- Konflik lahan seakan tiada henti. Salah satu seperti terjadi di Riau, konflik lahan antara warga Desa Mumpa di Indragiri Hilir dengan perusahaan kayu, PT Sumatera Riang Lestari (SRL). Mitra pemasok serat kayu ke APRIL Grup yang terafiliasi dengan Royal Golden Eagle (RGE) milik taipan Sukanto Tanoto, itu menggusur lahan warga dengan mengkavling lahan dengan pembuatan kanal.
- PT SRL kembali mulai mengklaim lahan masyarakat masuk dalam izinnya pada 2023. Padahal, pemerintah daerah sudah beberapa kali membantu masyarakat meningkatkan produktivitas kebun itu, seperti pembuatan tanggul, normalisasi parit, dan bantuan bibit tanaman termasuk pupuk.
- PT SRL tidak pernah menyampaikan batas konsesi dengan lahan garapan masyarakat. Kepastian dan keterbukaan informasi itu juga tidak sampai ke pemerintah daerah hingga tidak pernah ada sosialisasi ke masyarakat.
- Okto Yugo Setyo, Wakil Koordinator Jikalahari mendorong pemerintah kaji ulang izin PT SRL. Alasannya, areal itu merupakan lahan gambut dalam dan tidak seharusnya dipaksa dengan tanaman monokultur seperti akasia. Sedang kebun masyarakat, dengan tanaman beragam, dari pinang, karet, jagung meskipun ada sawit.
Konflik lahan seakan tiada henti. Salah satu seperti terjadi di Riau, konflik lahan antara warga Desa Mumpa di Indragiri Hilir dengan perusahaan kayu, PT Sumatera Riang Lestari (SRL). Mitra pemasok serat kayu ke APRIL Grup yang terafiliasi dengan Royal Golden Eagle (RGE) milik taipan Sukanto Tanoto, itu disebut menggusur lahan warga dengan mengkavling lahan dengan pembuatan kanal.
Nurdin, petani dengan lahan di Parit 9, Desa Mumpa, Kecamatan Tempuling, Indragiri Hilir, kesal melihat separuh dari 16 hektar kebun sawitnya rata. Operator alat berat yang ditugaskan SRL merobohkan dan mengubur tanaman sawitnya.
Dia tak menyaksikan langsung kejadian tetapi anak laki-lakinya ada di lokasi saat itu. Hanya dia tak mampu mencegah tiga alat berat yang dikawal sejumlah sekuriti. Orang-orang itu bersikukuh sudah sesuai izin.
“Pak, pulanglah. Kebun sudah habis,” kata Nurdin, meniru ucapan anaknya dalam panggilan seluler.
Nurdin tengah bekerja di perusahaan perkebunan sawit di Pelalawan. Setelah dia kembali, eksavator masih sempat melanjutkan penggusuran. Di situ, hampir terjadi kontak fisik. Beruntung aksi nekat Nurdin menggunakan senjata tajam bisa diredam.
Pada 12 November lalu, Nurdin masih berjaga di kebun demi pertahankan sisa tanaman sawit. Siang itu, dia mondar-mandir di lahan yang telah terkotak-kotak oleh kanal dan berganti akasia dengan tinggi belum selutut.
“(Kebun) tak utuh lagi. Jauh (berkurang) dah. Nengoknya sedih sendiri.”
Sejak penggusuran itu Nurdin hanya menghasilkan tiga kuintal buah sawit sekali panen, biasa lebih satu ton.
Dari lahan Nurdin, operator alat berat beralih ke kebun Lisman Jai masih di Parit 9, Mumpa. Dia hanya punya dua hektar kebun. Di atasnya tumbuh pinang, nanas dan sawit. Dia juga kecolongan ketika eksavator menggusur separuh kebun dan melumat tanaman hingga rata.
Lisman Jai bergegas menuju lokasi juga pertanyakan aksi SRL itu. Lagi-lagi jawaban petugas sudah sesuai wilayah kelola perusahaan. Bersyukur, Camat Tempuling dan sejumlah aparat desa juga turun dan berhasil menghentikan penggusuran itu.
