- Fadly, vokalis band Padi, sejak puluhan tahun silam hidup berselaras dengan alam. Ia aktif kampanye perlindungan mangrove dan mengembangkan urban farming dan memanfaatkan bambu untuk pernak pernik rumah.
- Di tahun 2014, dia pernah melatih di 30 sekolah di Makassar untuk mengembangkan pertanian aquaponic. Ia juga menanam bambu di Pulau Samalona Makassar.
- Kecintaannya terhadap lingkungan terinspirasi ayahnya yang pernah menjabat bupati di Kabupaten Sinjai, Sulsel, yang juga pecinta dan penggiat lingkungan.
- Di Sinjai sendiri, Fadly aktif mengampanyekan konservasi mangrove bekerja sama dengan generasi muda dan Pemda setempat. Ia ingin menjadikan Sinjai sebagai salah satu ‘paru-paru’ Sulsel berbasis mangrove.
Nama lengkapnya Andi Fadly Arifuddin. Namun orang mengenalnya dengan nama Fadly, vokalis band Padi (Padi Reborn) yang sangat populer di tahun 2000-an hingga sekarang
Selain sebagai musisi, Fadly ternyata sosok pecinta dan penggiat lingkungan. Tidak hanya dalam pemikiran, namun juga dengan aksi nyata melalui urban farming yang dikembangkannya.
Fadly, pria kelahiran Makassar 13 Juni 1974 ini, adalah sosok yang ramah dan bersemangat. Sebelum bertemu dengannya, teman yang telah lama berinteraksi lama dengan mengingatkan untuk siap-siap berbincang lama dengannya ketika membahas masalah lingkungan.
Benar saja, ketika saya bertemu dengannya di sebuah kafe di Makassar, pertengahan Mei 2022 silam, Fadly tampak sangat antusias. Selain bicara tentang urban farming dan bambu, ia juga bicara tentang masa kecil dan kecintaannya pada mangrove. Kawasan mangrove di Tongke-tongke, Kabupaten Sinjai, adalah salah satu lokasi di mana dia dan teman-temannya di masa kecilnya menanam mangrove puluhan tahun silam.
baca : Kawasan Hutan Mangrove Tongke-tongke yang Semakin Memesona
Fadly memang berasal dari Kabupaten Sinjai, daerah yang berjarak sekitar 125 km dari Kota Makassar. Meski keluarganya berasal dari Kabupaten Bone dan bahkan keturunan dari raja setempat, ayahnya berkarir sebagai birokrat dan kemudian menjadi bupati di Sinjai.
Kalau bicara lingkungan dari kecil memang saya suka karena ikut ke kebiasaan bapak. Dulu bapak langganan majalah Trubus dan sampai sekarang masih saya simpan majalah dari tahun 1984, bundelnya masih saya simpan sebagai harta karun. Ada di Jakarta saya simpan rapi,” katanya.
Ayah Fadly, Andi Arifuddin yang menjabat sebagai bupati Sinjai dua periode, 1983-1988 dan 1988-1993, adalah pecinta lingkungan. Semasa menjabat sebagai bupati, ia banyak menanam mangrove dan melakukan pembibitan, termasuk tanaman palem. Konon, sebagian besar pohon palem yang tumbuh di beberapa tempat di Sulsel saat ini adalah hasil pembibitannya.
“Kalau melihat pohon palem di pinggir jalan yang sudah besar dan sudah tua di sepanjang jalan di Sulsel, boleh dibilang adalah warisan dari Sinjai. Pertama kali ditanam tahun 1988, yang bapak bibitkan sendiri. Ada banyak jenis palem, mulai dari palem botol, palem raja hingga palem merah, bibitnya adalah bantuan dari bapak kepada Gubernur Palaguna saat itu. Saya dari kecil lihat bapak banyak bibitkan tanaman. Rasa ingin tahu dan jiwa konservasi beliau sangat tinggi,” kenang Fadly.
baca juga : Menitip Asa di Hutan Mangrove Tongke-Tongke
Kenangan masa kecil berada di kampung, menanam mangrove hingga masuk hutan dan susur sungai menjadi kenangan tersendiri bagi Fadly dan bahkan menjadi sebuah kebanggaan bahwa ia berasal dari kampung.
“Dulu kalau ke Bone kami sering ke sungai membuat dakkang untuk tangkap kepiting secara alami. Kepiting-kepitingnya memang alami, begitu pun alat tangkapnya, tidak industrialis dan kapitalis, semuanya kita dapat dari alam. Ingatan ini kuat mematri. Akhirnya anak-anakku juga saya sekolahkan di sekolah alam di Ciganjur Jakarta.”
Menyekolahkan anaknya di sekolah alam punya pertimbangan tersendiri, apalagi di tengah dunia yang serba digital dan artifisial. Ia tak ingin kehidupan sosial anaknya terpisah dari pengalaman ‘merasakan’ alam yang mulai tergantikan oleh dunia digital.
Di Sinjai sendiri, Fadly sudah diajak untuk aktif mengampanyekan konservasi mangrove bekerja sama dengan generasi muda dan Pemda setempat. Ia ingin menjadikan Sinjai sebagai salah satu ‘paru-paru’ Sulsel berbasis mangrove.
