Strategi Baru Konservasi Badak Sumatera di Alam Liar Perlu Dilakukan?

Strategi baru konservasi badak sumatera di alam liar perlu dilakukan. Ini dikarenakan, konservasi yang dilakukan sekarang dengan fokus pelindungan habitat dan spesies tidak mampu menaikkan jumlah populasi badak sumatera di alam liar. Bahkan, di kantong populasi dengan proteksi yang tinggi, jumlahnya juga menurun.

Hal ini diungkapkan pakar reproduksi badak dari Institut Pertanian Bogor, Dr. drh. Muhammad Agil dalam Seminar Nasional Badak Sumatera di Kampus Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Aceh, Agustus lalu.

Populasi badak sumatera di Indonesia telah hilang 90 persen dalam kurun 30 tahun terakhir. Sebelumnya,  badak sumatera tersebar di lima kantong habitat, namun kini hanya tersisa tiga kantong yakni Kawasan Ekosistem Leuser di Sumatera bagian utara, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) di bagian selatan Sumatera. Sementara di dua kantong habitat lainnya yakni di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) dan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Sumatera bagian tengah, badak telah punah secara lokal antara 1993 – 2013.

Tahun 1984, diperkirakan masih ada 800 individu badak sumatera di alam liar, dan kini jumlahnya  diperkirakan tinggal 72 individu saja. Data PHVA (Population and Habitat Viability Assessment) 2015 menyebutkan, di Way Kambas jumlah badak ada 26 – 30 individu, sedangkan di Bukit Barisan Selatan ada 17 – 24 individu. Sementara Leuser, jumlahnya lebih besar antara 37 – 44 individu, namun terpisah di enam area dengan populasi kecil-kecil kurang dari 15 individu.

“Namun, semua data ini bukan berdasarkan saintifik, fakta temuan lapangan. Tapi, berdasarkan estimasi dan kesepakatan bersama. Kalau kita lihat peta lokasinya, 72 individu itu apakah ril?” tanya Agil.

Agil mengkawatirkan, sisa badak sumatera di alam justru lebih sedikit dari yang diumumkan. Karena, fakta-fakta di lapangan menunjukkan, untuk mendapatkan jumlah individu badak yang ada tak sebanyak yang disebutkan. Di TNBBS, hasil pemasangan kamera jebak selama tiga tahun  hanya menemukan tiga individu. Sementara di Way Kambas, diduga kurang dari 20 individu, mengingat ada kemungkinan tumpang tindih jejak, karena kondisi areal  yang datar. Termasuk sering tertukarnya membaca jejak tapir dan badak, sehingga over estimasi bisa terjadi.

“Jadi angka 72 masih dipertanyaan. Populasi badak di Leuser bahkan belum bisa dipastikan. Rata-rata ada 2 – 4 individu atau 9 – 21 individu. Itu juga masih tanda tanya karena belum berdasarkan survei yang diyakini,” ucap Agil.

Yang jelas, lanjutnya, di tiga kantong habitat badak tersisa ini, populasi badak menurun. ”Padahal, ini adalah kawasan-kawasan dengan proteksi habitat cukup tinggi dan laporan perburuan tidak ada. Jadi apa sebenarnya yang terjadi pada badak sumatera? Fokus konservasi badak sumatera adalah lahirnya anak-anak badak baru.”

Ratu bersama anak ke duanya berkelamin betina yang diberi nama Delilah di SRS, Way Kambas Lampung. Foto: Stephen Belcher/Canon/IRF/YABI
Ratu bersama anak ke duanya berkelamin betina yang diberi nama Delilah di SRS, Way Kambas, Lampung. Foto: Stephen Belcher/Canon/IRF/YABI

Tantangan

Yuyun Kurniawan, Koordinator Badak WWF Indonesia mengatakan, tantangan terhadap konservasi badak saat ini tak cukup hanya menjaga habitatnya dalam konteks menjaga hutannya tidak hilang dan tidak ada perburuan. Tantangan terberat menjaga populasi badak adalah faktor biologis yang hilang tiba-tiba karena kemampuannya berkembang biak sangat rendah. Apalagi, ia spesies sangat pemalu dan soliter.

Saat ini, jumlah badak di rata-rata kantong populasi antara 2 – 3 individu, 2 – 5 individu, dan 8 – 10 individu. Habitatnya terfragmentasi dan tidak memiliki koridor yang memungkinkan terjadinya perpindahan individu dengan variasi genetik. Sehingga, sering terjadi perkawinan sedarah yang mengancam genetik badak.

Menurut Yuyun, permasalahan lain adalah ancaman patologi (penyakit) pada organ reproduksi yang menyebabkan badak sulit hamil meski terjadi perkawinan. Perlu intervensi reproduksi untuk membantu badak berkembang biak.