Sekitar September lalu, ada surat perjanjian agar penggusuran tidak lanjut sampai ada keputusan dari pemerintah daerah. Sempat tak dipatuhi karena keesokan hari, alat berat kembali bekerja. Baru berhenti setelah masyarakat ramai-ramai menghadang di lokasi.
Tepat hari pahlawan, 10 November, seorang sekuriti datang ke gubuk Lisman Jai untuk menyerahkan selembar surat. Isinya justru perintah mengosongkan lahan. Kalau dalam dua hari sejak surat itu diserahkan, dia tak menuruti, SRL akan melaporkan ke pihak berwajib.
Surat itu ditandatangani Jampi, Humas PT Sumatera Riang Lestari. Secarik kertas itu tanpa kepala surat. Selain perintah kosongkan lahan, poin pertama isi surat menjelaskan SRL memperoleh Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri di Sumatera Utara, sejak 2007.
Areal di Indragiri Hilir merupakan Blok VI seluas 48.635 hektar. Lisman Jai dituding merambah kawasan hutan.
“Aku tunggu orang itu aja datang. Aku dah lama di sini dan menjadi penduduk di sini,” kata Lisman, saat Mongabay menemuinya November lalu.
Tepat tenggat waktu, dia beserta istri dan dua anak—satu masih bayi dan dalam gendongan—harus minggat.
“Saya tidak mau pergi. Saya berdiam saja di sini. Walaupun dipaksa. Mau pergi ke mana lagi aku?” ucap Lisman.
Belum selesai masalah di Parit 9, SRL memindahkan alat berat ke Parit 5. Aksinya juga diam-diam. Pada 27 Oktober, alat berat masih bekerja di luar lahan masyarakat.
M Syahidin, Ketua RT15, Desa Teluk Jira, M meminta, masyarakat tetap waspada dan mengawasi alat berat.
Kekhawatiran itu benar terjadi. Dua hari kemudian, alat berat sudah masuk ke lahan Timbul Hutagaol dan meratakannya. Hari itu, Timbul baru saja selesai makan siang di pondok kebun sekitar 250 meter dari lokasi eksavator bekerja.
Dengan telanjang dada, dia berlari mendekati operator membawa parang. Terjadi adu mulut.
“Stop, jangan ganggu. Itu kebunku.”
“Tak ada yang bisa menghentikan alat itu,” kata sekuriti yang mengawal.
Timbul bilang, ada sekitar 15 tenaga pengaman mengawal dua dari tiga alat berat yang bekerja di lokasi saat itu. Tak berapa lama cekcok berlangsung, Syahidin datang. Terjadi negosiasi singkat.
Operator alat berar keluar dari kebun Timbul tetapi terus bekerja di areal yang berbatasan dengan kebun dia.
Beberapa hari kemudian, operator eksavator kembali merangsek ke kebun Timbul mulai subuh. Terjadi keributan lagi. Kali ini, petani ramai datang. Solidaritas itu muncul karena jika dibiarkan SRL juga akan menggusur kebun mereka.
Hari itu, Kepala Desa Teluk Jira Surya Dinata, turun ke lokasi. Untuk mereda situasi, dibuat surat perjanjian agar alat berat berhenti sampai ada penyelesaian oleh pemerintah.
Masalahnya, humas perusahaan yang ada di tempat kejadian enggan tandatangan surat, meski tetap menerima secarik kertas itu.
Eskavator keluar dan menghilang dari pandangan petani Teluk Jira, awal November lalu. SRL masih punya kerja. Dua hari setelah itu, Timbul mendapati sekuriti dan beberapa orang mengangkut bibit akasia dengan sampan lewat parit atau kanal pembatas konsesi SRL dan lahannya.
Pada 3 November lalu, Timbul bermaksud menanam sawit di lahan yang dibersihkan SRL. Namun, orang yang dijumpainya itu mengaku bukan mau menanam akasia di lokasi yang sama.
