- Bencana banjir dan longsor kembali terjadi di Sulawesi Selatan, Jumat dini hari (3/5/2024), menyebabkan 14 orang korban jiwa, puluhan rumah tertimbun longsor, dan ratusan warga mengungsi.
- Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Basarnas) Makassar telah mengerahkan 27 anggota tim rescue bergabung dengan tim lain yang dibentuk pemprov, pemda, Polri/TNI dan tim rescue
- Aktivis menilai selama ini hampir tidak ada proses mitigasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah, misalnya laju pembukaan lahan masih saja terjadi
- Masyarakat adat mampu menjaga alam karena hampir tidak pernah melakukan ekstensifikasi melampaui daya dukung, di mana mereka hanya petani subsisten, sekedar memenuhi kebutuhan domestik.
Hujan dengan intensitas tinggi sebabkan bencana banjir dan longsor di sejumlah daerah di Sulawesi Selatan, Jumat dini hari (3/5/2024), mengakibatkan delapan orang korban jiwa, puluhan rumah tertimbun longsor, dan ratusan warga mengungsi. Tujuh daerah yang terdampak adalah Kabupaten Luwu, Sidrap, Pinrang, Wajo, Enrekang, Bone dan Sinjai.
Salah satu daerah yang paling parah terdampak terjadi Desa Pajang dan Buntu Sarek, Kecamatan Latomojong, Kabupaten Luwu di mana terjadi banjir dan longsor yang mengakibatkan tertutupnya akses jalan. Di Desa Pajang sebanyak 5 rumah tertimbun tanah tanpa korban jiwa, sementara di Desa Buntu Sarek diketahui menelan 5 korban jiwa. Sejumlah jembatan juga diketahui terputus tertimbun longsor.
Dari sejumlah video yang beredar di media sosial dan grup Whatsapp Media Basarnas Makassar, terlihat sejumlah warga berteriak meminta pertolongan kepada Basarnas. Video lain, seorang ibu terlihat histeris melihat bangunan rumahnya yang tertimbun longsor.
Penjabat Gubernur Sulsel, Bahtiar Baharuddin, telah menginstruksikan kepada instansi terkait untuk turun langsung melakukan penanganan, termasuk koordinasi dengan pemerintah setempat dan jajaran Forkopimda.
“Atas nama pemerintah provinsi dan masyarakat Sulsel kami menyampaikan turut berduka cita atas apa yang menimpa saudara-saudara kita,” ungkap Bahtiar dalam rilis kepada media.
Baca : Longsor di Tana Toraja Telan Korban 20 Jiwa, Aktivis Sarankan Ini
Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Basarnas) Makassar telah mengerahkan 27 anggota tim rescue bergabung dengan tim lain yang dibentuk pemprov, pemda, Polri/TNI dan tim rescue lainnya.
“Hingga 3 Mei ini korban yang telah kami evakuasi sebanyak 14 orang di Kabupaten Wajo dan sebagian masih pencarian sementara pendataan, di Sidrap selamat 17 orang dan korban pencarian masih dalam pendataan. Di Luwu selamat 60 orang, 7 orang dan Sebagian yang hilang masih pendataan,” ungkap Mexianus Bekabel, Kepala Basarnas Makassar.
Dari ketiga kabupaten tersebut, data yang diperoleh total 91 orang selamat, 15 orang meninggal dunia, dan dalam pencarian masih pendataan. Identitas korban tanah longsor meninggal dunia di Desa Buntu Sarek adalah Rumpak (97), Jatima (55), Mawi (57), Sukma (9). Selanjutnya Rima (84), Muh Misdar (29) dan Kapila (84). Sedangkan di Sidrap satu orang bernama H. Ali warga Desa Belawae, Kecamatan Pitu Riase.
Banjir dan longsor ini adalah kali kesekian terjadi di Sulsel. Terparah terjadi pada 13 April 2024 silam, di mana longsor di dua desa di Kabupaten Tana Toraja, telah menelan korban jiwa sebanyak 20 orang.
Tak Ada Mitigasi Pemda
Terkait kondisi banjir dan longsor di Kabupaten Luwu, sebagai daerah terparah terkena dampak, Direktur Perkumpulan Wallacea, Hamsaluddin menilai selama ini hampir tidak ada proses mitigasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah, misalnya laju pembukaan lahan masih saja terjadi.
“Sebenarnya bencana banjir yang terjadi di Luwu bukan sesuatu yang di luar prediksi, bahkan sudah banyak yang mengeluarkan pernyataan dan kajian bahwa Luwu ini memiliki potensi banjir yang sangat tinggi,” katanya.