“Kita harus cek reproduksinya apakah ada masalah atau tidak. Misalnya, ada patologi di organ reproduksinya yang menyebabkan susah hamil. Jika tidak bermasalah, bisa digabungkan dengan populasi lain yang lebih available untuk mendapatkan pasangan. Jika tidak mampu bereproduksi secara alamiah, bantuan manusia bisa dilakukan untuk reproduksi misalnya melalui bayi tabung. Untuk itu, kita perlu mempertimbangkan penyelamatan badak dengan intervensi reproduksi.”

Masalah reproduksi dan patologi badak, perlu perhatian serius karena kondisi konservasi badak sumatera di Indonesia saat ini persis yang terjadi pada badak sumatera di Malaysia pada 1980-an. Saat itu, negara jiran begitu eforia dengan populasi badak yang diperkirakan 50 – 80 individu. Malaysia juga melakukan proteksi habitat dan spesies, kenyataan si tahun 2000, badak di Semenanjung Malaya punah. Sementara 2014, cuma tersisa satu individu di Sabah yang kemudian ditangkap dan dipindahkan ke Rhino Santuary di Tabin. Malaysia kini hanya punya tiga badak sumatera yang tinggal di santuari.

Agil mengatakan, dari  Malaysia kita mendapat data-data penelitian, 14 individu badak yang mati di santuari itu sekitar 64 persen organ reproduksi badak betinanya ada gangguan patologi. Seperti, ditemukannya kista di uterus sehingga badak sulit hamil meski terjadi perkawinan.  “Perlindungan, pemantauan dan penyelamatan habitat penting badak sumatera dengan populasi kecil, harus menggunakan assessment saintifik. Terutama, untuk menentukan jumlah populasi yang tepat. Juga, menentukan tingkat fertilitas, patologi organ reproduksi, serta indeks in-breeding dan variasi genetiknya,” ujarnya.

Najaq, badak sumatera yang berada di Kutai Barat, Kalimantan Timur, yang mati pada Selasa dini hari, 5 April 2016. Foto: Sugeng Hendratno/WWF-Indonesia
Najaq, badak sumatera di Kutai Barat, Kalimantan Timur, yang mati pada Selasa dini hari, 5 April 2016. Foto: Sugeng Hendratno/WWF-Indonesia

Strategi

Saat ini, Indonesia telah mengembangkan strategi konservasi dan manajemen untuk metapopulasi badak sumatera dan jawa. Misalnya, membangun zona perlindungan intensif (Intensive Protection Zone/IPZ) untuk mengkonsolidasikan populasi badak antara 20-30 individu, membangun zona manajemen intensif (MNZ) terhadap populasi badak, 15 individu, yang memiliki potensi reproduksi dan genetik beragam. Jika populasinya kurang dari 15 individu, perlu memindahkan badak ke populasi lain.

Indonesia juga sudah membangun sanctuary di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Keberadaan Sumatran Rhino Santuary ini dapat membantu badak yang mengalami patologi, namun masih memiliki potensi reproduksi misalnya dengan membuat bayi tabung.

Namun, Indonesia masih kesulitan menyusun strategi konservasi yang tepat untuk badak sumatera yang ada di tiga kantong habitatnya. Penyebab utamanya, karena belum ada data akurat populasinya. Senada dengan Muhammad Agil, Yuyun Kurniawan menyebutkan sumber-sumber informasi tentang populasi yang ada saat ini tidak berdasarkan  metode survei yang benar dan tepat secara saintifik. Sebagian besar adalah dugaan.

“Saat ini, data ilmiah yang akurat tentang badak sumatera sangat diperlukan sehingga Indonesia bisa menyusun rencana aksi yang jelas, bagaimana membangun strategi konservasi yang tepat untuk badak sumatera,” kata Yuyun.

Gambar pertama dari spesimen pertama badak sumatera yang dikenal dalam ilmu pengetahuan Barat, karya William Bell, 1793. Sumber: Wikipedia
Gambar pertama dari spesimen pertama badak sumatera yang dikenal dalam ilmu pengetahuan Barat, karya William Bell, 1793. Sumber: Wikipedia

Survei menyeluruh tentang badak sumatera dengan metode seperti analisis DNA, pemasangan kamera jebak dan survei okupansi perlu dilakukan menyeluruh di tiga kantong tersebut. Data populasi, ratio sex, struktur populasi dari anak sampai dewasa, dan kualitas variasi genetik harus dilakukan. Dengan demikian, akan diketahui status populasi pada semua kantong guna penyusunan strategi konservasi. “Kenyataannya, sampai sekarang informasi masih minim,” kata Agil.

Agil mengatakan, badak sumatera satu-satunya badak di dunia yang memiliki rambut di seluruh tubuhnya. Karena berbeda dengan spesies lain dan bentuknya yang unik, dia disebut badak paling primitif di dunia. “Semoga kita tidak terlambat memutuskan apa yang harus kita lakukan untuk badak sumatera. Jika tidak, kejadian di TNKS akan terulang di tiga kantong habitat ini. Kita berpacu dengan waktu,” paparnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,