indonesia. Artinya, mereka punya rasa percaya diri sangat tinggi, bahwa swasta, BUMN dan koperasi masyarakat, itu mampu mengelola sumber daya alamnya sendiri, di dalam negeri.
Terkait sejumlah temuan LSI, Alue menilai masyarakat, terutama knowledge masyarakat, terhadap pengelolaan di sektor tambang dan kebun masih rendah.
“Ini menjadi tantangan kita ke depan, bagaimana transparansi, bagaimana pemerintah, misalnya di sektor pertambangan, perikanan, perkebunan, dan pengelolaan limbah dan sampah, harus kita kuatkan di ruang publik. Dengan begitu, masyarakat punya literasi yang bagus di sektor-sektor itu sehingga tentunya akan lebih memahami lagi, apa manfaatnya bagi ekonomi Indonesia juga bagimana mengelola lingkungan hidup bagi sektor tersebut.”
Baca: Ekosofi, Era Baru Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Indonesia
Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi [Wahana Lingkungan Hidup Indonesia], menilai [survei LSI] dengan kategorisasi sub-sektor SDA agak campur aduk. Misal, pertambangan dicampur antara migas, tambang minerba, dan tambang “Gol-C”, seperti pasir dan batu.
Lalu, perkebunan dicampur antara sawit dan karet, yang secara struktur kepemilikan umum agak berbeda, sehingga akan membingungkan publik yang diberi pertanyaan. Di Indonesia juga, kepemilikan perkebunan karet didominasi rakyat, sedangkan sawit korporasi.
Ada kategori “penangkapan dan ekspor margasatwa” dan “pemrosesan dan impor sampah”. Bagi yang membaca survei, munculnya kategori ini, akan menimbulkan pertanyaan. Sementara di hasil suvei margasatwa, juga terdapat hasil tentang tumbuhan, padahal margasatwa pasti hanya tentang satwa. Kategori-kategori ini juga kurang match dengan SDA lainnya.
Di sisi lain, sektor kehutanan justru tidak ditanyakan. Jika melihat Nota Sintesis GNPSDA-KPK 2018, 4 sektor SDA non-migas yang dilihat adalah kehutanan, perkebunan, pertambangan, dan perikanan.
Kemudian, ketika jenis pertambangan yang dimasukkan pada pertanyaan juga meliputi tambang pasir dan batu. Mengapa sektor yang diteliti –relevansinya dengan konflik agraria? infrastruktur adalah sektor ketiga tertinggi yang mengakibatkan konflik, setelah perkebunan dan kehutanan.
Baca: Pelemahan KPK Untungkan Mafia Sumber Daya Alam
Kalimantan Timur
Dalam hal potensi korupsi SDA, LSI menyimpulkan, berdasarkan responden nasional korupsi cukup luas terjadi. Banyak yang menilai penangkapan ikan oleh kapal asing dan pertambangan yang dikelola perusahaan asing dan BUMN/BUMD sangat luas korupsinya, dibandingkan perkebunan dan lainnya.
Responden di Kalimantan Timur tampak paling banyak menilai luas korupsi di berbagai bidang SDA, baik dikelola perusahaan Indonesia maupun asing, dibandingkan responden di Sumatera Selatan, Jawa Tengah dan Sulawesi Utara. Ini terkait perkebunan sawit, perkebunan karet, penangkapan ikan, impor atau perdagangan sampah, pertambangan [emas, tembaga, batubara, pasir, batu], serta penangkapan dan ekspor margastwa [satwa dan tanaman].
Isran Noor, Gubernur Kalimantan Timur, berharap survei yang dilakukan LSI tidak tendesius dalam pemilihan lokasi. “Mudah-mudahan jangan,” katanya.
Hitung-hitungannya, dari mana dapatnya [lokasi survei]. Kalau ada Kaltim, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Utara, bagaimana daerah lain? Bagaimana hitungannya, terkait korelasi antara sumber daya alam yang besar dengan tingkat korupsi. Apa hitungannya terkait dengan orang yang melakukan korupsi, atau jumlah yang dikorupsi?
“Jadi, menurut saya, selama ini pengelolaan sumber daya alam terbarukan maupun yang tidak terbarukan di Kalimantan Timur, dikelola dengan atau sesuai kaidah lingkungan. Setahu saya seperti itu,” jelasnya.
Kalau perusahaan mendapat izin, apakah itu BUMN, BUMD, swasta ataupun asing, persyaratannya adalah bagaimana perencanaan pengelolaan lingkungannya. Tidak ada masalah, karena sesuai prosedur.
Kalau perusahaan melakukan usaha-usaha ilegal, seperti sekarang ini, ada pengusahaan- tambang ilegal, itu yang merusak lingkungan. Ini bukan tidak salah, mereka yang melakukan illegal mining, itu hak mereka dalam tanda kutip.
“Karena harga batubara, selama 11 tahun terakhir paling tinggi. Perizinan atau kewenangan ditarik ke Jakarta, atas dasar UU No 3 tahun 2020, jadi maju pertambangan. Kalau bicara kewajiban, saya tidak mau bicara kewajiban, karena kewajiban itu ada pada mereka, ketika pemerintah mengatur sebuah kewajiban. Bagaimana cara mereka berizin, bagaimana cara mengawasi,” terangnya.
Alue juga mempertanyakan daerah yang kaya SDA terkait kecendrungan korupsinya tinggi [Kalimantan Timur]. Misalnya di mana tingkat korupsinya. “Ini yang perlu kita dalami kedepannya.”