“Jangan berbohong. Manusia itu, omongannya dipegang. Kalau binatang, telinganya,” kata Timbul pada pekerja SRL yang ditemui saat itu.
Setelah orang-orang itu pergi, Timbul meneruskan tanam sawit. Bibit sawit yang lama dia siapkan selesai ditanam.
Keesokan hari, pekerja tanam SRL kembali datang ke lahan Timbul. Mereka justru memaksa menanam akasia di sela-sela tanaman sawit yang baru satu hari ditancapkan Timbul.
Kembali adu mulut. Kali ini dengan humas SRL yang mengaku turun langsung dari Pekanbaru. Seingat Timbul, namanya Samosir.
“Jangan tanam di situ. Nanti, mati sawitku,” cegah Timbul.
“Sudah sesuai jarak,” kata pekerja tanam SRL.
Kenyataannya, akasia dan sawit hanya berjarak satu jengkal. Bahkan barisan akasia SRL lebih rapat ketimbang sawit Timbul.
“Kalau bapak merasa lahan ini hak bapak, silakan. Tapi sesuai UU perusahaan, kalau sudah kami stacking wajib kami tanam,” kata Timbul, meniru ucapan Samosir.
“Berarti bapak-bapak ini tangan besi urat kawat. Tak menghargai omongan orangtua,” bantah Timbul.
Waktu itu, dia seorang diri di lahan bertepatan petani sekitar tengah menghadiri pertemuan di kantor desa bahas perampasan lahan masyarakat.
Sebenarnya dia sudah pernah tanam sawit di situ bahkan sudah panen. Hanya saja, kondisi menurun drastis kena serang kumbang. Pada 2019, lahan itu terbakar. Dia tak punya modal lagi buat tanam sawit baru.
Sembari menabung dari sisa sawit yang masih produktif, Timbul terkadang kerja serabutan di luar untuk menambah modal. Alhasil, lahan bekas terbakar jadi semak, seolah tak bertuan. Di situlah SRL diam-diam memperluas areal tanamnya.
Seperti Lisman Jai, Timbul juga terima surat perintah pengosongan lahan sampai tenggat waktu 15 November lalu. Bedanya, surat itu ditandatangani Humas Erik Lifandi. Timbul, disebut merambah kawasan hutan dalam konsesi SRL seluas 2,1 hektar.
Mongabay menghubungi Jampi dan Erik dari SRL pada 16 November lalu untuk meminta penjelasan mengenai surat itu. Jampi tak merespon panggilan dan pesan yang dikirim ke aplikasi percakapan. Erik sempat janji menghubungi kembali karena se dang istirahat tetapi tidak ada kabar.
Abdul Hadi, Humas SRL, saat ditemui di Pekanbaru, mengatakan, belum pernah melihat dan membaca surat itu tetapi membenarkan isinya sudah sesuai upaya penertiban kawasan hutan oleh perusahaan. Dia bilang, itu juga bagian dari sosialisasi pada masyarakat terkait izin perusahaan.
Tak hormati hak masyarakat
Masyarakat Teluk Jira dan Mumpa, termasuk beberapa desa lain di Kecamatan Tempuling, memiliki lahan dari hasil garapan mandiri. Mereka mulai membuka hutan belantara berkelompok dengan tegakan pohon besar sekitar 1994.
Hasil garapan dibagi dua dengan pemodal. Istilah lokal menyebutnya, mengarun.
“Buka lahan berkelompok untuk meningkatkan perekonomian. Tidak tahu kawasan hutan. Tahunya tanah negara,” kata Indra, petani Desa Rumbai Jaya, yang memiliki lahan di Parit 6, Teluk Jira.
Setelah hutan berhasil dibersihkan sekitar tujuh tahun lamanya, masyarakat pertama kali tanam jagung dan kelapa. Kemudian beralih ke karet, pinang sampai sawit. Beberapa petani masih mempertahankan tanaman awal.
