,

84 Kasus Konflik Pertanahan di Sumatera Selatan masih Terjadi. Dapatkah Diselesaikan Melalui Mediasi?

Konflik lahan atau pertanahan antara masyarakat dengan perusahaan di Sumatera Selatan masih tinggi. Tercatat 84 kasus, yang didominasi sektor perkebunan sebanyak 72 kasus. Dapatkah konflik tersebut diselesaikan melalui mediasi?

Ikhwanuddin, Kepala Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol-Linmas) Sumatera Selatan menjelaskan, hingga tahun 2014 tercatat 84 kasus pertanahan di Sumsel. Konflik tersebut menyebar di 13 kabupaten dan kota.

“Sebanyak 72 di antaranya merupakan konflik lahan perkebunan, 8 konflik lahan pertambangan, 3 konflik HTI, dan 1 konflik di lokasi transmigrasi. Dari 84 kasus yang tercatat, sebanyak 11 kasus diproses melalui jalur hukum dan 73 kasus masih dalam proses penyelesaian,” kata Ikhwanuddin dalam Seminar Transformasi Pendekatan Penyelesaian Konflik Sumber Daya Alam yang digelar Wahana Bumi Hijau (WBH) bekerja sama dengan Imparsial Mediator Network (IMN), Selasa (18/11/2014), di Palembang.

Kabupaten Muara Enim dan Lahat tercatat paling banyak konflik lahannya, masing-masing 12 dan 11 kasus. Dari 23 kasus itu, baru satu konflik yang terselesaikan.

Selanjutnya, Kabupaten Musi Banyuasin dengan delapan kasus; empat kasus dibawa ke jalur hukum dan empat kasus dalam proses penyelesaian. Kabupaten OKU Timur dengan delapan kasus; tiga kasus masih dalam proses penyelesaian dan lima kasus melalui jalur hukum. Kabupaten Muratara dengan delapan kasus dalam proses penyelesaian. Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) dengan tujuh kasus dalam proses penyelesaian. Disusul Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dengan enam kasus yang statusnya dalam proses penyelesaian.

Lalu, Kabupaten Ogan Ilir (OI) dengan empat kasus; tiga kasus dalam proses penyelesaian dan satu kasus melalui jalur hukum. Kabupaten Empat Lawang dengan tiga kasus dalam proses penyelesaian. Kabupaten Banyuasin dengan empat kasus; satu kasus melalui jalur hukum dan tiga kasus dalam proses penyelesaian.

Kabupaten Musi Rawas dengan tiga kasus dalam proses penyelesaian. Kota Palembang dengan dua kasus melalui jalur hukum. Terakhir, Kabupaten OKU Selatan dengan satu kasus masih dalam proses penyelesaian.

Rekomendasi gubernur hingga tim penyelesaian konflik

Apa yang dilakukan pemerintah Sumsel dalam menyelesaikan konflik tersebut? Ikhwanudin menjelaskan, Gubernur Sumsel Alex Noerdin telah meminta bupati dan walikota se-Sumsel agar sebelum menerbitkan izin lokasi kepada perusahaan yang memerlukan tanah segera mengajukan permohonan rekomendasi arahan lahan terlebih dahulu kepada gubernur.

“Sayangnya, permohonan ini jarang diajukan karena alasan otonomi daerah serta tak ada sanksi yang mengikat bupati dan walikota yang tak menjalankannya.”

Diterangkan Ikhwanuddin, untuk mempercepat penyelesaian sengketa lahan masyarakat dengan investor atau perusahaan, sesuai Keputusan Gubernur Sumsel Nomor 107/KPTS/I/2014 tanggal 27 Januari 2014 telah dibentuk tim fasilitasi penyelesaian sengketa pertanahan di kabupaten dan kota se-Sumsel yang melibatkan sejumlah instansi pemerintahan.

Tim ini memiliki tiga tugas. Pertama, melakukan koordinasi dengan pemerintah kabupaten dan kota dalam upaya penyelesaian kasus pertanahan. Kedua, memfasilitasi kasus pertanahan atas tuntutan masyarakat dengan investor pertambangan, perkebunan, pertanian, dan peruntukan lainnya. Ketiga, membuat laporan, evaluasi, dan analisis permasalahan sengketa tanah di kabupaten dan kota di Sumsel.

Lafcadio Cortesi, Direktur Rainforrest Action Network (RAN) menjelaskan, pendekatan kolonial Belanda yang memperlakukan lahan di Indonesia sebagai tanah jajahan masih dianut pemerintah Indonesia sampai saat ini.

“Masyarakat lokal, masyarakat adat, tidak diakui haknya. Dari sini muncul konflik. Dari segi hukum dan proses penetapan izinnya juga tidak berjalan dengan baik.”

Jelas Lafcadio, pemerintah harus memiliki kebijakan yang jelas mengenai tata cara perizinan. Untuk izin yang sudah terlanjur diberikan dan ada konflik, perlu resolusi konflik dengan mediator yang independen serta sebisa mungkin menghindari pengunaan kekuatan kepolisian dan militer dalam penanganannya.

Ahmad Zazali, Direktur Imparsial Mediator Network (IMN) mengatakan, saat ini penyelesaian konflik lahan melalui pengadilan sudah tidak efektif lagi. Menurutnya, dari 9.000 perkara yang masuk ke MA tahun ini, 60 persennya atau sekitar 5.400 kasus merupakan persoalan sengketa lahan.

Walaupun mediator harus bersikap netral dalam memediasi perkara, Ahmad mengakui dalam memediasi konflik lahan antara pihak korporasi dan masyarakat setempat, pihaknya sedikit memihak masyarakat. “Agar lebih berimbang, korporasi kan sangat kuat sementara masyarakat lokal selalu berada di kelompok yang lebih lemah,” ujarnya.

Menurut Ahmad, bagi kelompok lemah, penyelesaian konflik melalui mediasi lebih memungkinkan daripada melalui pengadilan yang butuh waktu dan biaya besar untuk membayar pengacara dan proses selama persidangan.

“Inilah sebabnya mediasi yang dilakukan oleh mediator bersertifikat MA mulai dipilih untuk menyelesaikan konflik,” ujarnya.

Nurkholis, Koordinator Sub Komisi Mediasi-Komnas HAM mengatakan, sepanjang 2014 hingga bulan Oktober, sebanyak 6.229 pengaduan terkait korporasi yang masuk ke Komnas HAM. Dari pengaduan tersebut, 121 di antaranya merupakan konflik yang terkait dengan perkebunan.

Menurutnya, alternatif penyelesaian konflik memang dengan mediasi, tetapi di Komnas HAM istilah yang dikenal adalah remedy, yakni meletakkan kedua pihak pada posisi yang setara. Karena selama ini, proses hukum kalau yang menyangkut buruh, petani, masyarakat adat, publik, penanganannya tidak adil.

“Namun demikian, mediasi bukan pekerjaan yang gampang. Kita sedang membangun mekanismenya kalau ada konflik yang melibatkan korporasi,” ujarnya.

Nurcholis mengatakan, akan berbicara dengan Gubernur Sumsel untuk memberikan contoh penyelesaian lahan. Misalnya soal pembangunan infrastruktur di Jakabaring guna persiapan Asian Games 2018. Lahan yang akan dipakai saat ini didiami sekitar 900 kepala keluarga.

“Ini harus ditangani secara baik, tidak bisa digusur begitu saja. Itu pelanggaran HAM. Opsinya, diminta dengan uang ganti rugi, atau yang tidak mau uang, pemerintah bisa sediakan rumah bagi mereka,” ujarnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,