Dalam analisa Perkumpulan Wallacea dalam rentan tiga tahun, 2016 – 2019, terjadi perubahan tutupan lahan pada hutan primer seluas 20.000 hektare yang disinyalir menjadi perkebunan.
“Kondisi ini tidak akan berhenti dan bahkan akan semakin parah dengan adanya faktor-faktor lain selain pembukaan lahan untuk perkebunan, misalnya tambang pasir, tambang ilegal, dan rencana pertambangan emas yang akan dilakukan PT. Masmindo Dwi Area,” katanya.
Baca juga : Curah Hujan dan Kerusakan Lingkungan adalah Paket Pemicu Bencana Banjir dan Longsor
Ia berharap pemerintah dapat melakukan pengendalian pembukaan lahan di wilayah hulu, memberikan edukasi terhadap masyarakat yang beraktivitas di daerah hulu atau di sekitaran bantaran sungai, baik itu yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Suso dan Paremang, dan normalisasi sungai, sekaligus melakukan pengawasan terhadap pertambangan PT. Masmindo yang saat ini mulai beroperasi.
“Di dua DAS tersebut harus dilakukan normalisasi karena tidak bisa dipungkiri dua DAS ini kondisinya sangat kritis karena banyaknya sedimentasi, apa lagi jika aktivitas pertambangan PT Masmindo sudah beroperasi, maka berpotensi memperparah sedimentasi di kedua DAS tersebut,” tambahnya.
Adopsi Cara Hidup Masyarakat Adat
Dr. Yahya, antropolog dari Universitas Hasanuddin, mengamini apa yang disampaikan Hamsaluddin terkait sikap pemerintah selama ini yang cenderung memberi keleluasaan dalam pembukaan lahan, yang paling seringnya adalah tanaman monokultur.
“Atas nama peningkatan kesejahteraan, pemerintah memberikan izin pembukaan lahan untuk ditanami tanaman industrial. Hampir semua tanaman industrial itu monokultur, seperti kakao, sawit dan jagung. Jagung ini melihat tegakan lain di sekitarnya sebagai gulma. Di saat yang sama pemerintah juga memberikan izin ekstraktif berupa tambang-tambang, memperparah kondisi yang ada.”
Menurut Yahya, kedua hal inilah menjadi sebab bencana sering terjadi. Masyarakat dalam hal ini hanya menjadi pion, yang dikendalikan oleh ideologi pasar yang kapitalistik.
Menurutnya, pertanian dengan tanaman industrial telah memaksa produksi dalam skala besar, sehingga masyarakat pun melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dilakukan dengan penggunaan input kimiawi berupa pupuk dan pestisida dalam skala besar, sementara ekstensifikasi melalui pembukaan lahan-lahan baru yang kemudian menyebabkan deforestasi.
“Masyarakat dipaksa menggunakan bibit-bibit unggul yang hasilnya bisa sangat besar namun butuh input kimiawi yang besar. Ketika tanah tidak produktif lagi karena rusak akibat input kimiawi yang besar dan terus menerus maka di situlah mereka harus membuka lahan baru atau meninggalkan sektor pertanian, menjadi buruh atau sebagai pekerja harian di kota-kota.”
Baca juga : Banjir dan Longsor di Sulsel, Pemda Dinilai Abai pada Hasil Kajian
Menurut Yahya, dalam menjaga alam pemerintah seharusnya mengadopsi cara hidup masyarakat adat yang tidak merusak karena orientasinya mendayagunakan sumber daya sekedar memenuhi kebutuhan domestik, bukan untuk pasar.
“Penting mengapresiasi cara hidup masyarakat hidup masyarakat adat yang berbeda, jangan semua yang diusung adalah pertanian industrial sebagai kelanjutan dari revolusi hijau, atas nama kemajuan dan kesejahteraan,” tambahnya.
Menurutnya, masyarakat adat mampu menjaga alam karena hampir tidak pernah melakukan ekstensifikasi melampaui daya dukung, di mana mereka hanya petani subsisten, sekedar memenuhi kebutuhan domestik.
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan hubungan positif antara tingkat keterlibatan masyarakat adat dan lokasl dalam upaya konservasi dan pencapaian hasil ekologi dan/atau sosial, lintas wilayah dan ekosistem. (***)
Banjir dan Longsor Landa Sulsel Bukti Ketidakseriusan Pemerintah Kelola Kebencanaan