Rata-rata usia sawit masyarakat lebih 10 tahun. Belakangan, hama kumbang menyerang hampir semua kebun sawit petani di Tempuling. Hasil panen menurun drastis. Petani menduga karena akasia SRL makin mendekat dengan lahan mereka.
Puncak serangan kumbang biasa meningkat setelah perusahaan panen akasia.
Pada 2019, terjadi kebakaran hebat. Banyak sawit hangus. Pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia sekitar dua tahun juga berimbas ke petani. Petani terus berupaya tanam ulang, sedikit demi sedikit.
Sembari cari modal, sebagian lahan tidak produktif dan belum tertanam ditumbuhi semak. Kondisi inilah yang dimanfaatkan SRL untuk memperluas areal tanam. Bahkan SRL juga gusur dan meratakan tanaman produktif masyarakat.
Abdul Hadi mengelak fakta itu. Katanya, operasi pembersihan lahan alias land clearing sudah sesuai rencana kerja tahunan. Dia berkali-kali menyebut tidak ada satu pun tanaman maupun gubuk tempat tinggal petani digusur.
“Kami kerjakan sesuai dalam konsesi. Tak ada yang di luar. Kalau pun ada tanaman atau kebun masyarakat dalam konsesi kami (SRL), tidak akan diganggu sampai ada penyelesaian,” katanya.
Dia juga klaim SRL menyelesaikan tata batas sejak awal peroleh izin dan selalu menyosialisasi terlebih dahulu rencana kerja tahunan hingga ke tingkat desa.
Dalam tahapan itu, katanya, tidak ada klaim pemilikan lahan oleh masyarakat. Belakangan, ketika operasi berlangsung baru muncul persoalan.
Mongabay minta bukti atau dokumentasi sosialisasi rencana kerja tahunan ke Abdul Hadi, lewat Agil Samosir, juga humas yang ikut menemani saat wawancara guna mendukung klaim itu.
Dia janji mengirimkan pada hari kerja, 20 November tetapi tidak ada tindak lanjut.
Surya Dinata, Kepala Desa Teluk Jira, sebaliknya membantah klaim Abdul Hadi dan Agil Samosir. SRL, katanya, tidak pernah sosialisasi rencana kerja tahunan mereka terbuka dengan mengundang seluruh masyarakat petani. Paling hanya mengabari sekilas pada momen tertentu secara pribadi. Bahkan, sekadar mengabari lewat telepon.
“Setahu saya, sosialisasi itu dalam forum dan mengumpulkan masyarakat banyak. Itu tidak pernah,” kata Surya, saat dikonfirmasi 23 November lalu.
Kenyataannya, SRL bekerja sewenang-wenang, secara sembunyi dan tanpa perundingan terlebih dahulu. Padahal, beberapa pekerja seperti Humas Erik Lifandi dan Jampi, bukan orang asing bagi petani sekitar karena kerap bertemu di lahan.
Misal, hampir tiap tahun, SRL selalu mencuci parit hingga ke lahan masyarakat. Pekerjaan itu bertujuan menjaga ketersediaan air untuk mencegah kebakaran. Masyarakat, tentu senang dengan kepedulian perusahaan. Selama ini, pekerja SRL tidak pernah mengklaim lahan masyarakat.
“Selama ini, mereka (SRL) hanya membersihkan parit. Kami adem ayem aja. Tak ada kami usik. Tahu-tahunya dia (perusahaan) menggarap di lahan masyarakat. Kalau di luar dan masih kawasan perusahaan, kami tak hiraukan,” kata Syahidin.
Bahkan, beberapa hari sebelum SRL menggusur lahan masyarakat di Parit 5, Syahidin lebih dari sekali bertemu Erik Lifandi dan Jampi.
Mereka hanya bicara soal cuci parit. Tak ada menyinggung atau menyampaikan akan memperluas areal tanam akasia perusahaan di lahan masyarakat.
