- Pemerintan Indonesia mengumumkan berbagai proyek dan komitmen baru dari forum internasional World Water Forum yang berakhir 25 Mei 2024 lalu di Nusa Dua, Bali.
- Sejumlah pegiat lingkungan mengingatkan pentingnya keterlibatan warga dalam berbagai proyek tata kelola air di Indonesia.
- Sejumlah proyek besar terkait akses dan tata kelola air menjadi bagian dari konflik dengan masyarakat sekitar atau adat. Bahkan ICW mencatat sejumlah kasus korupsi terkait pembangunan dan sarana prasarana air.
- Keterlibatan warga tak hanya mendukung inovasi dan keberlanjutan teknologi juga bisa di investasi dan asistensi. Agar air benar-benar membawa kesejahteraan, seperti tema World Water Forum ke-10 tahun ini.
Sebuah mesin pembangkit listrik mikrohidro terpasang di salah satu titik saluran irigasi kawasan budaya dunia subak Caturangga Batukaru, Tabanan, Bali. Ketika dilihat pada akhir April 2024 lalu, mesin bantuan Jepang ini nampak tidak bekerja karena aliran airnya sangat kecil,.
Wayan Sukarta dari Kelompok Subak Telabah Gede yang ditemui di areal sawah mengatakan proyek ini kurang bermanfaat bagi petani. “Tidak untuk petani. Listriknya hanya dipakai penerangan jalan. Katanya banyak alat yang rusak,” sebutnya.
Putu Bawa, pegiat konservasi air dari Yayasan IDEP Selaras Alam juga mengingatkan pentingnya teknologi yang bisa melibatkan warga. Apalagi terkait tata kelola air yang melibatkan hulu dan hilir. Karena warga yang harus mendapatkan dampak dan ikut merawat. Semahal apa pun teknologi, jika tak mampu berdampak langsung tidak akan berkelanjutan.
Hal ini disampaikan dalam diskusi publik bersama media warga BaleBengong terkait penanganan krisis air dan energi terbarukan pada akhir April 2024 secara daring. Salah satu contoh pemanfaatan daur ulang air dengan teknologi sederhana adalah penangkap air hujan yang dipraktikkan kelompok petani Mesari, Bedugul, Tabanan.
Wayan Jarmin, salah satu petani, memakai tandon besar untuk menampung air hujan yang mengalir dari atap rumah. Jarmin tidak membeli PDAM atau menarik air danau seperti dilakukan petani lain. Ia bisa mengurangi biaya akses air karena sebelumnya harus beli hampir satu juta rupiah per sekali musim tanam.
Edward Angimoy dari Yayasan IDEP menambahkan, penggunaan teknologi dari proses alam seperti penangkap air hujan sangat adaptif iklim dan mudah diaplikasikan oleh petani. “Daripada air hujan terbuang percuma, apalagi saat cuaca ekstrem, lebih baik dipanen,” katanya.
Krisna, salah seorang mahasiswa teknik yang sedang melakukan observasi mengatakan kualitas air hujan dinilai masih bagus, tingkat pH masih bagus bukan hujan asam yang merusak tanaman. “Pemanfaatan air hujan sangat membantu penyiraman tanaman, investasi sekali hanya membangun tandon, tidak ada perawatan yang mengeluarkan biaya, hanya pembersihan,” ceritanya dari hasil observasi.
Baca : Klaim Investasi US$9,4 Miliar di World Water Forum Bali

Proyek Baru World Water Forum
Pemerintah Indonesia menyatakan sejumlah proyek dan komitmen baru terkait tata kelola air dari perhelatan World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali yang baru usai 25 Mei lalu.
Proyek senilai 9,4 miliar USD dan kerja sama lainnya sudah diumumkan. Diantaranya kesepakatan pendanaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Regional Karian-Serpong dan nota kesepahaman mengenai Net-Zero Water Supply Infrastructure Project di Ibu Kota Nusantara (IKN).
Terakhir, dalam siaran pers penutupan WWF ke-10, disampaikan Pemerintah Indonesia membuka ruang kolaborasi dengan berbagai negara untuk mengatasi berbagai tantangan pengelolaan air di dunia. Langkah kolaborasi tersebut diimplementasikan dalam sejumlah inisiasi di World Water Forum ke-10.
Staf Ahli Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Bidang Teknologi, Industri, dan Lingkungan sekaligus Wakil Ketua Sekretariat I Panitia Nasional Penyelenggara World Water Forum ke-10 Endra S. Atmawidjaja mengatakan bahwa inisiasi tersebut telah disepakati dalam Deklarasi Menteri atau Ministerial Declaration yang diharapkan bisa ditindaklanjuti dengan aksi nyata oleh negara-negara di dunia.
“Pertama, contohnya terkait dengan Integrated Water Resources Management (IWRM) untuk pulau-pulau kecil. Isu ini relevan kita angkat dalam Bandung Spirit Water Summit di mana berbagai tantangan ini bisa dijawab dengan kerja sama dengan negara-negara lain. Kemudian ada pembentukan Global Water Fund yang menandakan bahwa kita tidak bisa menyelesaikan masalah air dengan mengandalkan satu negara saja, melainkan dengan menghadirkan kolaborasi,” kata Endra dalam konferensi pers bertajuk “Menjawab Tantangan Air” di Media Center, Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Kamis (23/5/24).
Selanjutnya, katanya, Pemerintah Indonesia menyepakati pendirian Centre of Excellence on Water and Climate Resilience dengan tujuan menghadapi masalah tata kelola air akibat perubahan iklim. Terkait hal itu, Indonesia akan menyasar penguatan kerja sama negara-negara di bagian selatan dunia atau South-South Cooperation (SSC).
Baca juga : World Water Forum Dorong Global Water Fund dan Komitmen Ketahanan Air

