- Di antara semua spesies kucing, kucing emas asia memiliki morfologi yang sangat menonjol. Bulu-bulunya yang sangat polimorfik hadir dalam berbagai warna dan pola.
- Penelitian terbaru pada populasi kucing emas di Tiongkok menemukan enam morfologi mantel [bulu] berbeda. Variasi bulu kayu manis berbintik dan gelap merupakan hal baru di Tibet tenggara.
- Sejumlah peneli berhipotesis, keragaman warna dan pola bulu kucing emas berkaitan dengan strategi adaptasi terhadap lingkungan yang terdegradasi serta predator.
- Sejauh yang diketahui, kucing emas di Pulau Sumatera berwarna umum, yakni merah hingga cokelat keemasan dengan garis tebal berwarna putih pada masing-masing pipi sebagai pembeda utama dengan jenis kucing lain.
Para peneliti terus mencari jawaban terkait beragam warna dan pola bulu kucing emas asia [Catopuma temminckii]. Kucing liar ini bisa berwarna merah cerah hingga cokelat keemasan, abu-abu, atau bahkan kehitaman dengan berbagai pola di sekujur tubuhnya.
“Di antara semua spesies kucing, kucing emas memiliki morfologi yang sangat menonjol. Bulu- bulunya yang sangat polimorfik hadir dalam berbagai warna dan pola,” tulis Fei Duan dan kolega, dalam penelitian mereka yang diterbitkan dalam jurnal Ecology and Evolution, Rabu [7/2/2024].
Kucing emas tercatat pernah tersebar luas di sebagian besar Asia tropis dan subtropis, dari Tiongkok selatan dan barat daya hingga Himalaya selatan dan Asia tenggara, termasuk Indonesia, Tiongkok, Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Malaysia, Myanmar, India, Bangladesh, Bhutan, dan Nepal.
Dalam penelitian tersebut, kucing emas umumnya memiliki warna merah cerah di daerah hutan tropis, namun memiliki pola berpasir pucat di daerah beriklim sedang dan subtropis [misalnya, Tiongkok tengah dan barat daya].
Selain itu, bentuk peralihan juga dicatat, misalnya warna emas dengan pola seperti bercak aliran air berwarna putih di Lanskap Endau Rompin, Johor, Semenanjung Malaysia [Gumal et al., 2014]. Ada juga individu yang memiliki pola seperti bintik atau tutul, warna kayu manis gelap, abu-abu, hingga melanistik [hitam].
Mereka menjelaskan, fenomena keberagaman warna dan pola mungkin terjadi secara bersamaan di suatu wilayah. Namun, sejumlah aspek seperti proporsi berbagai variasi bulu dalam populasi tertentu, atau antarpopulasi regional, masih menjadi misteri.
Para peneliti menyelidiki populasi kucing emas di Tiongkok. Dari 287 individu yang tertangkap kamera rentang 2008-2019, diperoleh enam jenis warna dan pola bulu berbeda.
Hasilnya, komposisi dan kompleksitas variasi bulu kucing di empat kantong populasi regional di Tiongkok, meningkat pada wilayah timur laut ke barat daya. Hutan pegunungan tropis Himalaya tengah hingga timur, memiliki keberagaman bulu paling tinggi.
“Dari enam morfologi mantel [bulu] yang kami catat di wilayah itu, empat pola telah dilaporkan sebelumnya, tetapi variasi bulu kayu manis berbintik dan gelap merupakan hal baru di Tibet tenggara,” jelas riset tersebut.
Peneliti berasumsi, keanekaragaman mungkin terkait dengan tingginya tingkat fragmentasi habitat dan tekanan manusia di wilayah pegunungan.
“Penelitian lebih lanjut untuk menguji hipotesis tersebut harus melibatkan studi genetika populasi yang membandingkan spesimen museum dan populasi liar saat ini,” jelas Duan dalam laporannya.
