PLANG nama perusahaan terpampang di pinggir jalan masuk kawasan perkebunan. “PT Bumi Pratama Khatulistiwa (Member of Wilmar International Limited).” Di belakang plang, gerbang masuk “Selamat Jalan” dengan logo PT BPK. Ada satu pos penjagaan. Pagi itu, saya berkendara motor, melalui jalan perkebunan yang bertanah merah padat, dan rata, dengan lebar sekitar delapan meter.
Tampak di kiri jalan deretan kebun sawit. Di kanan jalan, mess perusahaan dan hamparan bibit-bibit sawit. Motor terus melaju. Makin ke dalam, kiri kanan pohon sawit. Saya bersama dua teman, menuju Desa Sungai Enau, Kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Kubu Raya (KKR). Ia berada di ujung perkebunan inti.
Di Kalimantan Barat (Kalbar), kebun sawit Wilmar Group ada 19 perusahaan dengan luas izin 223.120 hektare, tersebar di lima kabupaten, Sambas, Landak, Bengkayang, Sanggau dan Kubu Raya.
PT BPK di Kabupaten Kubu Raya, ada di dua wilayah kecamatan: Sungai Ambawang di Desa Mega Timur dan di Kuala Mandor B meliputi Desa Sungai Enau, Desa Kuala Mandor B dan Desa Kubu Padi. Berdasarkan data Dinas Perkebunan Kalbar, luas izin kebun perusahaan ini per Juni 2011 mencapai 15.000 hektar.
Namun, berdasarkan izin: 400/05-IL/95 tertanggal 5 Juni 1995 luas konsesi 18.312,96 hektar. Ber-HGU hanya 4.814, 95 hektar ditetapkan sejak 1996 . PT. BPK dilengkapi satu unit pabrik tandan buah segar (TBS) dengan kapasitas 30 ton TBS per jam terletak di Kampung Sungai Tempayan, Desa Mega Timur, Kecamatan Sungai Ambawang. Persis di tepi Sungai Landak.
Dalam perjalanan saya, di bagian akhir kebun inti, perusahaan baru membuka lahan. Tampak tumpukan-tumpukan tanah berbaur dengan sisa-sisa pepohonan. Namun, di petak-petak lahan itu, saya jumpai beberapa plang tertera nama dan luas tanah yang diklaim warga. “Tanah milik Bersikin BA, 50 x 200” begitu salah satu bunyi plang dari papan itu.
Kala memasuki perkampungan warga, kondisi berbeda mulai kelihatan. Pepohonan beragam. Ada karet, rambutan, nangka, durian, sawit sampai lada dan lain-lain. Perbedaan menyolok lain, jalan utama warga masih tanah diberi kayu. Sayangnya, kayu-kayu itu tak banyak membantu di atas tanah bergambut. Badan jalan belubang lebar sana sini. Motor tak bisa melaju cepat. Jika panas, debu memenuhi kendaraan, tubuh dan pakaian. Kala hujan, jalan licin dan berbahaya.
“Bisa dilihat dari batas kebun inti perusahaan itu, jalan rusak. Janji mau dikasih tanah merah untuk jalan, sampai sekarang mana ada,” kata Nawawi, Wakil Ketua Kelompok Masyarakat Tenaga Baru kepada Mongabay.co.id, akhir Agustus 2012.
Menurut dia, warga memperbaiki jalan sesuai kemampuan, bergotong royong memasang kayu sebagai pengeras jalan. “Warga bikin ambangan (memasang kayu di badan jalan), enak-enak perusahaan memanfaatkan tanpa ada bantu. Perusahaan tak tahu malu,” ujar dia.
Saat masuk 1996, berbekal izin konsesi, perusahaan ‘menduduki’ lahan-lahan masyarakat adat dan warga lokal di sana. ‘Uang kepak lelah’ berkisar Rp175 ribu-Rp425 ribu per hektar diberikan sebagai tanda pelepasan lahan dengan dalih 25 tahun dikembalikan. Pohon-pohon di hutan mulai ditebang.
Warga terus berjuang sampai saat ini. Seperti, di Parit Tenaga Baru, pada 28 Maret 2011, sekitar 500 an warga aksi. Lalu terjadi pertemuan antara PT BPK, Muspika Kuala Mandor B, Kades Sungai Enau dan masyarakat.
Akhirnya disepakati lahan warga diganti Rp1,2 juta per hektar, dengan beberapa catatan. Warga mau melepas lahan awal tahun ini, dengan beberapa kesepakatan, seperti perbaikan jalan dengan tanah merah, pembuatan sarana air bersih, sampai memperhatikan masyarakat sekitar sebagai pekerja di kebun. Namun, permintaan petani yang sudah diamini perusahaan ini belum terealisasi.
Pemberian tanah merah baru ada di Parit Kongsi, Desa Sungai Enau, sekitar 800 meter dari janji tiga kilometer. “Itupun cuma tanah merah saja. Bahan yang lain warga gotong royong,” kata Ali, tokoh masyarakat yang tinggal di Parit Kongsi.
Nawawi mengatakan, masyarakat lokal bekerja di perusahaan dipersulit. “Mana ada orang kampung sini jadi manajer. Tak ada. Orang luar saja. Orang sini jadi kuli saja.”
Bambang Haryono, Ketua Kelompok Tani Desa Sungai Enau, mengatakan, perusahaan tidak mengindahkan kesepakatan yang sudah dibuat pada Februari 2012. Warga protes dengan aksi dan lapor ke pemerintah daerah. Pada 9 Juli 2012, Kelompok Tani Sungai Enau mengirim surat kepada Bupati KKR, untuk mengadukan ingar janji perusahaan.
Pelalaian perusahaan juga disampaikan ke Muspika. Warga disarankan membuat surat peringatan ke perusahaan sebanyak tiga kali. “Kita sesuai prosedur, surat teguran tiga kali disampaikan tapi diabaikan,” katanya.
Mereka pun memberikan batas waktu pada perusahaan sampai 12 Agustus 2012. Batas waktu lewat tetapi tetap tak ada tanda-tanda perusahaan menepati janji. Saat, akhir Agustus perusahaan masih ingkar janji wargapun bergerak menahan lahan. “Kami masih tak mau frontal dan anarkis. Menghindari pelibatan massa yang besar, langkah pertama, hanya ketua-ketua dan beberapa orang yang menahan lahan sekitar 2.000 an hektare,” ujar dia.
Kini, warga menahan kembali sekitar 4.000 hektar dan baru akan dilepas jika perusahaan menenuhi janji. Pada Oktober, warga berencana aksi lagi tetapi dibatalkan. “Pak Camat bilang suruh tahan. Perusahaan bilang menunggu periode Januari (2013). Oke kami tunggu, walaupun itu janji lisan,” ucap Bambang, Senin(26/11/12).
Warga ada yang bersedia menerima dana ‘pelepasan’ lahan Rp1,2 juta per hektar, tetapi ada juga yang tak mau. Saderi alias Yusuf, warga Parit Tenaga Baru, menolak menyerahkan lahan sekitar 242 hektar. Dia menilai, sejak awal proses pelepasan penuh tipu daya. Ayahnya dulu, Pak Selatan, tak pernah tanda tangan persetujuan penyerahan lahan. Namun, dalam daftar warga penyerah lahan namanya tertera.
“Jadi, sampai sekarang saya masih memperjuangkan lahan ayah saya,” ucap Saderi. Saderi juga Ketua Kelompok Masyarakat Tenaga Baru yang dipercaya menangani sekitar 2.000 hektar lahan warga. Kini, semua lahan yang dia tangani kembali diklaim. Bagian II