Tak hanya Syahidin. Timbul juga tak menyangka SRL merangsek ke kebunnya. Seingat Timbul, persinggungan dengan SRL pernah terjadi sekitar 2012. Waktu itu, tanaman akasia SRL sudah mendekati lahannya. Kala itu, Timbul baru bersihkan lahan tetapi belum tanam sawit karena tak ada modal.
Pendek cerita, setelah berunding mengenai batas areal masing-masing, pekerja lapangan SRL buat parit pembatas. Kedua pihak setuju. Setelah akasia di sebelah lahan Timbul panen dan sudah memasuki penanaman kedua, SRL justru meloncati parit pembatas yang dibuatnya sendiri dan mengerahkan alat berat untuk membuat areal tanam baru.
“Tahu kami, parit itu perbatasan lahan kami dengan perusahaan. Tanpa permisi langsung garap lahan kami,” kata Timbul.
SRL juga meratakan sedikit lahan petani di sebelahnya.
Warga lain, Indra, merasa terusik oleh SRL sejak 2010. Pekerja perusahaan menanyakan legalitas atau surat-surat kepemilikan lahan pada petani kelompoknya di Parit 6.
Sejumlah pertanyaan sering dilontarkan ke petani seperti “kapan mulai garap lahan? Kenapa ditanami sawit dalam kawasan hutan?”
“Saat itulah, kami baru tahu kebun dalam kawasan hutan. Tahunya tanah negara. boleh digarap masyarakat,” katanya.
Saat itu, SRL tidak mengatakan areal kelola masyarakat bagian dari konsesinya. Lagi pula, tahun-tahun itu masyarakat masih ramai menetap di kebun masing-masing. Setelah tanaman produktif dan memberi penghasilan, mereka kembali ke kampung atau desa. Hanya datang ke kebun saat panen atau pembersihan lahan.
Jauh sebelumnya, SRL tidak pernah menyampaikan batas konsesi dengan lahan garapan masyarakat. Kepastian dan keterbukaan informasi itu juga tidak sampai ke pemerintah daerah hingga tidak pernah ada sosialisasi ke masyarakat.
Indra bilang, pada 2010 DPRD Indragiri Hilir pernah memfasilitasi rapat antara masyarakat, perusahaan dan pemerintah daerah.
Keputusannya, SRL tidak boleh menggusur lahan yang sudah digarap masyarakat. Setelah itu, masyarakat kembali tenang berkebun.
SRL kembali mulai mengklaim lahan masyarakat masuk dalam izinnya tahun ini. Padahal, pemerintah daerah sudah beberapa kali membantu masyarakat meningkatkan produktivitas kebun itu, seperti pembuatan tanggul, normalisasi parit, dan bantuan bibit tanaman termasuk pupuk.
“Dengan dalih melaksanakan rencana kerja tahunan. Masyarakat menolak. Bukan melawan. Tapi mohon kebijakan adil sesuai peraturan perundangan-undangan. Berharap hak masyarakat tetap diakui. Sesuai harapan yang disampaikan pada 2010,” kata Indra.
Sebagian masyarakat, bahkan sudah memiliki surat keterangan kepemilikan tanah dan menggadai ke bank untuk dapatkan modal.
Abdul Hadi memastikan pembersihan lahan berdasarkan rencana kerja tahunan 2023 sudah selesai. Alat berat ditarik dan tidak ada lagi aktivitas di lapangan. Dia juga bantah ada keributan atau penolakan masyarakat petani yang sempat terjadi di areal kerja itu.
Menurut dia itu hanya kekhawatiran masyarakat saja yang beranggapan alat berat akan menggusur lahan mereka.
“Setelah dijelaskan semua mereka mengerti dan balik kanan. Yang kita kerjakan, sekarang, sudah selesai. Mungkin asumsi masyarakat nambah terus barang (lahan) ini. RKT tidak hanya bersih lahan. Menanam dan mamanen juga bagian dari RKT,” kata Abdul Hadi.