Baca: Kucing Emas, Satwa Misterius di Lebatnya Hutan Sumatera
Adaptasi
Duan dan kolega juga menduga, variasi [polimorfisme] bulu dapat memperluas habitat spasial dan temporal kucing emas, sehingga mengurangi persaingan atau perebutan mangsa dengan spesies lain/predasi intra-guild.
Hal ini didukung penelitian Nijhawan dkk. [2019], yang menyimpulkan bahwa variasi warna dan pola pada bulu kucing emas berperan penting dalam strategi adaptasi mereka.
“Kamuflase akan menjadi adaptasi kunci untuk berhasil mengeksploitasi kumpulan mangsa unik di setiap habitat yang beragam, baik itu burung pegar tropis, hewan pengerat, dan reptil di hutan dataran rendah yang lebih hangat,” tulis penelitian berjudul “Does polymorphism make the Asiatic golden cat the most adaptable predator in the Eastern Himalayas?”
“Individu dengan morfologi melanistik [hitam] dan abu-abu pada kucing emas mungkin dianggap paling bisa beradaptasi secara ekologis pada berbagai relung ekologi,” jelas penelitian tersebut.
Di sisi lain, riset yang sama juga menemukan lebih banyak variasi warna, termasuk jenis ocelot, di Lembah Dibang dan Bhutan, tempat kucing emas hidup berdampingan dengan harimau dan macan tutul di seluruh wilayah jelajahnya. Namun, tidak di Sikkim atau Nepal, tempat harimau tidak lagi hidup dalam jumlah besar atau dengan kepadatan di dataran tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa keragaman jenis bulu yang sangat besar pada kucing emas, memungkinkannya mengeksploitasi lebih banyak relung ekologi, terutama di lingkungan yang penuh dengan pesaing dan predator, harimau misalnya.
“Kemampuan beradaptasi ini mungkin berkontribusi menjadikan kucing emas sebagai kucing liar yang paling tersebar luas secara ekologis dan geografis di Lembah Dibang.”
Baca juga: Kenapa Tidak Ada Kucing Hutan di Kawasan Wallacea?
Kucing emas di Sumatera
Kucing emas di Pulau Sumatera memiliki warna dan pola bulu umum, yakni merah hingga cokelat keemasan dengan garis tebal berwarna putih, pada masing-masing pipi sebagai pembeda utama dengan jenis kucing lainnya.
Hingga saat ini belum ada penelitian terkait keberagaman warna dan pola yang ada pada kucing emas di wilayah Sumatera. Dikutip dari website resmi BKSDA Sumatera Selatan, ada enam lanskap sebaran kucing emas yang tercatat di Sumatera, yaitu Suaka Margasatwa [SM] Isau-Isau, Taman Nasional [TN] Wayka Kambas [Lampung], TN Gunung Leuser [Aceh], TN Kerinci Seblat [Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan Jambi], TN Bukit Barisan Selatan, TN Bukit Tiga Puluh [Riau], dan Lanskap Jambul Nanti Patah [Sumatera Selatan].
“Keberadaan hutan sekunder di area lanskap Jambul Nanti Patah penting sebagai habitat kucing emas dan jenis Felidae lainnya,” dikutip dari balaiksdasumsel.org.
Sunarto dkk. [2015] menegaskan, “Meskipun terdapat persepsi luas bahwa satwa hutan hujan membutuhkan hutan yang utuh, kami menyarankan bahwa selain kawasan hutan yang utuh, perlindungan terhadap hutan sekunder, bahkan hutan yang terdegradasi, sangat bermanfaat untuk kehidupan kucing liar yang semakin terancam di Sumatera,” katanya.
Penelitin Sunarto menemukan lima jenis kucing liar yang berada dalam satu lanskap habitat, yang terletak di kawasan seluas 3 juta hektar di Sumatera bagian tengah, mencakup lima kawasan lindung utama.