“Ini sudah dimulai dan tugasku untuk membangunkan generasi muda, bagaimana mereka merasakan ini sebagai sesuatu yang cool. Bahwa menanam satu bibit mangrove berarti sudah melakukan sesuatu untuk bumi.”
baca juga : Meniti Tongke-Tongke Jadi Magnet Sinjai
Menurut Fadly, kepeduliannya pada mangrove karena melihat tanaman ini sebagai tanaman yang unik, yang menyimpan karbon dalam waktu lama bahkan selamanya, selain karena memiliki fungsi ekologi berupa perlindungan atas biota-biota laut dan pesisir.
Boleh dibilang kayu tak ada apa-apanya dibanding mangrove,” tambahnya.
Selain itu, menurut Fadly, ia ingin menunjukkan bahwa potensi daerah tidak hanya harus bergantung pada tambang dan industri ekstraktif lainnya. Mangrove jika dikelola dengan baik bisa menjadi potensi daerah yang menjanjikan.
Kalau mau bicara apa yang bisa didorong untuk meningkatkan pendapatan negara dari mangrove, sebenarnya banyak. Tidak perlu bergantung pada hasil tambang.
“Kita cukup menanam mangrove dan menawarkan pada perusahaan besar untuk kredit karbon mereka. Mereka-mereka (perusahaan) tidak mungkin menanam sendiri, maka mereka akan mencari tempat di Asia dan Afrika untuk ditanam dalam konteks perdagangan karbon, meskipun ini agak sulit karena semuanya ditentukan pusat. Tapi tetap mesti ditanam,” katanya.
Urban farming dan Inovasi dari Bambu
Fadly sendiri saat ini fokus pada urban farming, khususnya aquaponik, yang telah dimulainya sejak tahun 2010 silam. Di pekarangan rumahnya yang tak begitu luas di Jakarta, di lahan seluas 5×5 meter, ia mengembangkan pertanian aquaponik, dengan komoditas berupa tanaman sayuran seperti kangkung, selada, pakcoi dan sejumlah tanaman lainnya. Ia juga budidaya ikan dan ternak ayam.
“Saya pikir orang desa itu aman, ada atau tidak ada uang mereka bisa makan, tinggal cabut singkong aman. Orang kota yang paling kasihan, tidak punya skill untuk itu. Mungkin mereka punya uang namun tidak bisa dapatkan makanan yang paling segar dari halaman rumah.”
Tidak hanya untuk konsumsi pribadi, tanaman dan hasil ternak berupa ikan dan telur ayam dijual ke tetangga. Bahkan, Fadly juga gencar melatih berbagai pihak menekuni bidang ini. Termasuk kalangan ASN yang menjelang pensiun serta anak-anak sekolah.
Di Makassar, pada tahun 2014 selama dua bulan ia keliling melatih di 30 sekolah tentang aquaponik. Di Makassar sendiri Fadly saat ini tengah melakukan pembibitan alpukat di sebuah lahan sempit di sekitar daerah Daya, Kecamatan Tamalanrea.
menarik dibaca : Kisah Aira, Bocah Kota Makassar yang Bercita-cita Menjadi Petani
Fadly juga fokus pada inovasi bambu untuk berbagai kebutuhan rumah tangga. Di rumahnya ia banyak menggunakan pernak-pernik dari bahan bambu yang diolah secara sederhana, bukan melalui teknik pengawetan seperti yang ada selama ini.
Bambu ini diolah menggunakan teknologi sederhana, dipotong dan dibiarkan berdiri selama 1 – 2 minggu untuk pengeringan memanfaatkan gravitasi. Setelah kering, di bagian luar bambu dimasukkan beberapa botol aqua besar dari atas hingga bawah, dengan jarak antar botol 2-3 cm, lalu dipanaskan hingga mengerut dan ‘mengikat’ bambu.
Teknologi sendiri ini cukup efektif dan membuat bambu bisa tahan bertahun-tahun dan bahkan puluhan tahun.
Ini saya sudah buktikan dari tahun 2011 sampai sekarang bambuku tidak berubah. Karena satu sifatnya rayap tidak bisa masuk melalui plastik, kemudian kumbang bubuk tidak bisa besar karena tidak ada oksigen di dalamnya. Jadi tidak perlu pakai baja ringan untuk membangun, cukup bambu dengan teknologi sederhana ini. Ini juga solusi untuk sampah plastik,” jelasnya.
Kecintaannya pada bambu juga dibuktikan dengan menanam bambu di berbagai lokasi, termasuk di Pulau Samalona, Makassar. Bibitnya hasil kultur jaringan yang diambilnya dari Yogjakarta.
baca juga : Jokowi dan Diplomasi Sepeda Bambu
“Dari 10 yang ditanam di pulau ada 3 yang hidup, di lokasi tanam yang paling rendah. Ini ditanam dari kultur jaringan dibawa dari Jogja yang sudah ada adaptasi dengan air garam, untuk membuktikan apakah bambu bisa tumbuh di tengah pulau. Sekarang bambunya sudah besar-besar.”
Fadly sendiri terinspirasi dengan community garden yang ada di tengah kota Melbourne, Australia, yang dikunjunginya selama tahun 2010-2012.
“Mereka semua di situ dapat lokasi, mau hidroponik, aquaponik, kelas-kelas laboratorium buat anak sekolah. Mereka menanam, dan suasananya begitu hidup. Itu adalah community garden bagi mereka yang punya passion. Produknya mereka bisa dijual secara lokal dan dihargai. Pemerintah akhirnya respons dan mendukung karena punya kesadaran tinggi,” pungkasnya.