Nur Hidayati turut mempertanyakan kategori provinsi dengan tingkat korupsi tinggi atau rendah. Katanya, menurut KPK [2020]; berdasarkan data 2014-2019, dari daftar provinsi terkorup, Jateng di urutan ke-7 dengan 49 kasus. Sumsel dan Kaltim di urutan ke-10 dengan masing-masing 22 kasus, sementara Sulut tidak masuk 10 besar versi KPK.
Baca: Periode Kedua, Presiden Jokowi Diminta Fokus Benahi Tata Kelola Sumber Daya Alam
Tidak merusak lingkungan
Terkait pertambangan, disebutkan LSI dalam surveinya, sekitar 12% responden tahu sektor pertambangan. sebanyak 48% menganggap hanya sebagian kecil atau hampir tidak ada perusahaan pertambangan yang patuh terhadap aturan perizinan.
Bahkan, mayoritas responden menilai ada keterkaitan antara elit politik dan industri pertambangan. Publik terbelah antara yang menilai perusahaan pertambangan merusak lingkungan tetapi memberi manfaat yang lebih besar. Sebagian besar cenderung tidak setuju jika perusahaan dikatakan tidak merusak lingkungan sehingga tidak perlu dikhawatirkan.
Perkebunan [sawit, karet dan lainnya], sekitar 53% yang tahu menganggap hampir semua atau sebagian besar perusahaan perkebunan patuh terhadap aturan perizininan.
Dari yang tahu perkebunan, umumnya bersikap positif pada perusahaan perkebunan, yakni tidak membahayakan lingkungan dan perusahaan perkebunan memiliki manfaat lebih besar dari kerusakan yang ditimbulkannya. Meskipun, mayoritas publik juga menilai terdapat keterkaitan antara elit politik dan industri perkebunan.
Herdiyansah, Kadis ESDM Sumatera Selatan, berterima kasih [kepada LSI], karena hasil survei ini menjawab sejumlah pertanyaan publik terkait penilaian bahwa pengelolaan SDA pertambangan cenderung merusak lingkungan. Juga, cenderung merugikan pemerintah dan masyarakat.
“Hari ini, survei menjawab, tidak semua masyarakat menganggap kegiatan pertambang merusak lingkungan. Akan tetapi ada manfaat lebih besar, dalam mendukung pertumbuhan ekonomi.”
Baca juga: Pesta Demokrasi yang Korup Picu Gadaikan Sumber Daya Alam
Pembatasan investasi asing
Selanjutnya, terkait persepsi pengelolaan SDA, mayoritas responden mempercayakan BUMN dan koperasi warga yang dinilai paling pantas mengelola SDA dibandingkan asing. Yaitu, pada bidang pertambangan [44%], penangkapan dan ekspor margasatwa [32%], serta pemrosesan dan impor sampah [31%]. Sedangkan Koperasi Warga paling banyak dinilai cocok mengelola penangkapan ikan dan sumber daya laut [38%].
Terkait investasi asing dan SDA, LSI menyimpulkan, mayoritas publik lebih setuju pembatasan investasi asing. Paling banyak pembatasan pada pertambangan, penangkapan ikan dan sumber daya laut, kemudian perkebunan, penangkapan dan ekspor margasatwa, serta perdagangan dan impor sampah.
Sementara yang setuju atau sangat setuju pembatasan investasi asing, paling banyak beralasan perusahaan asing bekerja untuk kepentingan mereka sendiri, tidak untuk kebaikan rakyat Indonesia [30%]. Selanjutnya, karena Indonesia lebih mandiri jika mengelola sendiri [27%], serta pendapatan Indonesia akan lebih besar jika mengelola sendiri SDA-nya [26%]. Sedangkan alasan perusahaan asing menimbulkan lebih banyak polusi dan korup lebih sedikit disebut [masing-masing 9% dan 4%].
Nur Hidayati menilai, hasil survei ini bertentangan dengan sejumlah keinginan atau kecenderungan pemerintah sekarang. Misalnya, pemerintah ingin memberikan kepada pengusaha dalam pengelolaan SDA, serta pemerintah yang sangat getol mengundang investasi asing; bahkan membuat omnibus law yang sangat kontroversial. Alasan ketidaksetujuan didominasi oleh sentiment “nasionalisme” dibandingkan alasan dampak lingkungan.
“Namun ternyata, ketika di satu sisi responden lebih percaya SDA dikelola entitas dalam negeri dibandingkan asing, karena dianggap lebih mewakili kepentingan rakyat, memberi keuntungan, dan kemandirian. Persepsi korupsinya ternyata tidak tergantung pada kepemilikan atau pengelola usaha tersebut.”
Jadi, mungkin perlu dicek, apakah sentiment nasionalisme yang besar ini dapat berujung pada lebih pesimisnya publik pada praktik korupsi yang dilakukan oleh badan usaha dalam negeri, dibandingkan entitas asing?
“Walaupun persepsi korupsi dianggap meningkat oleh sebagian besar responden, namun responden tetap percaya kepada pemerintah dalam urusan ekonomi dan lingkungan. Jika pertanyaan tentang kepercayaan ini diletakkan di akhir, apakah akan ada perubahan persepsi?” paparnya.
Walalupun hanya sebagian kecil responden memiliki pengetahuan tentang sektor-sektor SDA, namun responden memiliki pandangan kaitan sektor-sektor SDA dengan elit-elit politik pemerintahan dan parlemen, baik pusat mamupun daerah.
Menurut dia, dampak kerusakan lingkungan akibat eksploitasi yang tidak bertanggung jawab, seperti pertambangan hanya meninggalkan lubang tambang yang tidak direklamasi. “Akhirnya, menjadi beban pemerintah sekaligus beban rakyat, dari pajak dan sebagainya,” tegasnya.