,

Sudah 13 Korban, Persoalan Lubang Tambang Samarinda Harus Diselesaikan

Memperingati Hari Ibu, Selasa (22/12/2015) Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim bersama Tim Kerja Perempuan dan Tambang dengan dukungan Greenpeace mengadakan rangkaian perayaan sehari penuh. Peringatan Hari Ibu ini juga bertepatan dengan meninggalnya Muhammad Raihan Saputra, korban ke-9 di lubang bekas tambang, Jalan Padat Karya, Samarinda Utara.

Di Gedung PKK Kota Samarinda (Kompleks Taman Pintar), Kalimantan Timur, sebagian ibu dan keluarga dari ke-13 anak yang menjadi korban di lubang tambang Kota Samarinda hadir, bersama Pejabat Walikota Samarinda, Meliana, dan instansi terkait.

“Kami sengaja hadirkan ibu korban. Kita harus dengarkan suara mereka karena mereka yang paling kehilangan. Sudah ada 13 korban, persolan ini mendesak untuk diselesaikan bersama proses hukumnya,” ujar Merah Johansyah, Dinamisator Jatam Kaltim.

Kepada keluarga korban, Meliana, menyampaikan empati yang dalam. Meiliana menegaskan, meski jabatannya tidak lama, ia terus mendata jumlah lubang yang akan ditutup dan berkoordinasi dengan gubernur. “Gubernur telah mengeluarkan surat edaran penghentian sementara operasi 11 tambang yang lubangnya menewaskan anak-anak.”

Saya ingin mengajak semua Warga Samarinda untuk berpartisipasi memperbaiki lingkungan “Saya terus bersuara dan bergandeng tangan dengan Jatam untuk menutup lubang-lubang tambang, terutama yang dekat permukiman,” ujarnya.

Instalasi yang mengambarkan 13 korban di lubang bekas tambang Samarinda, Kalimantan Timur. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Instalasi yang mengambarkan 13 korban di lubang bekas tambang Samarinda, Kalimantan Timur. Foto: Yustinus S. Hardjanto

Korban terselubung

Kurun waktu 2011 – 2015 sudah 13 anak menjadi korban. “Jumlah yang besar, namun korban yang terselubung lebih besar lagi yaitu anak-anak yang terpapar dari air lubang tambang,” papar Cut Hilda Meutia, peneliti air dari Greenpeace.

Hilda menerangkan, air lubang bekas tambang batubara mengandung bahan kimia berbahaya untuk kesehatan. Dampaknya tidak terlihat langsung karena bersifat akumulatif. “Kesalahan tentu ada di pemberi izin karena memberikan lokasi dengan permukiman.”

Perusahaan hanya memberikan papan peringatan atau tanda larangan minimal. Bahkan, dalam berbagai kasus, kolam tempat tenggelamnya anak-anak tidak satupun terpasang tanda larangan. Danau bekas galian tambang bukan danau biasa. Nampaknya dangkal, padahal dalam. Warna biru menunjukkan kandungan besi (fe) di air sangat tinggi. “Apa yang terkandung dalam air bekas lubang tambang bisa 40 kali lipat dari ambang batas. Sangat berbahaya jika tertelan atau masuk ke tubuh melalui pori-pori.”

Hilda juga mengingatkan, bahaya tidak hanya mengancam mereka yang bermain atau memanfaatkan air bekas lubang tambang. Masyarakat luas juga terancam, mengingat, saat musim hujan kemungkinan air di lubang tambang meluap dan mengalir ke sungai. “Sumber air baku kita adalah sungai. Kita yang tidak bersentuhan langsung akan terkena karena kita mengkonsumsi air bersih yang berasal dari sungai tercemar.”

Ada banyak bahan beracun yang ditimbulkan seperti zat asam tambang (Acid Mine Drainage/AMD) dan beberapa logam berat berbahaya seperti mangan (Mn), besi (Fe), alumunium (Al), cadmium (Cd) dan arsenic (Ar). Bahan berbahaya ini sifatnya akumulatif, efeknya baru terasa tahunan. “Lubang bekas tambang di Kota Samarinda, selain menewaskan 13 anak, sesungguhnya juga tengah membunuh generasi masa depan kota ini. Air di lubang maut itu berpengaruh pada pertumbuhan dan kesehatan anak-anak,” pungkas Hilda.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,