SRL memang belum menyentuh lahan Indra dan anggota kelompok petani di Parit 6. Seandainya, Timbul dan warga lain tidak menghentikan alat berat yang merangsek ke Parit 5, akhir Oktober lalu, lahan di sebelah bisa saja kena imbas.
“Kami khawatir karena RKT SRL itu menargetkan lahan garapan kami. Tapi perusahaan tidak membuka dan menunjukkan dokumen itu,” ujar Indra.
Syahidin sering mengingatkan humas SRL agar memberitahu terlebih dahulu sebelum memulai pekerjaan. Bukan main sepihak dengan mengerahkan alat berat apalagi sampai menggusur lahan warganya.
Setelah keributan mereda awal November, masyarakat mengadu ke pemerintah daerah. Mereka buat pernyataan kepemilikan lahan yang ditandatangani bermaterai.
Masyarakat ingin pemerintah pertimbangkan garapan dalam kawasan hutan sesuai hukum berlaku. Kemudian menyelesaikan tata batas konsesi perusahaan dengan lahan masyarakat.
Jira Surya menginformasikan bahwa Camat Tempuling memfasilitasi pertemuan antara masyarakat dan SRL, 17 November lalu. Hadir juga utusan dari Sekretariat Daerah Indragiri Hilir. Sayangnya, tidak ada keputusan yang menjamin lahan masyarakat tidak akan tergusur lagi tahun depan.
Sebenarnya, Abdul Hadi, tidak menampik ada klaim kepemilikan lahan dalam konsesi mereka. Dia punya dua jawaban atas temuan tim di lapangan. Pertama, ada seseorang membeli lahan cukup luas dalam izin SRL. Dia menyebut nama tapi menolak ditulis. Kedua, ada orang luar beli lahan di lokasi itu lalu menetap.
“Ini kasus yang banyak kami temukan. Ini pengakuan mereka sendiri,” ungkap Abdul Hadi, tanpa tunjukkan bukti atas klaimnya.
Kaji ulang izin perusahaan
Okto Yugo Setyo, Wakil Koordinator Jikalahari mendorong pemerintah kaji ulang izin SRL. Alasannya, areal itu merupakan lahan gambut dalam dan tidak seharusnya dipaksa dengan tanaman monokultur seperti akasia. Sedang kebun masyarakat, katanya, dengan tanaman beragam, dari pinang, karet, jagung meskipun ada sawit.
Dia mengingatkan, ada aturan main dalam penyelesaian konflik izin perusahaan dengan lahan masyarakat. Pemerintah, katanya, telah menyiapkan kebijakan sebagai solusi, seperti aturan perhutanan sosial maupun percepatan tanah obyek reforma agraria (Tora).
“Walaupun itu dalam izin, perusahaan tidak dibenarkan ambil lahan yang sudah dikelola masyarkat. Tidak serta merta masyarakat harus pergi dari sana. Apalagi tanpa pemberitahuan, sosialisasi dan proses pendekatan,” kata Okto.
Penyelesaian sengketa lahan dengan dua pendekatan itu tidaklah sulit. Tinggal identifikasi kondisi dan praktik di lapangan. Bila ada pemukiman, fasilitas sosial, fasilitas umum atau pemakaman tua, itu bisa ajukan TORA atau lepas dari kawasan hutan. Sebaliknya, jika ada penguasaan masyarakat berupa kebun dan tanaman bisa diajukan hak kelola perhutanan sosial.
Okto mendorong pemerintah kaji ulang izin SRL. Alasannya, areal itu merupakan lahan gambut dalam dan tidak seharusnya dipaksa dengan tanaman monokultur seperti akasia. Sedang kebun masyarakat, katanya, dengan tanaman beragam, dari pinang, karet, jagung meskipun ada sawit.
SRL juga melanggar komitmen pengelolaan hutan berkelanjutan. Sejak 2015, APRIL Group, berjanji menerapkan praktik terbaik di seluruh areal kerja perusahaan, termasuk para pemasoknya.
“[Isinya] antara lain, menghormati hak-hak masyarakat adat maupun lokal.”
******