Kelima jenis tersebut adalah harimau sumatera, macan dahan sunda [Nefelis diardi], kucing emas, kucing marmer [Pardofelis marmorata ], dan kucing macan tutul [Prionailurus bengalensis].
“Pada skala bentang alam, kucing emas merupakan spesies yang paling dibatasi, hanya terdapat di dua blok hutan yang paling utuh dan di dalam blok tersebut, berada pada ketinggian yang relatif lebih tinggi dibandingkan spesies lain. Mungkin, pemisahan tipe habitat dan ketinggian digunakan untuk mempertahankan hidup berdampingan,” jelas penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Zoology tersebut.
Sebagai informasi, kucing emas merupakan satwa Apendix I [dilarang diperdagangkan] oleh CITES. Di Indonesia, kucing emas merupakan jenis satwa yang kehidupannya dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.
Berdasarkan IUCN Redlist, statusnya Near Threatened [mendekati terancam punah]. Namun, penilaian global baru-baru ini oleh Petersen dkk. [2021] menunjukkan penurunan luas spesies ini sebesar 68 persen antara tahun 2000 dan 2020, dan penurunan lebih lanjut sebesar 18 persen diperkirakan terjadi dalam 20 tahun ke depan.
“Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa kucing emas telah mengalami, dan kemungkinan akan terus mengalami penurunan populasi yang cukup besar, dan harus dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam kategori terancam [VU/EN] dalm Daftar Merah IUCN,” jelas riset tersebut.
Referensi jurnal:
Duan, F., Zhu, S., Wang, Y., Song, D., Shen, X., & Li, S. (2024). Distribution of the Asiatic golden cat ( Catopuma temminckii ) and variations in its coat morphology in China. Ecology and Evolution, 14(2), e10900. https://doi.org/10.1002/ece3.10900
Gumal, M., Bakar, A., Mohamed, B., Yasak, M. N., Horng, S., Lee, B. P. Y., Pheng, L. C., Hamzah, H., Magintan, D., Ten, D., Yung, C., Zulfi, A., & Zalaluddin, B. (2014). Small-medium wild cats of Endau Rompin Landscape in Johor, Peninsular Malaysia. CATnews Special Issue, 8, 10–18. https://www.researchgate.net/publication/264087117_Small-medium_wild_cats_of_Endau_Rompin_Landscape_in_Johor_Peninsular_Malaysia
Nijhawan, S., Mitapo, I., Pulu, J., Carbone, C., & Rowcliffe, J. M. (2019). Does polymorphism make the Asiatic golden cat the most adaptable predator in the Eastern Himalayas? Ecology, 100(10), 1–4.
Nowell, K., & Jackson, P. (1996). Wild cats: status survey and conservation action plan (Vol. 382). IUCN Gland, Switzerland.
Petersen, W. J., Savini, T., Gray, T. N. E., Baker-Whatton, M., Bisi, F., Chutipong, W., Cremonesi, G., Gale, G. A., Mohamad, S. W., Rayan, D. M., Seuaturien, N., Shwe, N. M., Siripattaranukul, K., Sribuarod, K., Steinmetz, R., Sukumal, N., & Ngoprasert, D. (2021). Identifying conservation priorities for an understudied species in decline: Golden cats (Catopuma temminckii) in mainland Tropical Asia. Global Ecology and Conservation, 30, e01762. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.gecco.2021.e01762
Sunarto, S., Kelly, M. J., Parakkasi, K., & Hutajulu, M. B. (2015). Cat coexistence in central S umatra: ecological characteristics, spatial and temporal overlap, and implications for management. Journal of Zoology, 296(2), 104–115.
Wang, Y., Li, D., Dunzhu, P., Liu, W., Feng, L., & Jin, K. (2022). Recognition of coat pattern variation and broken tail phenomenon in the asiatic golden cat (Catopuma temminckii). Animals, 12(11), 1420.