Selain itu, Indonesia mendorong penetapan Hari Danau Dunia yang dilatarbelakangi oleh kondisi danau-danau di dunia, termasuk Indonesia, yang sudah dalam kategori kritis. Danau yang memiliki fungsi sebagai tampungan air ini perlu dijaga agar ketersediaan air bagi seluruh masyarakat dunia terpenuhi.
Tidak hanya melakukan sejumlah inisiasi dengan menggandeng negara lain dalam World Water Forum ke-10, Pemerintah Indonesia juga membuka ruang kolaborasi dengan pihak swasta untuk menjawab tantangan pengelolaan air di dunia. Hal ini dikarenakan kontribusi pihak swasta memiliki peran yang sangat besar dalam mendukung aksesibilitas dan ketersediaan air minum yang layak bagi masyarakat.
Prof Chay Asdak, ahli hidrologi dan manajemen daerah aliran sungai dari Universitas Padjajaran Bandung mengatakan terlibat dalam beberapa diskusi tentang konservasi air di WWF. Ia memberi catatan atas komitmen baru yang muncul.
“Apapun namanya, proyek-proyek apa pun harus meningkatkan kapasitas dan keterlibatan publik. Misal di wetland di hutan gambut, nampak yang menonjol pendelatan teknis engeneering tapi tidak nampak keterlibatan masyarakat. Canal blocking seolah hanya koreksi salah kebijakan, bagian rencana food estate. Kalau tidak melibatkan masyarakat lokal akan jadi persoalan,” paparnya mencontohkan, ketika dihubungi Mongabay pada Senin (27/5/2024).
Baca juga : Ajakan ICW Awasi Proyek Air di Indonesia

Pendekatan dan kerja sama menurutnya juga harus pentahelix, melibatkan juga pelaku usaha, tokoh masyarakat, akademisi, dan media. Dalam pendekatan pentahelix, asing bisa jadi investor dan fasilitator, namun dalam kerja sama, jangan hanya jual-jual tapi ikut mengawasi. Memastikan partisipasi lokal jalan, kalau tidak terkendala isu privatisasi. Ia mengingatkan upaya membatalkan UU sumber daya air karena isu privatisasi ini.
Hal berikutnya adalah memastikan investasi tidak bertujuan privatisasi. “Bagaimana merumuskan, mendesiminasikan model investasi di konteks ekologi. Investasi dengan pendekatan manager based solution belum muncul,” sebutnya.
Setelah itu merumuskan inovasi di bidang finansial dalam proyek ekologi seperti di lahan basah. Untuk meningkatkan keterlibatan warga ini perlu mekanisme insentif dan disentif, sehingga tak hanya muncul inovasi teknologi juga asistensi. “Air harusnya dikelola untuk kemakmuran bersama, water for prosperity, faktor penyebab kesejahteraan masyarakat,” pungkasnya.
Sedangkan Indonesian Corruption Watch (ICW) mengajak semua pihak untuk mengawasi potensi korupsi pada proyek air di Indonesia dari hasil WWF ke-10 karena menjadi proyek strategis nasional.
Akses air sangat vital namun sudah ada sejumlah kasus korupsi terkait tata kelola air yang menghilangkan hak warga pada air bersih dan sanitasi. Data ICW mencatat, terdapat 128 kasus korupsi berkaitan dengan proyek di sektor pengairan selama 2016 hingga 2023 yang mengakibatkan kerugian Rp455 miliar. (***)